SEJAK AWAL AKU MEMANG ragu untuk memasuki masjid itu. Meski berkali-kali lewat (karena itu jalur perjalananku) dan ingin mampir untuk shalat, namun hati ini selalu ragu. Pernah sekali aku memaksakan diri memasuki halaman masjid itu, lalu turun dari kendaraan untuk masuk ke dalamnya. Namun sesampai depan pintu, sebelum sempat melepas sepatu, hatiku jadi ragu. Ada ketidaknyamanan yang mengusikku. Ada benteng tak terlihat yang seperti menolakku. Meski waktu sholat hampir habis akhirnya kuputuskan saja cepat-cepat pergi dari situ, dengan dada yang berdegup kencang. Entah apa yang terjadi. Aku seperti tidak disambut di tempat yang biasanya disebut “Rumah Allah” itu. Dan aku terus bertanya-tanya: mengapa?
Aku adalah orang lapangan. Hidupku di jalan-jalan. Menempuh berjam-jam perjalanan (8 jam, termasuk menyeberangi teluk) sebelum sampai pada tujuan. Selama ini aku sering mampir ke masjid-masjid. Selain untuk shalat, juga sekaligus untuk istirahat. Dan di masjid-masjid yang ku ampiri itu aku selalu merasakan kenyamanan. Seburuk apapun kondisi masjid itu (tentu tidak seburuk yang kau bayangkan), aku tetap merasa nyaman, disambut (bahkan oleh makhluk-makhluk halusnya), dan diterima sebagai orang yang layak mendapat perlindungan. Ya, karena ini rumah Allah, dan aku percaya bahwa Allah adalah pelindung terbaik.
Tapi mengapa masjid yang satu ini lain. Auranya bukan aura penerimaan, tapi penolakan. Energi yang ku terima bukan sambutan (bahwa aku adalah bagian darinya), tapi kecurigaan (bahwa aku adalah orang asing yang tidak sepatutnya ada di sini — tersesat). Entahlah…..
Demi mendengar nasihat “tak baik menunda-nunda shalat”, maka kali ini ku paksa (meski sangat ragu) untuk mampir di masjid yang satu itu. Sejak memasuki halamannya aku sudah diteror dengan perasaan ganjil. Tapi ku lawan. Shalat lebih penting dari perasaan. Setidaknya seperti itulah gumam perlawananku. Lalu aku mulai menyopot sepatu (dengan perasaan yang kian meragu), melihat ke dalam, menatap beberapa orang (berjubah) yang tidak mau menatapku. Ah, terjang saja. Ini bukan hanya tempat mereka. Sebagai orang Islam, mestinya aku juga punya hak untuk berada di sini, setidaknya untuk tidak ditolak.
Ku cari tempat wudlu. Kulihat kanan kiri. Sepi. Di dalam masjid kulihat beberapa orang berjubah sedang duduk merunduk. Mestinya sedang berdzikir atau berdoa. Sementara di sebelah mereka ada serombongan orang berpakaian putih-putih (mayoritas berjubah) dan berudeng-udeng (surban yang dililitkan di kapala), dipimpin imam yang kurus, berjubah, berjenggot panjang, sedang melakukan shalat jamaah. Entah shalat apa, karena aku tidak mendengar suara.
Usai wudlu, dengan ragu yang kian membelenggu, aku berusaha masuk ke ruang dalam masjid itu. Seseorang bangkit dari duduknya, menatapku sejenak, lalu keluar. Dari teras masjid ia kembali menoleh padaku. Aku berusaha untuk berpura-pura tidak melihatnya.
Di dalam masjid aku kembali diserang ragu apakah harus bergabung dengan jamaah itu. Aku tunggu (dengan sangat gelisah — betul-betul tidak nyaman) hingga beberapa waktu. Tapi hati kecilku memutuskan: shalat sendiri saja (dari pada kau menjadi serigala di antara domba, atau sebaliknya).
Maka di saat yang sama mereka bersujud, aku sedang menata niat untuk sholat (baca ushalli). Ketika aku mulai takbiratul ihram, mereka masih bersujud. Lalu rakaat pertama selesai, mereka masih bersujud. Rakaat kedua selesai, mereka masih bersujud. Aku mulai gelisah. Rakaat ketiga selesai, mereka pun masih bersujud. Shalat apaan mereka ini? Gumamku dalam hati.
Ah, cepat-cepat kuselesaikan sholatku. Usai salam ke kanan dan ke kiri, aku meloncat tanpa basa-basi. Meraih jaket dan ranselku, segera ngeloyor pergi. Tuhan. …… bebaskan aku dari neraka di masjid ini.
Kupakai sepatuku buru-buru. Seperti maling saja rasanya aku. Lalu kunaiki motorku dan tancap gas. Tuhan…… aku kapok shalat di sini ……… (teriakku).
*Catatan:
(1) Kita akan merasa nyaman jika energi di sekeliling kita sama dengan energi kita.
(2) Kita akan merasa nyaman di dekat seseorang jika energi orang itu sama dengan energi kita. (Artinya: kita diterima).
* Ini adalah pengalaman nyata yang kualami di Samarinda beberapa waktu yang lalu.
— Kampung Kutai, 10 Mei 2017