Olahraga tidak menjamin surga bagimu. Olahraga tidaklah lebih penting dari makan dan minum. Olahraga, hanyalah hiburan. Penghibur di sela waktu senggangmu menghirup nafas. Dan tidak lebih dari itu. Coba saja kau rajin berolahraga, tapi jangan makan dan minum. Maka, bukan kesehatan yang kau dapat, melainkan kematian. Sesederhana itulah memaknai olahraga.
Dalam konteks apapun, olahraga memang hanya instrumen hiburan hidup. Dia tidak pernah menentukan kematian ataupun kehidupan. Apalagi surga dan neraka. Jadi, jika kamu tidak bisa berolahraga secara formal, jangan pernah bersedih hati. Olahraga bisa dilakukan dengan cara yang beragam. Olahraga, adalah sesuatu yang fleksibel dan mudah dilakukan.
Berlari-lari mengelilingi rumah misalnya — tentu dengan alasan menjaga keamanan— sebenarnya sudah kategori berolahraga. Bergelantungan di atas pohon, dengan alasan mengambil buah mangga, itu juga sudah berolahraga. Segala sesuatu yang membuatmu berkeringat, baik disengaja ataupun tidak, sebenarnya secara sah bisa disebut sebagai laku berolahraga.
Jadi, jangan pernah sedih jika memang anggaran Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Bojonegoro mampet dan tidak cair. Uang sebesar Rp 3 miliar tersebut, memang sangat penting untuk menghidupi berbagai segi keolahragaan di puluhan cabang olahraga (Cabor) di Bojonegoro. Banyak yang mengeluh akibat uang itu tidak cair. Konon, tidak cairnya uang itu akibat pembayaran lebih salur pembayaran DBH Migas.
Tidak cairnya anggaran KONI, harus diakui, memang membuat semua cabor di Bojonegoro berpeluk dilema. Hanya ada dua jalan yang harus ditempuh. Parahnya, kedua jalan itu semuanya jalan yang tidak lurus. Satunya jalan buntu, satunya lagi jalan berlumpur: Menghentikan program atau berhutang. Iya, dua pilihan yang tidak enak sekali, menurut saya.
Cabor-cabor yang tidak mendapat kucuran dana, terancam harus menghentikan program kegiatan yang sedang berlangsung. Sebab, jika harus melanjutkan, mereka tidak tahu harus mendapat biaya dari mana. Jika tetap ngotot pengen melanjutkan agenda program, tentu satu-satunya jalan adalah berhutang. Dilema ini yang dihadapai cabor-cabor di Bojonegoro.
Cabor-cabor paling kasihan adalah cabor yang sedang mengikuti kompetisi tingkat Provinsi atau tingkat Nasional. Jika tidak mendapat kucuran dana, terpaksa mereka harus menghentikan kompetisi karena tidak punya biaya operasional. Ibaratnya, kamu harus lulus lebih cepat akibat tidak bisa membayar biaya kuliah. Tahu kan, rasanya seperti apa. Tidak enak banget tentunya.
Nah, satu-satunya cara agar cabor bisa melanjutkan kompetisi adalah berhutang. Berhutang, kita tahu, adalah program kehidupan yang paling tidak menyenangkan. Selain itu, dengan berhutang, belum tentu juga kucuran dana KONI (kalau sudah cair) bisa mengkover biaya hutang itu. Yang jelas, dana tersebut bakal berkurang banyak sehingga berdampak pada anggaran inti. Lagi-lagi, hutang bukan jawaban tepat.
Sehingga, dengan penuh pertimbangan matang, menurut saya, menghentikan olahraga (untuk sementara?) adalah jalan terbaik. Memang, bagi sebagian besar orang, saya juga salah satunya, menghentikan program olahraga tentu perihal yang teramat menyedihkan. Olahraga sebagai program hiburan sementara harus ditiadakan. Namun, yah, mau gimana lagi.
Bagi orang-orang yang memaknai olahraga sebagai laku syariat formal, tentu bakal dibuat sedih. Sebab, olahraga dalam konteks besar, megah, mewah dan bergengsi tidak bisa lagi dilakukan. Namun, bagi mereka yang memaknai olahraga tak lebih dari sekadar hiburan, tentu biasa saja. Sebab, diperjuangkan seperti apapun, toh kembalinya pada anggaran dan dana.
Di saat paceklik seperti saat ini, sudah saatnya kita mengembalikan olahraga pada khittohnya sebagai hiburan. Olahraga, jangan dimaknai lagi sebagai laku syariat formal. Kita harus bisa memaknai olahraga sebagai laku hakikat nonformal. Berolahraga tidak harus berseragam dan berada di tempat-tempat tertentu. Lari mengelilingi rumah dan bergelantungan di pohon itu juga bagian dari olahraga.
Men sana in corpore sano, kalimat berbahasa latin karya pujangga Romawi, Decimus Lunius Luvenalis tersebut, ditelisik dari Wikiquote, ternyata artinya adalah “Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat”. Ingat, ada perbedaan lho. Sejauh ini, arti dari kata itu kerap melenceng dan memang seolah-oleh dibuat melenceng menjadi: “Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”
Arti sebenarnya, menempatkan “jiwa” di depan “tubuh”. Tapi, arti yang kerap kita pahami selama ini, selalu menempatkan “tubuh” di depan “jiwa”. Nah, jika kita memaknai olahraga sebagai laku hakikat, tentu kita bisa tetap menjaga marwah Men Sana In Corpore Sano karena olahraga adalah laku jiwa.
Logikanya seperti ini: jika cabor melanjutkan program kompetisi melalui uang dari berhutang, tentu jiwanya bakal tidak sehat karena kepikiran hutang terus. Nah, kalau program dihentikan, dan cabor masih bisa melakukan olahraga sebagai hiburan, tentu, jiwa dan raganya sehat. iya, kan?
___________________
*) Penulis sedang belajar berolahraga, tinggal di Bojonegoro.