Polemik penggunaan bahasa campuran atau gado-gado sempat santer dibahas di media sosial. Ada dua kubu berseteru. Kubu pengguna bahasa gado-gado dan kubu penolak bahasa gado-gado.
Sebenarnya, kedua kubu tentu memiliki alasan masing-masing. Yang aneh justru mereka yang ikut-ikutan mengecam penggunaan bahasa gado-gado secara berlebihan.
Bagi mereka yang mengecam, berbahasa gado-gado terkesan keminggris, kemajon dan tidak sopan. Bahkan, ada kesan ingin terlihat pandai di mata orang lain. Terlebih, secara gramatikal sulit dipahami. Bukan hanya masyarakat biasa, Wikipediawan dan polisi bahasa Indonesia, Ivan Lanin pun sampai turun komen.
Menurut Lanin, sejumlah faktor penyebab munculnya gaya bahasa gado-gado karena ketidakmampuan dalam menyusun kalimat, memilih kosa kata, serta ketidakteraturan dalam berpikir. Selain itu juga mengandung pengulangan. Sehingga penggunaanya tidak efektif dan mubazir dalam berkomunikasi.
Dirunut dari sudut etika, para pengecam pengguna bahasa gado-gado menganggap jika si pengguna bahasa ini tidak sopan dan enggan membumi. Bahkan, justru terlihat kampungan dan alay. Tentu alasan itu bisa diterima.
Tapi, menurut saya, kubu pengecam penggunaan bahasa gado-gado juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, menggunakan bahasa gado-gado tentu butuh keberanian. Para pengguna bahasa gado-gado adalah pemberani. Berani merdeka.
Saya percaya jika kubu pengecam masih terbawa fenomena poskolonialisme. Semacam rasa terjajah dengan cara berkomunikasi orang lain. Padahal, rasa keterjajahan tersebut tentu menunjukkan bahwa kita masih bangsa inlander.
Menanggapi penggunaan bahasa gado-gado, harusnya biasa saja. Dengan bersikap biasa, menunjukkan bahwa kita bukan inlander. Bukan terjajah. Dan justru terbuka dengan kemajuan. Asal, harus tahu tempatnya. Jangan sampai menggunakan bahasa gado-gado saat beli makan di warung mie pinggir jalan. Alih-alih dipahami, tidak dilempar piring saja sudah bagus.
Dalam penelitian Nelly Martin- Anatias, bahasa gado-gado memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi. Dengan berani menggunakan bahasa gado-gado, menurut saya, secara simbolik kita telah berani mengatakan bahwa “barat” bukanlah apa-apa. Dan kita bisa menguasai barat karena kita bisa menggunakannya secara semena-mena.
Bahasa gado-gado membantu para penutur menyampaikan hal-hal non-normatif dengan lebih terbuka dan lebih positif. Selain itu, dengan bersikap biasa pada pengguna bahasa gado-gado, sebenarnya menunjukkan betapa kita ini bukan bangsa inlander.
Ingat, orang kulit hitam di Amerika bisa mentas dari status inlander hanya karena mereka bisa berbahasa Inggris. Kini mereka dihargai karena mereka bisa berbahasa sama seperti mayoritas. Nah, sesama bangsa yang pernah terjajah, masak kita gak mau lebih dihargai kayak orang-orang Afrika. Hayo.
Indonesia negara multietnis dan multi bahasa. Ada 734 bahasa daerah di Indonesia. Itu sesuai pemetaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan antara tahun 1991 hingga 2017.
Dengan bereaksi buruk terhadap mereka yang agak keminggris, saya kog curiga, jangan-jangan, saat bertemu dengan saudara kita yang berbeda bahasa, kita bakal menerapkan reaksi yang sama. Hmm hmm hmm ~
Seperti halnya perihal politik, mereka yang latah menghakimi dan mengecam penggunaan bahasa gado-gado justru orang-orang yang kurang paham persoalan. Mereka hanya ingin eksis dari heroisme yang mereka lakukan. Dan orang-orang seperti ini jauh lebih berbahaya dari keminggris itu sendiri.