BUKU  

Membaca Buku Musashi Seperti Pencarian Panjang Akan Makna Hidup

Akhirnya… selesai juga ya membaca buku Musashi karya Eiji Yosikhawa. Buku yang tebal banget ini (1.000 halaman lebih), kubaca entah berapa lama. Mungkin sebulan penuh. Tak ada strategi khusus membaca buku ini. Ya asal jalan aja.

Oh ya, aku baca buku ini untuk yang kedua kalinya. Pertama adalah tahun 2010. Waktu itu, aku sedang menjadi buruh di Jakarta. Ngekos di Kawasan Kayu Manis-Matraman. Tinggal jalan kaki menyebrang jika hendak ke Gramedia Matraman.

Tapi, aku masih ingat, buku ini kubeli lewat online. Lupa di toko buku apa. Yang pasti, diantar kurir sampai ke kos dan langsung kubaca. Kelemahanku adalah, saat membaca buku yang ‘menarik’ pasti sulit berhenti. Jadi membaca buku ini kadang kulakukan sambal duduk, dan kadang berbaring.

Baca Juga:  7 Langkah Simpel Agar Membaca Buku Lebih Efektif

Dan kini, lantaran sebelumnya telah membaca buku Taiko yang ditulis orang sama, aku jadi kepikiran baca ulang Musashi. Dan oke deh, aku ambil buku dari rak dan memulai membacanya. Satu-dua halaman kulewati dengan cepat, dan tak terasa sudah 100 halaman lebih. Aku membacanya di setiap waaktu, dan tak ada jadwal khusus. Dalam seheri bisa membaca lebih dari lima kali.

Pagi hari, selepas mengurus urusan nyapu, nyuci dan lainnya, aku duduk saja di dapur sambil membaca, menemani istri yang masak. Kenapa baca di dapur? Karena jika ada panggilan mendadak untuk membantu, sudah siap. Semisal diminta bantu ngulek sambal, ya tinggal eksekusi saja. Usai ngulek sambal, lanjut baca lagi. Jadi pas santali dan ingin baca, ya baca saja. Terkadang, saat ngantar istri ke belanja ke pasar, buku kubawa aja, kalau-kalau sempat membaca. Maklum, aku lebih memilih nunggu di warkop daripada ikut belanja muter-muter.

Baca Juga:  Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta; Menulis Untuk Hidup!

Membaca Musashi memang seperti belajar tentang makna hidup. Belajar bagaimana memandang dunia. Mungkin perasaan ini juga muncul di setiap kali membaca buku. Namun, membaca Musashi benar-benar terasa kekuatannya. Lika liku pengembaraan Musashi mencari makna sejati tentang Jalan Pedang membawaku pada imajinasi bagaimana para pendekar di jawa, tentu juga melakukan penempaan diri yang berat, disiplin, pemusatan pikiran dan sebagainya.

Musashi awalnya bernama Takezo dan bukan siapa-siapa. Ia pemuda nakal, brutal, dan tanpa takut. Ia bergabung dalam perang di Sekigahara. Dan setelah pasukannya kocar kacir ia menjadi buron. Ia membunuhi beberapa prajurit. Singkat kisah ia berubah setelah diasingkan di sebuah ruangan khusus selama tiga tahun dan hanya ditemani buku. Otak hukuman semacam itu adalah Takuan Soho, seorang pendeta zen.

Baca Juga:  Buruh Perkebunan Tembakau di Bojonegoro Masa Kolonial, Bacaan Sejarah Lokal

Ternyata Musashi berubah. Ia sangat haus ilmu pedang. Menanggalkan kepentingan pribadi, mencari pencerahan Jalan Pedang. Jalan seorang samurai dalam memaknai hidup sejati. Bertahun-tahun ia berkelana, belajar dari apa dan siapa saja. Belajar dari petani, belajar dari guru zen, dan belajar pada alam, dan semuanya.

Ah, sudahlah…lebih baik Anda membacanya sendiri langsung. Pengen juga sih membuat catatan panjang tentang Musashi ini. Tapi, besok-besok saja ya….

PIP, 29 Agustus 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *