“WA’AWWALU bisaain hadzal babu yauma al isnain fi syahris sawwal wafii sanatil wawu waiddatu hijratun nabi Shallahu ‘alaihi wasallam alfu wasittaani wakhomsa wasittuuna sanah.”
Tulisan dengan huruf Arab berbunyi seperti di atas ini dapat dijumpai di lembaran arsip keluarga RM Tejonoto Kusumaningrat yang tersimpan dalam perpustakaan keluarga. Dapat diterjemahkan sebagai berikut: Mulai berdirinya koi di hari Senin di tahun wawu Hijrah Nabi 1265. Dalam tahun Jawa 1775 dan tahun Walanda 1846. Inilah tahun pemugaran pertama dari Masjid Baitunnur yang dicatat dalam arsip sejarah.
Tulisan arab itu juga dapat ditemui di atas koi gapura di serambi depan tiang gapura masjid yang bertanda dengan sengkala. Sengkala adalah angka tahun yang disimbolkan dengan kata-kata, gambar, atau benda. Tahun pendirian masjid ditandai dengan sengkala Catur Ing Pandhita Sabdaning Ratu yang artinya 1774.
Masjid ini didirikan pertama kali oleh Raden Tumenggung (RT) Jayeng Tirtonoto pada tahun 1774. RT Jayeng Tirtonoto memerintah Kabupaten Blora di bawah Kasunanan Surakarta dari tahun 1762 hingga tahun 1782. Tahun 1768 Blora Timur dan Barat disatukan oleh Susuhunan Pakubuwono III sehingga wilayah kekuasaan RT Jayeng Tirtonoto semakin luas.
Karena wilayah kekuasaannya semakin luas, RT Jayeng kemudian babat alas (gerumbul) untuk membangun rumah kabupaten berikut alun-alunnya. Setelah selesai membangun rumah kabupaten dilanjutkan dengan membangun masjid. Saat didirikan, masjid dibangun dengan menggunakan bangunan kayu. Baru 72 tahun kemudian dipugar dengan menggantinya menjadi bangunan tembok.
Di masa pemerintahan RT Jayeng Tirtonoto, masjid telah memiliki bedug. Bedug terbuat dari pohon jati utuh yang berlubang (growong) di tengahnya. Pohon jati ini ditemukan RT Jayeng Tirtonoto di sebuah tempat yang dikemudian hari tempat tersebut dinamakan Desa Growong. Pohon jati dipotong menjadi 3 bagian untuk membuat 3 bedug. Bedug pertama diperuntukkan Masjid Agung Surakarta yang diambilkan dari potongan pohon jati di bagian pangkal. Sedangkan potongan di bagian tengah diperuntukkan Masjid Agung Blora, dan di bagian pucuk untuk Masjid Ngadipurwo.
Di masa ini masjid belum memiliki mimbar khotib. Barulah di tahun 1791, atau 17 tahun setelah didirikan, Bupati RT Tirto Kusumo membuat mimbar tempat imam memberi khotbah dengan tanda angka 1718 atau tahun Walandi 1791. Saka tumpangan mimbar diambil dari saka guru rumah pendapa kabupaten, dengan pengerjaan pengukiran dari Jepara.
Menyesuaikan perkembangan jaman, di masa pemerintahan Bupati RT Tirtonegoro yang memerintah pada tahun 1823 hingga 1842 dan dilanjutkan tahun 1843 hingga 1847, masjid dipugar dari bangunan kayu ke bangunan tembok. Pengerjaannya dikerjakan pada tahun 1846. Inilah pemugaran pertama setelah 71 tahun masjid berdiri.
Pemugaran berikutnya dikerjakan di masa pemerintahan Bupati Srinardi pada tahun 1968. Di pemugaran ini masjid mendapat tambahan bagian depan. Tujuh tahun kemudian, di pemerintahan Bupati Supadi Yudhodarmo dilakukan pemugaran ketiga. Di pemugaran ketiga ini masjid mendapat penambahan bangunan menara. Terakhir pemugaran masjid ini dikerjakan pada tahun 1999 di masa pemerintahan Bupati Sukardi Harjoprawiro.
Hingga pemugaran terakhir, masjid telah mendapat beberapa tambahan ornamen, beberapa di antaranya kaligrafi dan angka terukir di 3 pintu bangunan utama. Selain dipintu, beberapa ornamen juga dapat ditemui di dalam masjid bangunan utama berupa tulisan arab di koi dan dinding bangunan utama masjid.
Rencananya di tahun depan, masjid Agung ini akan direvitalisasi. Diharapkan dalam revitalisasi tahun 2018 nanti, bangunan masjid dikembalikan bentuknya seperti bangunan ditahun 1846: bangunan yang berada di depan dibongkar. Sebab bangunan ini adalah bangunan cagar budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta dijaga keberadaannya.
Saya mengapresiasi upaya pemerintah dalam terus meningkatkan pembangunan di kota Blora, namun dalam pembangunan masjid yang sudah ditetapkan sebagai warisan Cagar Budaya harus ada rekomendasi dari Tim Sidang Pemugaran (TSP). Bila di daerah belum ada Tim Sidang Pemugaran, dapat memanfaatkan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) Cagar Budaya yang ditambah Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten dapat mengacu pada Peraturan Mentri PUPR no. 1 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan; Undang-Undang no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Sebagai bangunan Cagar Budaya yang mempunyai sejarah panjang dan penting bagi suatu daerah tidak bisa sembarangan memugar begitu saja. Perlu dikaji dari beberapa disiplin ilmu seperti arsitek, sejarah dan budaya. Apalagi masjid Agung Baitunnur merupakan masjid tertua di Blora yang dibangun pada tahun 1774, yang tentunya memiliki ciri khas pembangunan di masa itu, baik dari segi mustaka, saka guru, atap yang digunakan dll sehingga harus memperhatikan setiap detail bangunan aslinya agar tidak mengubah nilai historis.
Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota banyak yang belum mumpuni dalam pengelolaan bangunan tua bersejarah, karena bangunan tua memiliki kerumitan tersendiri. Bangunan masjid Agung Baitunnur pada masa lalu tampak bersahaja, namun seiring kemajuan jaman dan kota sepertinya kebersahajaan tak banyak yang menyukai. Perubahan seringkali tak dapat ditunda, hanya saja apakah perubahan itu tidak bisa dikelola dengan baik atau kemudian hanya diakomodasi dengan serampangan sehingga “yang lebih baik” harus gugur oleh “yang lebih jelek”
Negara-negara maju seperti Inggris, Belanda, Perancis, Rusia, Jerman dalam pembangunan arsitektur dan kesenian mengacu pada kekuatan historiografi sehingga membuat Negara tersebut memiliki ciri khas kota-kotanya tersendiri.
Dalam pembangunan Masjid Agung Baitunnur Blora, dapat diperhatikan beberapa hal penting, antaranya: Pembangunan masjid harus bisa mengembalikan jiwa si bangunan; Memberikan peran baru tanpa menghilangkan identitsa aslinya; Seminimal mungkin melakukan perubahan; Bangunan masjid yang sudah terlanjur mengalami banyak perubahan, sebisa mungkin dikembalikan kepada karakter atau bentuk aslinya.; dan yang terakhir gaya bangunan yang tepat untuk masjid Baitunnur adalah perpaduan budaya Islam dan budaya Jawa.