Heboh, gaduh, dan berisik. Begitulah tiap kali melewati bulan September. Obrolan santai hingga caci maki mengiringi isu kebangkitan PKI yang terus di-maintenance. Seruan nonton film Pengkhianatan G30 S PKI tak hanya lewat corong televisi dan media sosial, tapi juga lewat obrolan warung kopi hingga mic mimbar jumatan di masjid.
Apa sebenarnya yang dimaui dari kegaduhan ini? Siapa yang diuntungkan dari kegaduhan ini? Benarkah PKI akan bangkit lagi? Kenapa kita takut dengan PKI dan tidak takut dengan radikalisme? Perlukah kita takut semua? Tapi apakah kita benar-benar penakut? Bukannya kita pemberani? Asem tenan kok.
Tragedi 1965 bagaimanapun juga memiliki banyak versi. Sederet film dibikin sesuai dengan kepentingan masing-masing. Lalu, apanya yang perlu diributkan? Wong kita sejak dulu hidup dalam lautan perspektif. Tidak mungkin ada perspektif yang tunggal di dunia ini. Apalagi kita hidup di masa jauh setelah tragedi 1965. Bagaimana kita bisa memastikan apa yang benar-benar terjadi kala itu? Yang lahir setelah tahun itu tidak pernah ikut mengalami, apalagi yang lahir era tahun 2000 an. Kalau nggak baca sejarah dan hanya mengandalkan kabar yang siat-siut itu, terus mau di bawa ke mana kegaduhan ini berujung? Kenapa kita begitu suka ribut sih?
Coba kita lihat ke belakang. Selalu saja awal September menjadi pintu pembuka kegaduhan. Yang sana hendak membikin diskusi, lalu dibubarkan. Yang sini berkampanye anti PKI yang memang sudah lama dibubarkan. Yang lain ambil kipas angin dan terus ngipasi kegaduhan itu biar makin amburadul. Hidup jadi lucu. Lalu apa yang kita maui sebenarnya?
Ya Tuhan, tolong hapus saja bulan September di kalender ingatan bangsa ini deh. Ada bulan-bulan lain yang lebih punya faedah. Lihat saja, akibat kegaduhan September, tahun baru Islam malah tak ada gaung. Lalu apa ada yang protes ketika tahun baru Islam tenggelam di lautan kegaduhan isu PKI? Daripada ribut mbok mari baca buku sejarah sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, buku sejarah tak mungkin satu perspektif saja. Pasti banyak. Haruskah kita meniadakan perspektif yang berbeda dengan pandangan kita? Itulah sebenarnya yang jadi akar masalah. Banyak yang enggan menerima perspektif lain. Dan meyakini hanya pikirannya saja yang benar. Asem tenan kok.
Sudahlah kang sudah! Sampean kenapa kok ngomel sendiri? Saya jadi terganggu main gaple nih. Tuh kan saya kalah.
Apanya yang sudah? Dunia ini sudah tidak waras lagi. Apa nggak bisa kita mengehentikan politisasi tragedi 1965. Kenapa semua harus dipolitisasi? Kegaduhan yang brengsek ini apa untungnya bagi kita dan anak cucu kita. Kalau kita meyakini bahwa komunis itu akan mengancam masa depan anak cucu kita, itu sah-sah saja. Maka bentengi anak-anak kita dengan ilmu dan iman. Jangan dengan kebencian membabi buta. Apalagi kebencian yang dipolitisasi. Didik anak kita sebaik-baiknya. Lha ini, para priyayi malah ribut sendiri.
Saya bertanya ya, kenapa radikalisme yang jelas-jelas mengancam bangsa ini nggak kamu ributkan? Tuh ISIS memporak-porandakan negara-negara di Timur Tengah. Faham radikalisme sudah menerobos ke dinding kampus, dipuja anak-anak muda. Juga ada kapitalisme yang maha menyengsarakan rakyat, kenapa kita malah ribut soal PKI yang secara de-jure sudah dilarang di Indonesia? Heh, saya tanya kamu!
Kang, sampean nelan berapa pil sih kok ngelantur. Sudahlah. Sana ke dukun!
Lho saya ini waras. Yang ribut itu yang perlu dipertanyakan kewarasan berpikir. Apa makin pandai orang itu makin berisik? Saya nggak habis pikir. Memang, saya cuma lulusan sekolah SD, tapi mikir dikit-dikit masih bisalah. Dan kita tak perlu ribut di bulan September tahun ini, lalu tahun depan akan ribut lagi, dan tahun depannya ribut lagi. Demikian seterusnya. Kenapa? Karena memang ribut yang ini nggak ada tujuannya. Tujuannya ya ribut itu. Mendem semir to?
Apa yang hendak dicapai? Hidup damai? Damai apanya? Ketika setiap orang yang ribut sudah nggak mau mendengarkan kata-kata lain, kapan akan ada damai? Yang ada hanya gaduh, berisik dan muspro itu tadi. Tiap kali bulan September datang pasti berisik. Tentang film Pengkhianatan G30 S PKI, tentang film Jagal, tentang kebangkitan PKI, dan seterusnya. Sepertinya September menjadi kutukan yang nggak habis-habisnya bagi bangsa ini. Coba lihat nanti ya, catat omongan saya, kalau sudah Oktober, Nopember dan Desember, lak sudah nggak berisik lagi. Paling tinggal sisanya dikit-dikit. Tapi tahun depan menjelang September pasti akan berisik lagi. Beginikah cara kita memaknai sejarah? Ndeso banget.
Terus mau sampean apa kok malah berisik sendiri? (Brakkkkkk) Bikin emosi saja. (Brakkkkkkk) Ayo sekarang mau sampean apa? Apa, hah? Dari tadi saya sabar mendengar sampean bicara nggak karuan. Apa saya ini PKI hah?
Hehe maaf Kang maaf. Saya khilaf. Saya cuma bercanda kok. Sumpah. Saya cuma belajar orasi. Mbok Nah, He Mbok Nah, pesan es beras kencur satu ya!
Nah, gitu duduk yang kalem. Minum es beras kencur yang banyak biar orasimu besok tambah joss. Aku mau ke lapangan dulu, mau nobar film.