Mbah Yai Syairozi merupakan sosok ulama filsuf yang memperkenalkan saya pada konsep analogi-dekonstruksi dalam menjalani dan memahami hidup.
KH. Muhammad Imam Syairozi atau Mbah Yai Syairozi (1965-2018), bukan sekadar mubaligh podium, beliau adalah ulama filsuf yang bergerak di akar rumput, ilmuwan yang sangat dekat dengan masyarakat awam.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin, Moropelang, Babat, Lamongan, yang wafat pada 2018 silam tersebut, punya peran besar terhadap sudut pandang dan cara berpikir saya dalam memaknai modernitas hidup.
Meski belum sempat mondok di Moropelang, sejak 2009, saya cukup intens mengikuti nasehat-nasehat Mbah Yai Syairozi. Baik secara tidak langsung (mendengar radio/MP3) atau ngalong (datang langsung ke majelis yang beliau ampu). Sebab beliau mengampu rutinan di sejumlah tempat.
Bahkan, karena kekaguman pada beliau pula, saya sampai membuat catatan bertajuk “Serpihan Dawuh” Mbah Yai Syairozi yang saya himpun sejak 2011 silam. Saya mencatat dawuh-dawuh beliau agar mudah saya cari. Meski, ada dawuh yang tak perlu saya cari karena sudah menempel di dalam hati.
Dan melalui catatan ini, saya ingin menjabarkan dan menulisnya secara berseri. Sehingga Serpihan Dawuh yang sempat saya himpun dan catat, tidak hilang begitu saja, namun bisa terbaca oleh banyak pembaca.
Analogi
Perihal pertama yang membuat saya sangat mengagumi Mbah Yai Syairozi adalah unsur analogis (penyesuaian objek) yang selalu beliau bawa saat berceramah. Itu yang membuat beliau menasehati tapi tak seperti menasehati, memberitahu tapi tak menggurui.
Analogi, dalam konsep awam, adalah teknik meringankan sesuatu yang berat. Atau metodologi menyederhanakan sesuatu yang tidak sederhana. Beliau kerap menggunakan analogi dalam mengemas pesan-pesan penting.
Dengan analogi, sesuatu yang semula teramat langit bisa terdengar membumi. Dengan analogi, sesuatu yang sulit dijangkau nalar, bisa dengan mudah masuk akal. Bahkan, melalui analogi pula, perkara lucu bisa “menyembul” begitu saja tanpa dipersiapkan.
Itu pula yang membuat nasehat Mbah Syairozi kadang terdengar lucu. Tapi harus diingat, lucunya nasehat Mbah Syairozi bukan lucu konsepan “garing” ala mubalig panggung. Bukan lucu yang dipersiapkan, tapi lucu yang “basah” dan falsafi, lucu yang spontanitas.
“Sodaqoh iku kayak bocah cilik disunat. Yang semula kecil, dipotong justru tambah gedi dan tambah kuat.” Itu sedikit contoh analogi khas Mbah Yai Syairozi yang memicu rasa lucu. Namun bukan lucu konsepan ala mubalig panggung pada umumnya.
Alumni Ponpes Langitan, Tuban tersebut, selalu bisa membingkai pesan-pesan falsafi melalui bingkisan yang sederhana dan lucu. Ini penting karena audience (pendengar) Mbah Yai adalah masyarakat akar rumput yang sehari-hari sudah dibikin sibuk oleh kebutuhan hidup.
Sementara mubalig panggung hanya menjual “sepaket kelucuan” yang sudah dikonsep sejak dari rumah. Yang karena sering diulang-ulang, hakekat pesannya justru menguap hilang. Itu perbedaan yang sangat jelas antara Mbah Yai Syairozi dan mubalig panggung lainnya.
“Urip iku koyok wong budal bancaan. Sing penting budal, urusan berkat ben dipikir sing ngundang” —- Hidup itu kayak orang berangkat kondangan. Yang penting berangkat dulu, urusan rizki, biar dipikir yang mengundang hidup (Allah).
Siapa yang tidak meleleh mendengar nasehat sederhana-namun-falsafi tersebut. Dan serpihan analogi-analogi seperti itu, hanyalah sedikit contoh yang membuktikan betapa Mbah Yai Syairozi merupakan sosok filsuf yang kerap menemani orang-orang awam meniriskan kesusahan.
