Ledre, tentu banyak yang sudah mengenalnya. Terutama, mereka yang pernah tinggal atau setidaknya melintasi Bojonegoro. Sebuah kota yang melabeli diri sebagai Kota Ledre. Meski menjadi kata sandang yang kerap disebut, sekaligus didapuk menjadi makanan khas yang kerap dibangga-banggakan, saya kurang yakin jika sudah banyak yang tahu tentang sejarah panjang dan cikal-bakal nama Ledre diambil.
Aroma wangi, rasa manis dan tekstur lembut pada Ledre, memang identik sebagai jajanan cinta. Jajan yang cocok untuk dijadikan hadiah bagi mereka yang sedang jatuh cinta. Kita tahu, orang jatuh cinta tiba-tiba bisa berperangai halus dan manis. Namun, kadang-kadang, mereka juga mudah rapuh saat terpatahkan. Nah, halus, manis dan mudah patah adalah kecenderungan tekstur hati fisik Ledre.
Tentu, bukan tanpa alasan jika Ledre menjadi jajanan yang cocok untuk hadiah percintaan. Ada dua alasan yang mendasari itu semua. Pertama, membelikan coklat dan ice cream sudah terlampau mainstream, sedangkan Ledre bisa jadi pilihan sebagai jajan klasik yang tetap elegan. Boleh lah jika diibaratkan dengan mall dan museum. Satunya modern tapi membosankan. Satunya sepi, kuno dan nyaman untuk berduaan belajar dan menambah ilmu pengetahuan.
Alasan kedua, seperti yang dijelaskan di awal tadi, Ledre ber-aroma khas pisang raja, terasa manis di lidah dan ber-tekstur rapuh. Secara hakikat, gambaran itu merefleksikan hati orang yang sedang jatuh cinta. Nah, dengan memberikan Ledre sebagai hadiah cinta, secara tidak langsung, menggambarkan proses memberikan hati kepada belahan jiwa. eaaa~
Ledre berbentuk seperti gulungan surat pada zaman Majapahit. Hanya, ukurannya lebih kecil. Yakni seukuran ibu jari orang dewasa. Berbahan baku utama pisang, Ledre memang identik dengan pisang raja. Meski, secara teknis, hampir semua jenis pisang bisa dibuat menjadi Ledre. Tapi, memang, ada nuansa mewah saat membuat Ledre dengan pisang raja. Terlepas dari unsur kemewahan, aroma khas Ledre benar-benar menyengat saat menggunakan pisang raja menjadi bahan utama.
Populer Sejak Masa Sebelum Merdeka
Ledre mulai populer pada dekade tahun 30-an. Makanan ini pertama kali dipopulerkan sebagai produk Industri Rumah tangga di Kecamatan Padangan. Jenis makanan ringan yang awalnya hanya makanan rumahan (tidak untuk komersil) ini, saat ini menjadi jajanan khas Kota Bojonegoro. Bahkan, kini, banyak pengrajin dari luar Kecamatan Padangan yang menyetor hasil olahannya ke Padangan untuk dikemas dan diperjualkan.
Daerah-daerah pengrajin Ledre rumahan ini, umumnya masyarakat luar Kecamatan Padangan. Mayoritas pengrajin berdomisili di Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari. Dua Kecamatan yang berdekatan dengan Kecamatan Padangan. Para pengrajin, umumnya menjual Ledre dalam bentuk bahan jadi tanpa kemasan. Mereka hanya bertugas membuat Ledre. Yakni menyulap pisang dan terigu menjadi Ledre, tanpa kemasan.
Setelah Ledre disetorkan di Padangan (toko besar), Ledre-ledre itu dikemas sedemikian hingga dengan berbagai label kombinasi rasa. Sehingga, jika Anda pernah melintas ke kawasan Padangan, jadilah Ledre dengan kemasan dan label kombinasi rasa yang sangat menarik perhatian.
Padangan, kecamatan di ujung Bojonegoro, yang boleh lah disebut sebagai pintu gerbang Propinsi Jawa Timur dari arah barat, adalah tempat kelahiran jajanan Ledre. Tepatnya di sebuah sudut Kecamatan Padangan yang terkenal dengan sebutan Pecinan, ledre diciptakan. Kawasan yang mayoritas dihuni warga Tionghoa ini, menjadi kawasan pertama yang memproduksi jajan bernama Ledre.
Rumah yang berlokasi tepat di depan sebuah Gereja, dengan papan nama bertuliskan Ny. Seger, dari cerita warga setempat menjadi lokasi kelahiran Ledre. Seger sendiri putri dari penemu Ledre tersebut. Pada rumah dengan struktur bangunan khas rumah tua era kolonial tersebut, hingga saat ini masih beroperasi kegiatan pembuatan Ledre. Darisanalah, saya banyak bertanya tentang apa dan bagaimanakah proses Ledre diciptakan. Kebetulan, saya ditemui langsung Ny. Seger sendiri.
“Mak’e lahir pada tahun 1914 dan mulai membuat Ledre sejak usia 15 tahun,” kata Ny. Seger pada saya, sambil spontan menggerakkan jemarinya untuk menghitung tahun kelahiran Ledre.
Dari hitungan secara spontan tersebut, kami sepakat bahwa Ledre mulai dibuat antara tahun 1929/1930. Dari keterangan Seger, dulu, orangtuanya membuat Ledre bukan dari pisang. Karena keterbatasan dan sulitnya mencari bahan baku—mengingat waktu itu masih banyak penjajah Belanda yang wira-wiri di kawasan tersebut— Ledre dibuat melalui gaplek (singkong yang dikeringkan) dicampur tepung beras. Namun, tetap menggunakan pisang sebagai bahan utama.
Seiring dengan berkembangnya waktu, dan mudah ditemukannya bahan baku, Gaplek sudah tidak lagi digunakan. Namun cukup pisang dan tepung terigu dan tepung beras. Bahkan, kini mulai muncul berbagai varian rasa ledre. Seperti ledre rasa buah-buahan. Di tengah bermunculannya jenis varian ledre, Ny. Seger berusaha mempertahankan orisinalitas Ledre tanpa embel-embel rasa tambahan.
Tentang istilah dan penamaan Ledre, menurut Seger, tidak lepas dari cara pembuatan Ledre itu sendiri. Di dalam membuat Ledre, pisang ditaruh di wajan (penggorengan) dan “dielet-elet, diedre-edre”. Dari proses pembuatan yang dielet-elet dan diedre-edre inilah, lahir istilah Ledre.
Kesimpulannya, jika hati kamu sering dielet-elet dan diedre-edre di atas penggorengan rindu, tentu bagi kamu yang sedang menjalin hubungan Long Distance Relationship (LDR), kamu harus bersabar. Sebab, bisa jadi, proses elet-elet dan edre-edre itu bakal menjadikan kamu dan belahan jiwamu menjadi Ledre: Sesuatu yang wangi, halus dan manis.