Jika kamu lahir pada tahun 1970 an dan tinggal di kampung, mungkin kamu sering melihat orang bermain rebab sambil jual arumanis keliling. Lalu bersama teman-teman kamu mengikutinya dari belakang. Begitu juga waktu ada orang jualan gulali keliling, kamu akan membeli dan waktu penjualnya pindah tempat, kamu akan mengikutinya dari belakang beramai-ramai.
Begitu juga jika ada orang memainkan harmonika, atau gitar ukulele, atau alat musik tradisional, berjalan dari pintu ke pintu. Pasti beramai-ramai mengikutinya, melihatnya bermain musik. Yang paling seru adalah melihat atraksi topeng monyet. Masyarakat jawa, khususnya di Bojonegoro, menamai aksi-aksi seniman jalanan itu dengan istilah mbarang. “Enek wong mbarang,” begitu kira-kira.
Mbarang memang istilah untuk menyebut aksi seniman jalanan yang menunjukkan kebolehannya dari rumah ke rumah untuk mendapatkan imbalan uang. Kegiatan ini untuk masa kini lebih dikenal dengan ngamen atau mengamen. Biasanya, orang ngamen sekarang memakai gitar, menyanyikan lagu-lagu pop atau dangdut.
Bagi generasi milenial, generasi yang tak bisa lepas dari gadget, mbarang tentu menjadi istilah asing. Mungkin lebih akrab pakai istilah ngamen. Meski punya makna hampir sama, akan tetapi kata ‘mbarang’ mempunyai sejarah kata yang panjang.
Mungkin istilah mbarang makin akrab di telinga masyarakat karena di dunia pewayangan ada lakon ‘Semar Mbarang Jantur’. Dalam lakon tersebut, Semar mengajak Petruk dan Gareng untuk mencari nasi dengan cara menunjukkan aksi memainkan alat musik dan bercerita. Nasi tersebut akan diberikan kepada Arjuna yang merasa lapar. Konon kelaparan yang dirasakan Arjuna sebagai kutukan dari Surtikanti akibat Arjuna dalam perjalanannya mencari Dewi Irawati tergoda oleh kecantikan Banowati.
Wayang lakon ‘Semar Mbarang Jantur’ mungkin jarang terdengar. Namun di Bojonegoro, seniman mbarang benar adanya. Salah satunya lama dilakoni oleh Mbah Rukini yang lihai bermain siter. Rukini keliling pasar, kantor pemerintah, rumah warga dan tempat-tempat umum lain untuk menunjukkan keahliannya bermain siter.
Sosoknya kemudian terkenal (sekarang disebut viral). Ia diundang di berbagai acara untuk tampil ‘mbarang’. Ia selalu membawa siter, alat musik tradisional dengan panjang sekitar 90 sentimeter (cm) dan masing-masing 13 pasang senar. Alat musik etnik ini dipetik dengan ibu jari dilapisi besi seperti kawat. Rukini adalah legenda mbarang di Bojonegoro.
Di Yogyakarta, juga dikenal seniman mbarang yakni Sujud Kendang. Sebagaimana Rukini, Sujud Kendang juga dikenal sebagai seniman mbarang. Tak heran jika kemudian, pada 2016, sosoknya hadir dalam karya seni rupa hasil karya 27 perupa. Bahkan, pameran seni rupa ‘Mbarang Jantur’ digelar di Bentara Budaya Yogyakarta khusus untuk mengapresiasi konsistensi Sujud Kendang mbarang.
Mbarang kini tak lagi populer. Para pelaku seni jalanan di terminal, di atas bus, atau keliling dari rumah ke rumah disebut pengamen. Pengamen lebih modern. Bahkan di sejumlah perempatan jalan, anak-anak punk mengamen dengan bermain gitar.
Mbarang memang identik dengan seniman yang terus berusaha mengolah kemampuannya berkesenian. Sujud Kendang tak lelah berjalan untuk bermain kendang demi mencari sesuap nasi. Rukini juga demikian. Tak lelah berkeliling memperdengarkan musik siter yang dimainkannya.
Sepertinya, perlu untuk mengapresiasi seniman mbarang. Mungkin Mbah Rukini adalah salah satu yang perlu mendapat apresiasi itu.