Ini adalah lanjutan dari tulisanku kemarin Ceritaku Ngekos di Gresik. Rencananya ada empat. Semoga bisa diterima oleh pembaca.
NGGAK MUDAH mencari kos saat PSBB waktu itu (Kira-kira Mei 2020). Selama pencarian di masa pandemi itu aku sempat berdiam diri di rumah kira-kira seminggu. Kali ini aku tidak pakai aplikasi MamiKos untuk mencari rumah kos, tapi mencari dari teman-teman yang sudah pengalaman lama ngekos di Surabaya. Cukup sulit mencari kos di Surabaya dengan rate harga antara 500 – 600ribu rupiah. Sekalinya nemu 500 ribu itu harus sharing kamar dengan orang lain. Sudah cari di daerah kampus sampai pinggiran aku belum menemukan harga yang pas dengan budget keuanganku kala itu. Mau cari di pusat kota sangat tidak mungkin, yang ada malah jutaan perbulan. Kemudian aku ingat ada teman yang ngekos daerah dekat rumah. Kucoba meminta bantuan dia karena dia lumayan hafal dengan daerah itu, yaitu di daerah Manukan, Tandes.
Dan betul saja setelah diantarkan di rumah kos ini aku merasa cocok di hari pertama aku bertemu ibu kos. Rumah kos ini menurutku lengkap. Di harga 600 ribu aku sudah dapat kamar mandi dalam, dapur sharing dan parkir motor yang luas. Lokasinya juga tidak jauh rumah orang tuaku di daerah Benowo dan pastinya juga tempat makan juga dekat, he he… Kosku kali ini benar-benar khusus putri. Ada delapan kamar di lantai dua dan lantai bawah dihuni ibu kos beserta suami dan anaknya. Tidak ada larangan bagi anak kos yang ingin membawa binatang peliharaan. Ibu kosnya juga mudah akrab dengan para penghuni kos. Kesan pertama dengan ibu kos ini aku merasa beliau sangat keibuan sekali. Beliau sering menawari makanan atau bantuan yang pada saat itu aku membutuhkan.
Oh iya, di awal tadi kusudah bilang kos ini sangat dekat dengan rumah orang tuaku. Jarak tempuhnya hanya 15 menit kalau tidak macet. Aku memang sengaja mencari kos yang dekat rumah karna saat itu PSBB sangat ketat sekali di mana-mana. Sudah trauma dengan keribetan pemeriksaan petugas virus di perbatasan, aku memilih yang dekat-dekat saja. Jadi kalau misal ada apa-apa tinggal lari ke rumah. Selain itu, pada masa itu pula masa sulit yang aku alami. Di kos ini aku merasakan semua momen yang menurutku berharga. Momen dimana aku sering kesepian di kos. Perasaan sepi ini sering aku alami selama pandemi. Sebagai pecinta film dan ngemal aku sedih sekali melihat mal dan bioskop tutup. Di berbagai medsos sering kumembaca hastag stay at home itu membuatku malah makin nggak tenang. Aku pernah semalaman menangis sendirian di kamar karena sangat bosan, seperti merasakan akumulasi perasaan kesepian, bosan dan kangen. Perasaan kangen yang harus kupendam sampai aku tidak tahu sampai kapan pandemi berakhir. Sebagai pejuang LDR saat itu (uhuk, wkwk) untuk bertemu di hari normal saja kadang menemui hambatan, apalagi saat pandemi. Kendaraan pribadi, angkutan umum seperti bus dan kereta benar-benar tidak boleh beroperasi saat itu membuatku semakin overthinking. Saat seperti itu aku biasanya hanya bisa lari ke rumah. Tidak perlu kucerita ke orang rumah aku kadang merasa hangat dan agak mendingan ketika melihat tingkah polah ketiga keponakanku, di tengah-tengah berita duka dan bertambahnya korban COVID-19 yang disiarkan di televisi. Aku merasa beruntung masih bisa berkumpul lengkap di rumah. Aku tidak bisa mendeskripsikan rumah. Bagiku rumah itu perasaan. Mau bagaimanapun bentuknya bangunan rumah, kalau isi di dalam rumah itu toxic menurutku tetap bukan rumah bagiku, selama ini memang fakta bahwa aku tidak punya privasi saat pulang ke rumah. Tapi tidak bisa kupungkiri dekat dengan orang rumah saat maraknya berita orang meninggal membuatku betah berlama-lama dekat dengan orang rumah. Di saat itu pula banyak sekali orang kena dampak pandemi, PHK ribuan orang, supermarket besar pun satu demi satu tutup tiba-tiba karena dampak penjualan menurun. Begitu pula usahaku. Keuanganku yang jadi kembang kempis mau tidak mau aku harus sangat berhemat agar bisa bayar cicilan bulanan. Di saat ini pulalah kehadiran rumah sangat penting buatku. Selama masa kembang kempis keuanganku aku sering sekali pulang untuk numpang makan. Dan itu bisa hampir setiap hari aku pulang ke rumah. Itu lumayan membantu.
