BUKU  

Masa Silam dalam Genggaman Generasi Milenial

Karya-karya yang berusaha menekuni historiografi tanah kelahiran selalu memantik perhatian publik, tak terkecuali Bodjonegoro Tempo Doeloe (BTD). Bagaimanapun, terdapat ikatan psikologis dan sosiologis yang menautkan manusia dengan daerah di mana mereka lahir dan dibesarkan. Hal ini terutama dirasakan oleh para perantau atau pelancong yang cukup lama meninggalkan kampung halaman. Geliat urbanisasi ke kota-kota besar tidak lantas menjadikan kaum urban melupakan asal-muasal. Tak heran apabila setelah BTD diluncurkan, banyak orang yang tertarik untuk segera membacanya.

Nostalgia

Bagi saya, penulisan BTD merupakan ikhtiar memantik sekaligus merawat bermacam memori atau ingatan manusia. Dalam taraf tertentu, ia menampung sentimentalitas dan rasa kangen terhadap segala hal yang berbau kenangan. Alih-alih mengajak pembaca untuk memandang ke depan, ia justru membujuk pembaca untuk menoleh ke belakang seraya mengingat kembali pengalaman lapuk dan menghayati jejak-jejak peradaban yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Dalam konteks inilah, terbitnya BTD menemukan urgensinya. Meskipun tidak diungkapkan secara gamblang, di dalamnya terkandung pesan bahwa masa lalu menjadi jembatan bagi manusia untuk menapaki masa kini dan masa depan.

Baca Juga:  Sinopsis Sastra Si Lugu Karya Voltaire

Nostalgia menjadi sarana penghibur yang menyejukkan dan menyegarkan. Dengan membaca BTD, seseorang dapat leluasa memunguti remah-remah fakta atau opini personal tanpa perlu memusingkan kebutuhan hari esok. Berputarnya roda kehidupan layak dinikmati dengan santai tanpa direcoki dengan bermacam tuntutan. Di sela-sela kesibukan, aktivitas memelototi halaman demi halaman BTD menjadi medium ampuh guna meringankan beban pikiran. Barangkali manusia perlu sejenak menghindari rutinitas yang membosankan sekaligus mengesampingkan berita-berita politik yang murahan. Hal ini bukan dilakukan untuk melarikan diri dari realitas, melainkan sekadar menyelipkan hiburan di tengah peliknya permasalahan hidup.

Antitesis

Lantaran disajikan dalam versi cetak, kehadiran BTD seolah menjadi antitesis dari jagat digital. Tersebarnya jaringan internet ke berbagai belahan dunia memaksa manusia untuk menangkap beragam informasi dengan sekali ‘klik’. Seiring dengan gencarnya modernisasi dan globalisasi, manusia dituntut untuk gemar memanfaatkan perangkat virtual. Merupakan ‘proyek lanjutan’ Gang Kecil yang selama ini tampil dalam versi online, BTD seakan menjadi penyeimbang munculnya gejala digitalisasi dan virtualisasi yang menelusup ke hampir semua lini kehidupan.

Betapa menjamurnya game online dan media sosial belakangan ini secara perlahan telah menggerus nilai, prinsip, dan etos lama yang dianggap terbelakang. Lahir di era modern, generasi milenial sukar mengelak dari modernitas. Atas dasar inilah, sejumlah ekses negatif menggeliatnya dunia maya, semisal terpupuknya egosentrisme, renggangnya jalinan sosial, melemahnya komunalisme, merosotnya daya kreatifitas, rendahnya emosi antar personal, bergesernya kemampuan bersosialisasi, serta bertunasnya budaya instan, berupaya diimbangi dengan BTD yang kelahirannya tidak terlepas dari proses panjang.

Baca Juga:  Buku Verifikasi Nilai Budaya Agraris Baritan Ritual Pertanian Dalam Perubahan

Anak Desa

Dengan menelaah esai-esai yang termuat di dalamnya, pembaca diajak untuk mengenang alam tradisional yang meski syarat kesederhanaan, namun senantiasa menyelipkan kearifan. Kesan pembaca terhadap wilayah perdesaan yang tenteram, guyub, dan damai turut dikukuhkan dengan sampul bernuansa jaman dulu (jadul), foto-foto berkelir hitam-putih, kertas buram, serta bau apak pada BTD. Itulah mengapa, penyematan Tempo Doeloe pada judul buku tentu bukan tanpa alasan dan kesengajaan. Betapa identitas saya sebagai ‘anak desa’ cukup mendapat ruang saat membaca esai-esai tentang hikayat peperangan di wilayah pedalaman (hlm. 13), asyiknya mandi di bengawan (hlm. 55), serta riwayat kerupuk abang ijo yang sejak dulu terkenal sebagai kuliner lokal andalan (hlm. 78).

Baca Juga:  Merupa Buku Karya Koskow

Meskipun metodologi yang digunakan dalam penulisan buku ini tidak sepenuhnya ilmiah, akan tetapi BTD menawarkan gagasan menghidupkan ‘catatan sejarah yang tercecer’. Ia menawarkan sejarah kecil yang jarang terungkap dalam buku-buku mainstream. Kerinduan saya pada catatan-catatan ringan tentang suatu peristiwa atau fakta historis sedikit terobati dengan terbitnya BTD. Apa yang dilakukan oleh penulis BTD genap memberikan sumbangsih bagi ikhtiar penelusuran sejarah Bojonegoro, terutama pada masa silam.

____________

Judul: Bodjonegoro Tempo Doeloe, Penulis: Nanang Fahrudin, dkk., Terbit: Maret 2018, Penerbit: Gang Kecil, ISBN: 978-602-51293-1-5, Tebal: viii + 106

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *