Banyak sejarah mencatat, perpisahan membuat seseorang rela melakukan apa saja. Kematian Mumtaz Mahal membuat Raja Shah Jahan berjanji membangun sebuah makam yang sangat megah untuk sang istri. Jadilah makam yang kini disebut Taj Mahal. Nah, di Bojonegoro-Jawa Timur, ternyata juga ada sebuah masjid yang dibangun setelah adanya perpisahan. Yakni, untuk mengenang wafatnya sang istri tercinta seseorang membangun sebuah masjid. Masjid itu bernama Masjid Hajjah Roro Rasminie.
_______
Sejuk dan tenang. Suasana itulah yang saya rasakan saat pertama mengunjungi salah satu masjid di tengah perkampungan kerajinan kayu di Dusun Bandar, Desa Bathokan, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Bangunan masjid itu tak ada beda dengan bangunan masjid pada umumnya. Namun, yang membuat hati bergetar adalah, konon masjid ini merupakan hadiah seorang suami kepada istrinya. Itu bisa diketahui dari prasasti yang tertera tepat di bawah menara masjid.
Dalam prasasti tersebut, dijelaskan bahwa Djoko Sudiro, pendiri masjid, menghadiahkan masjid itu kepada sang istri tercinta, yakni Roro Rasminie. Dalam tubuh prasasti itu juga dituliskan bahwa Roro Rasminie telah meninggal dunia pada Jumat Legi, 10 Juli 1998 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Abdul Rosyid, 34, penjaga masjid Hajjah Roro Rasminie menceritakan, masjid megah berada di tengah sentra ukiran kayu jati Kasiman tersebut, memang didirikan atas biaya pribadi. Pria asal Demak, Jawa Tengah yang sehari-hari bekerja sebagai marbot masjid itu mengatakan, masjid berdiri sejak 1998 itu memang awalnya sebuah dari suami untuk istrinya.
Adalah Djoko Sudiro dan Roro Rasminie. Dua sejoli di balik keberadaan masjid. Dari cerita Rosyid, Djoko dan Roro memang asli Kasiman. Lama merantau, Djoko bekerja di bidang Real Estate di Martapura, Kalimantan Selatan. Setelah berjuang keras meraih kesuksesan, pada suatu ketika, Djoko pulang ke kampung halaman bersama istrinya, Roro Rasminie. Entah apa yang terjadi, kala itu, mereka berniat membangun sebuah masjid di tengah perkampungan yang identik sebagai kawasan kerajinan kayu itu.
Sayangnya, pembangunan masjid kala itu tidak berjalan mulus. Penyebabnya, Roro Rasminie menderita sakit hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RSCM Jakarta. Padahal, waktu itu, pembangunan masjid baru mencapai pondasi bawah. Roro Rasminie kemudian dimakamkan di Martapura, Kalimantan Selatan.
Djoko, yang ditinggal istrinya wafat, selalu teringat masa susah senang bersama sang istri. Djoko pun bertekad menyelesaikan bangunan masjid tersebut sendirian. Tanpa istrinya. Nah, untuk mengabadikan kisah cinta beserta kebersamaan mereka, masjid itu dihadiahkan khusus kepada almarhum istrinya. Masjid itupun diberi nama Masjid Hajjah Roro Rasminie yang disesuaikan dengan nama istrinya.
“Hadiah masjid itu mungkin sebagai tanda sayang dan cinta Bapak kepada Ibu,” tutur Rosyid.
Djoko Sudiro dan Roro Rasminie dikaruniai lima orang anak. Diantaranya, Rudi Eko Ludiro, Tri Titi Titis Wati, Tuto Karya Wanto, Yuyo Priyo Sudono, dan Ragil Ning Katulistyowati. Sayangnya, Rosyid dan sejumlah masyarakat tidak tahu perihal siapa nama-nama itu. alasannya, keluarga Djoko Sudiro sudah tidak bisa dilacak keberadaannya. Dia mengetahui nama-nama itu karena tertera jelas pada prasasti masjid.
Masjid Roro Rasminie, kata Rosyid, didesain sedemikian rupa karena memiliki maksud tertentu. Artinya, setiap sudut bangungan memiliki sisi simbolis yang bisa dibaca. Seperti, jumlah marmer lantai yang dipasang punya arti khusus. Tidak hanya itu, marmer berwarna hitam yang dipasang di depan pintu sejumlah 10 marmer, tempat bunga di sekitar lingkup masjid, dan menara yang menjulang tinggi. Semua ada maknanya. Sayang, saya tak bisa banyak memintanya menjelaskan makna itu. “Semuanya memiliki kesinambungan sebuah cerita,” kata dia.
Abdul tidak begitu tahu terkait cerita tersebut. Sehingga dia enggan menjelaskan, khawatir keliru. Tentang pendiri masjid (Djoko), dia juga kurang mengetahui profilnya. Yang dia ingat, hanya sekali melihatnya secara langsung. Sebab, selain jarang berkunjung, tidak lama setelah itu sang pendiri masjid, Djoko Sudiro wafat. “Kelima anaknya juga tidak pernah datang ke sini,” ungkap dia.
Selain pendirinya yang juga menjadi misteri, nasab keluarganya juga sulit diketahui. Sebab, lima nama yang tertera di prasasti masjid itu, dari keterangan Rosyid, hingga kini belum pernah berkunjung. Sedangkan keluarga dari Kasiman sendiri juga sudah tidak bisa dilacak. Pada awalnya, masjid itu kerap dipandang sebelah mata oleh warga sekitar karena kondisinya yang sepi.
Selain sepi juga kesan “milik pribadi” masih kenthal. Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya masyarakat merasa memiliki masjid tersebut sebagai milik bersama. Terkadang, kata dia, ada warga luar daerah yang datang ke masjid tersebut dengan maksud menjalankan prosesi akad nikah.
Masjid dibangun dengan rentang waktu kurang lebih 11 bulan, mulai 21 Agustus 1998 dan selesai 21 Juni 1999. Masjid diresmikan Bupati Bojonegoro kala itu, Drs. H. Atlan pada 28 Juni 1999. Kutipan romantis nan menggetarkan tertera di bawah menara, “Masjid Hajjah Roro Rasminie Bukti Nyata Atas Cinta dan kasih Sayangku kepada Istri”. Djoko telah meninggal dunia pada 2005 silam dan dimakamkan bersanding pusara istrinya di Martapura.
_____________
*) Penulis adalah seorang jurnalis di Bojonegoro, menyukai membaca buku dan mendengarkan musik.