Kurang lebih dua bulan ngekos, aku baru bisa beradaptasi dengan penghuni kos lain. Di kos ini penghuninya beragam. Kebanyakan mereka sudah bekerja. Jarang kumenemukan yang masih kuliah. Aku bisa ngobrol bersama mereka di kamar, makan bareng, atau sekadar nongki-nongki ringan.
Selama nggak bisa ke mana-mana aku mulai menemukan kesibukan baru, yaitu membaca buku. Sebenarnya dari dulu aku terbiasa baca buku. Ada 30an buku koleksi pribadiku. Tapi tiba-tiba aku merasa bosan baca karena hadirnya sebuah smartphone, he he… Aku pernah addict sekali dengan handphone sampai lupa waktu. Karena alasan itulah aku nggak pernah baca buku lagi. Terakhir beli buku adalah 2018 saat kos di Solo. Turning pointya aku mulai membaca buku adalah saat itu tiba-tiba mataku sakit dan ada anjuran dokter tidak boleh main HP lama-lama. Di saat bersamaan kumengenal orang yang menurutku kutu buku sekali. Sebenarnya aku gak setuju istilah kutu buku. Kesannya itu ledekan dari orang-orang bodoh yang sok keren buat orang pintar yang menurut mereka nggak keren. Karena aku merasa bahwa kegiatan baca buku dan mengenal banyak buku itu adalah sesuatu yang keren. Pokoknya dia tahu buku-buku bagus dan penulis-penulis besar. Dia selalu merekemondasikan buku-buku bagus untukku. Dan saat itu aku merasa kegiatan membaca sangat mengasyikan. Setelah kupikir-pikir lagi ternyata yang kukira dulu aku bosan membaca sebenernya bukan bosan, tapi karena aku belum menemukan genre atau jenis bacaan yang cocok untuk kubaca. Setelah tahu apa yang aku suka, aku benar-benar ketagihan ingin membaca yang lain. Genre favoritku adalah drama romance dan novel populer. Di sini aku membaca beberapa buku, di antaranya Sang Alkemis dan The Zahir karya Paulo Coelho, Pulangnya Leila S. Chudori, LaparnyaKnut Hamsun, Semusimnya Andina Dwifatma, dan beberapa lainnya. Aku lupa, tapi aku suka buku-buku yang kurasa bagus itu. Aku pernah menangis ikut sedih selama tiga hari setelah membaca Norwegian Wood (karya Haruki Murakami, penulis Jepang) di kos.
Selain membaca, di kos ini pula aku sering menamatkan film netflix sekali duduk. Di antara film-film yang kutonton itu adalah series Dark, Umbrella Academy, Black Summer, Snowpiercer, Money Heist, film-film studio Ghibli, I’m Thingking of Ending Things, The Devil of the Time, Tenet, dan beberapa film maupun series lainnya. Semua kutonton di Hapeku sambil rebahan.
Selama pandemi, netflix dan buku membantuku killing time agar nggak merasa kesepian. Sampai pada akhirnya aku harus menyerah dengan keadaan yang sudah ditakdirkan. Ada dimana momen aku sangat kesulitan membayar kos bulanan karena memang usaha jualan onlineku benar-benar sepi tak ada pembeli. Mau tidak mau aku harus putar otak agar tetap bisa bertahan di masa sulit. Cara satu-satunya adalah aku harus pindah di tempat yang lebih murah. Tepat setahun tiga bulan kuharus pindah dari kos ini.
Di saat pemerintah mengumumkan pengumuman memakai kata yang baru kudengar saat itu, yaitu New Normal, kukembali merantau ke luar kota. Kali ini di kota yang lebih kecil, sebuah kota yang tidak ada mal sama sekali dan bioskopnya yang menyebalkan karena membuat film yang diputar aslinya bagus jadi nampak buruk. Di kota inilah nanti aku makin banyak berkenalan dengan bacaan-bacaan bagus, makanan-makanan super murah, sawah-sawah, nama-nama berbagai tumbuhan, dan lain sebagainya.
(Bersambung)
PS: Yang memberi judul ini adalah suamiku. Aku tidak mengerti maksudnya. Barangkali selama aku ngekos di Manukan ini aku belajar banyak hal, intropeksi diri, pengembangan diri, dan sejenisnya. Aku tidak tahu meditasi itu seperti apa.
Respon (1)