“Apa salah dan dosaku sayang, cinta suciku kau buang-buang lihat jurus yang kan ku berikan Jaran Goyang-Jaran Goyang.” Tentu kita tidak asing mendengar lagu berjudul Jaran Goyang yang dipopulerkan oleh Nella Kharisma tersebut. Lagu yang bercerita tentang cinta ditolak dukun bertindak ini telah dilihat 68 juta kali di Youtube. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Jaran Goyang itu? Apakah Jaran Goyang itu mampu menaklukan hati wanita? Jaran Goyang adalah salah satu jenis ilmu santet. Ternyata Jaran Goyang pernah menggoreskan sejarahnya pada tahun 1998 di Banyuwangi, yaitu dengan terjadinya peristiwa pembunuhan dukun santet.
Santet telah lama ada dan di setiap daerah memiliki berbagai macam sebutan. Orang Inggris menyebut santet dengan istilah sorcery atau witchcraft, di Sunda dikenal dengan teluh atau ganggaong, di Palembang dinamakan tuju, sedangkan orang Manado menyebutnya pandote, dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebut tenung atau santet. Santet menurut masyarakat Using di Banyuwangi adalah akronim dari kata mesisan banthet, atau sekalian rusak, dan mesisan ganthet, atau sekalian bergabung.[1] Mesisan banthet berarti memisahkan dua pasangan yang saling mencintai, sedangkan mesisan ganthet berarti menyatukan dua orang yang tidak saling mencintai.[2]
Santet yang semula sebagai ilmu pengasihan dan erat dengan ritual-ritual kepercayaan dan agama, karena sering disalahgunakan lawan jenis kemudian bergeser kepada pemaknaan yang negatif.[3] Santet mengalami degradasi makna, sehingga santet menjadi sejenis ilmu sihir yang dipakai untuk membunuh orang dengan alasan balas dendam dan lain-lain.[4] Di hadapan hukum, kasus penyantetan sulit dibuktikan dan sering menjadi perdebatan.
Peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi mulai mencapai puncaknya antara bulan Juli-September 1998. Aksi pembunuhan dukun santet di Banyuwangi menewaskan 85 orang. Aksi pembunuhan dukun santet di Banyuwangi dilakukan oleh “Gantung” (Gerakan Anti Tukang Tenung).[5] Operasi pembunuhan dilakukan secara sistematis dan terorganisir, dengan terlebih dahulu diadakan teror pada calon korban, bentuk-bentuk teror tersebut sebagai berikut;[6]
- Memberi tanda panah merah (cat) pada dinding atau melempari batu rumah calon korban pada malam hari.
- Sejumlah orang dengan kendaraan mobil mendatangi kampung calon korban sambil pura-pura menanyakan alamat calon korban kepada tetangga dekatnya.
- Menyebarkan selebaran dengan nama-nama calon korban.
- Mendatangi keluarga calon korban yang dianggap sulit untuk ditemukan.
- Mengancam dengan menggunakan telepon.
Aksi pembunuhan dengan dalih dukun santet itu meluas ke berbagai kota, diantaranya adalah Sumenep 23 korban, Jember 17 korban, Pasuruan 11 korban, Sampang 6 korban, Pamekasan 5 korban, Situbondo 2 korban, Bondowoso 3 korban, Demak 1 korban, Probolinggo dan Lumajang.[7] Masyarakat beranggapan bahwa operasi pembunuhan yang melibatkan massa ini terdapat unsur dari aparat, pembunuh bayaran, eks-tapol PKI, sosok misterius, dan provokator.[8]
Masyarakat curiga terhadap aksi pembunuhan tersebut karena dirasa sasarannya bukan lagi dukun santet, tetapi mengarah ke pembunuhan kyai dan guru ngaji oleh gerombolan “ninja”. Menurut Gus Dur, teknik yang digunakan pelaku pembantaian kiai, guru mengaji, dan warga NU yang difitnah sebagai dukun santet, sama seperti yang dilakukan dalam Operasi Naga Hijau pada tahun 1996.[9] Aksi pembunuhan dengan dalih dukun santet masih menjadi kontroversi sampai saat ini. Apabila kita cermati, aksi kekerasan dengan dalih pembunuhan dukun santet tersebut bertujuan untuk memecah belah persatuan umat.
Santet sebenarnya mampu untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti penyakit dalam, sampai dengan mencari orang yang pergi untuk segera pulang. Dalam kepolisian, santet dapat disamakan dengan intelijen. Keberadaannya tidak terlihat tetapi sesungguhnya ada dan bermanfaat.[10] Percayalah, tanpa Jaran Goyang kalian tetap menawan. Tanpa Jaran Goyang, jodoh kalian sedang di simpan oleh Tuhan.
______________________
[1] Ening Herniti. (2012). “Kepercayaan Mayarakat Jawa Terhadap Santet, Wangsit, dan Roh Menurut Perspektif Edwards Evan Pritchard”, Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 13, No.2, hlm. 391.
[2] Ibid
[3] Aminuddin Kasdi, Kasus Dukun Santet Di Jawa Timur, dalam Kumpulan Makalah Diskusi Sejarah Lokal: Pembangkangan Sipil dan Konflik Vertikal II, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 71.
[4] Hidayat Tantan dan Khudori, Jaran Goyang Kini Membunuh. GATRA, 12 Oktober 1998, hlm 40.
[5] Gerakan tersebut adalah kelanjutan dari GPDS (Gerakan Pemberantas Dukun Santet) yang muncul sejak bulan Februari 1997. MT Arifin, “Santet-Politik Banyuwangen” dalam SUARA MERDEKA, 7 November 1998.
[6] Al-Zastrauw Ng. Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 103-104.
[7] 12 Kota Jadi Ajang Pembantaian, KEDAULATAN RAKYAT, 14 Oktober 1998.
[8] Anwar Hudiono, Elly Roosita, dan Syamsul Hadi, Santet, Sebuah Sumbu Ledakan?. KOMPAS, 1 November 1998.
[9] Penyebabnya adalah seseorang yan bernama Saleh dianggap telah menghina Islam, dan menyakiti hati dan warga Situbondo, hanya dituntu lima tahun penjara. Akibatnya parah, 56 Gedung terbakar (24 diantaranya Gereja) dan beberapa korban meninggal pada 10 Oktober 1996. Lihat Fathoni, “Naga Hijau yang Mengepung Gus Dur”, 17 Februari 2017. Kunjungi http://www.nu.or.id, diakses pada tanggal 1 Mei 2017, 16.45 WIB.
[10] Ki Gendeng Pamungkas, (2013). “Santet Warisan Budaya Leluhur Nusantara”, disampaikan dalam diskusi public “Pasal Santet Dalam Naskah Revisi UU KUHP” yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Gerindra DPR RI, hlm., 1
___________
Catatan tambahan: Artikel ini merupakan ringkasan dari riset penulis yang akan segera dibukukan.