Dekonstruksi
Selain analogi, dalam hemat saya, satu hal yang selalu identik dengan Mbah Yai Syairozi adalah unsur dekonstruktif (metode pembacaan keadaan) yang selalu berhasil beliau tanamkan pada para audience yang mendengarkan.
Beliau seringkali mendekonstruksi rasa susah menjadi sesuatu yang wajar, mendekonstruksi kemiskinan menjadi investasi terbaik akhirat, hingga mendekonstruksi kematian menjadi sesuatu yang menegangkan-tapi-menyenangkan.
Dekonstruksi (membangun sudut pandang dari sisi lain) inilah, yang membuat saya kerap merasa kagum pada sosok Mbah Yai Syairozi. Dan dari beliaulah, saya banyak belajar tentang teknik dan cara mendekonstruksi keadaan.
Ada salah satu pesan dekonstruktif beliau yang ketika saya dengar, awalnya bahu saya bergetar karena lucu. Namun sesaat setelah itu, getar bahu itu berubah menjadi getar tangis haru seorang lelaki yang amat sunyi dan sulit dijelaskan. Pesan itu berbunyi begini:
“Sak enak-enake ning dunyo, ijek iso keturon. Sak susah-susahe ning ndunyo, ijek iso keturon. Mbesok ning akhirat, enake sampek gak iso keturon. Mbesok ning akhirat, susahe sampek gak iso keturon”. Ucap beliau dengan suara yang selalu bisa saya ingat nadanya.
Artinya: Se-enak-enaknya hidup di dunia, masih bisa ketiduran. Se-susah-susahnya hidup di dunia, masih bisa ketiduran. Kelak di akhirat, enaknya sampai nggak bisa ketiduran. Kelak di akhirat, susahnya sampai nggak bisa ketiduran.
Siapa yang tak tersenyum lucu mendengar ucapan itu, siapa yang tak menangis haru mendengar ucapan itu?
Mbah Yai Syairozi sering berpesan, dunia ini hanya gambar. Ada orang miskin dan susah, ada orang kaya dan mulia. Itu semua hanya gambaran belaka. Yang dilihat mata kita saat ini, hanya contoh dan gambar belaka.
Saat melihat orang susah, itu hanya gambaran kelak susahnya orang di neraka. Saat melihat orang kaya dan mulia, itu hanya gambaran kelak nikmatnya orang di surga. Karena hanya contoh, orang yang saat di dunia kaya dan mulia, belum tentu kelak di akhirat kaya dan mulia.
Menurut Mbah Yai, banyak sekali orang yang di dunia kaya dan mulia, kelak di akhirat miskin dan susah. Begitupun sebaliknya, orang yang saat di dunia miskin dan susah, kelak justru dimuliakan.
Bahkan, kata beliau, orang yang saat di dunia susah tapi sabar berpegang iman, kelak justru lebih berpotensi jadi orang mulia saat berada di akhirat. Terlebih, perbandingan periodisasi di dunia tak ada apa-apanya dibanding akhirat. Di dunia, sehebat-hebatnya mentok hanya 70 tahun. Di akhirat, tanpa-batas-waktu.
Dan satu pesan yang beliau tekankan. Kenikmatan di dunia sangat remeh jika dibanding kenikmatan di akhirat. Perbandingannya sangat jauh. Ibaratnya, saat seseorang mencelupkan jarinya ke laut, lalu mengangkatnya.
Kenikmatan dunia adalah air yang menempel di jari, sementara kenikmatan di akhirat adalah samuderanya.
Begitupun sebaliknya, susah di dunia juga sangat remeh dibanding susah kelak di akhirat. Perbandingannya sangat jauh. Ibaratnya, saat seseorang mencelupkan jarinya ke laut, lalu mengangkatnya. Kesusahan di dunia adalah air yang menempel di jari, sementara kesusahan di akhirat adalah samuderanya.
Karena itu, pesan beliau, orang yang pintar dan alim, tidak akan mudah kagetan. Sebab yang saat ini ada di dunia dan bisa dipandang oleh mata kita, hanya gambar dan contoh belaka. Dalam konsep hakikat, semua terbalik begitu saja.
Begitulah, bagaimana Mbah Yai Syairozi mengemas pesan-pesan langit dengan analogi yang sederhana. Beliau juga mendekonstruksi kesusahan menjadi sesuatu yang wajar untuk dilalui. Dan dua hal itu, tak akan bisa disampaikan kecuali oleh seorang ulama nan filsuf.