Diurna  

Malu Tapi Mau di TP Pagi

foto: septian

MALU TAPI MAU. Sensasi rasa itu bercampur baur  saat pertama kali datang di pasar rakyat TP Pagi di Surabaya. Saya berjalan-jalan sekadar melihat dan menikmati suasana pasar rakyat yang berada di sekittar Tugu Pahlawan. TP Pagi adalah singkatan dari Tugu Pahlawan Pagi. Dan sekarang, saat saya sering ke sana, lama-lama terbiasa juga.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Kota Pahlawan, kata TP Pagi tak asing buat saya. Pasar kalangan masyarakat menengah ke bawah ini menawarkan berbagai jenis barang dagangan mulai dari pakaian baru dan bekas, makanan dan aneka jenis camilan, hewan peliharaan, mainan anak, dan berbagai barang lainnya.

Lokasinya berada di Jalan Stasiun Kota dan berdekatan dengan sungai besar. Sehingga suasana menjadi lain dan menjadikannya daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Lapak-lapak yang menghiasi sepanjang bibir jalan seakan membuat mata kita tak bisa berhenti menatap. Hiruk pikuk pembeli, riuh suara penjual seakan melengkapi sebutan bahwa ini pasar untuk rakyat kecil.

Baca Juga:  Dewan Pers: Perlu Dibentuk Tim Investigasi Bersama untuk Usut Kebakaran di Rumah Wartawan di Karo 

Saya hafal betul setiap sudut pasar ini. Karena hampir tiada Minggu terlewat tanpa sekadar mampir dan membeli barang-barang kebutuhan. Tentunya dengan rasa malu yang sudah putus. Saya enjoy saja berjalan-jalan di sana.

Karena ternyata ada yang unik di pasar tersebut. Banyak pengunjung yang memakai masker. Usut punya usut, sebenarnya mereka bukan melindungi nafas dari debu, melainkan mereka malu berbelanja di pasar rakyat tersebut. Saya sendiri lebih memilih tidak mengenakan masker. cuek saja,  hehe.

Tak mudah memang memutus urat malu. Dulu saya memang tidak tahu apa-apa. Awalnya saya sekedar melewati jalan Stasiun Kota itu. Lalu mata saya terasa aneh melihat baju-baju ditumpuk, dikastok-kastok dengan warna relatif sama, coklat hitam dan kusam tak terbayang rasanya untuk mengenakannya.

Baca Juga:  4 Tantangan Jurnalis Indonesia Sepanjang Masa

Lalu ada seorang teman memaksa saya menemaninya pergi belanja. Saya bersedia. Di sana ia memilah-milah jaket dan saya tak memperhatikan. Setelah selesai dan dibungkus kantong kresek hitam akhirnya kami pulang.

Keseesokan harinya jaket itu dipakai oleh teman saya. Betapa kagetnya, jaket itu masih bagus. “Gimana keren kan bro? Cuma 15 ribu broo haha.. ente sih ndak cari kemarin. Kalo kita pinter nyari dapatnya bagus broo hahaha,” kata teman saya. Dalam hati saya berkata “Jangkrik, apik, murah, merek e Kappa lagi, kok ada yo,”

Sejak itu, saya beranikan diri datang sendiri ke TP Pagi. Berhimpitan dengan orang-orang, mencari, berpindah dari satu lapak ke lapak lain. Dalam membeli, saya tidak membalik barcode label harga seperti belanja di mall. Tapi cukup melihat, memegang, dan saat bertemu dengan baju yang pas, maka sensasinya seperti mendapatkan jodoh. Haha.

Baca Juga:  LPM Stikes ICsada Bojonegoro Gelar Harlah dan Jambore

Entah berapa baju yang sudah saya dapatkan di pasar rakyat itu. Dan saat menulis ini pun saya mengenakan baju yang berjodoh dengan saya, hehe. Tips dari saya, jika Anda bisa bahasa Madura, silahkan gunakan bahasa tersebut, maka Anda akan lebih akrab dengan penjual-penjual di sana. Dan tentu dapat harga yang jauh lebih murah lagi. Selamat berkunjung ke TP Pagi. Selamat berbelanja!

Salam jeprat-jepret

Nata, 7 Mei 2017

*) Penulis adalah penyuka jalan-jalan pagi. Juga peneliti di FIK UM Surabaya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *