Membaca Dunia Sophie Episode Topi Pesulap: Dunia Ini Penuh Teka Teki, Berpikirlah Kritis

(Bagian 2) – Semenjak menerima surat-surat misterius, kini pikiran Sophie tumbuh menjadi gadis yang sangat kritis. Saat di sekolahan dia merasa sangat kesusahan untuk memusatkan apa yang telah dijelaskan oleh gurunya. Sophie beranggapan apa yang dijelaskan oleh gurunya bukanlah suatu hal yang penting, bahkan di sekolahan maupun di tempat lain. Orang-orang hanya mengurusi persoalan-persoalan yang remeh, begitulah anggapan Sophie.

Wajar saja jika Sophie bersikap seperti itu, sebab dia adalah anak-anak yang baru memulai belajar filsafat. Sepertinya hal ini juga pernah terjadi pada orang-orang seperti kita ketika sedang menerima suatu hal yang baru, seakan-akan kita yang paling tahu daripada orang lain. Tetapi Sophie juga ada benarnya, dia juga harus memberi pelajaran orang-orang di sekitarnya agar mengurusi persoalan yang bersifat substansi.

Baginya, kini yang paling penting ialah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah menghujaninya melalui surat misterius kemarin. Pembahasan persoalan seputar manusia dan awal mula alam semesta ini diciptakan jauh lebih penting daripada menghafal perubahan bentuk kata kerja tak beraturan. Rasa ingin tahu Sophie untuk mencari siapa dirinya dan awal mula alam semesta kini menjadi semakin kuat.

Hingga kini tak ada lagi waktu bermain bersama temannya, akhir-akhir ini Sophie lebih suka menyendiri di taman dengan membaca surat-surat mesterius yang datang secara bertahap. Tiba saatnya Sophie menerima surat selanjutnya, pada amplop bagian belakangnya tertera tulisan “Pelajaran Filsafat. Hati-Hati”. Isi surat tersebut terbagi menjadi tiga halaman yang disatukan dengan penjepit.

Tipe-tipe para pembaca

Dalam novel ini, awal mula pembahasan ialah mengenai macam-macam tipikal pembaca. Mulai dari pembaca novel, cerpen, komik, hingga koran, ada juga ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Mengutip dari Gangkecil.com, model pembaca buku itu ada 4 macam (kebutuhan sesaat, berdebat atau menulis, hiburan, dan laku spiritual).

Pertama, pembaca yang hanya untuk kebutuhan sesaat. Barangkali kita dapat melihat fenomena ini dikalangan mahasiswa yang sedang ngebut untuk kesuksesan akademiknya. Mereka memang banyak membaca, namun hanya untuk kebutuhan sesaat (tugas dan ujian). Kedua, pembaca untuk berdebat atau menulis. Sedangkan fenomena ini lebih sering terjadi dikalangan guru, narasumber, dan penulis opini. Jenis pembaca ini mencari sebanyak-banyaknya pengetahuan untuk mengisi kekosongan (berdiskusi, berdebat, menulis karya).

Ketiga, pembaca untuk hiburan. Model pembaca ini dapat kita jumpai pada usia berapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Biasanya bukan untuk kepentingan tugas kuliah atau yang lainnya, membaca untuk bahagia (novel, cerpen, puisi, dll). Keempat, pembaca untuk laku spiritual. Pembaca yang terakhir ini memaknai membaca adalah perintah Tuhan (iqra’), semata-mata membaca adalah ibadah kepada TuhanNya (mencari ilmu). Bahan bacaan apapun akan dilahapnya dan diserap keilmuannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Baca Juga:  Teater Bojonegoro Peduli Semeru Gelar Pementasan Amal

Awal mula filsafat

Surat yang diterimanya menanyakan apakah filsafat itu?. Dalam novel ini diungkapkan, bahwa cara terbaik untuk mendekati filsafat ialah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis. Setiap kali bertanya kepada orang dengan pertanyaan yang sama, pasti setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Dan yang terpenting bertanyalah pada diri sendiri, siapakah kita?, untuk apa kita di sini?, dan bagaimana kita harus hidup?.

Pencarian kebenaran yang dilakukan para filosof terdahulu itu diibaratkan seperti seorang detektif yang sedang melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan ini, terkadang ada seorang detektif yang benar-benar tepat dalam mengungkap sebuah kasus, Namun ada juga yang tidak sampai pada dasarnya, meskipun terkadang seakan-akan tampak dapat diselesaikan.

Para filosof terdahulu yang hidup kurang lebih dua ratus tahun lalu percaya bahwa asal mula filsafat ialah rasa ingin tahu manusia. Manusia menganggap betapa indahnya kehidupan ini sehingga dengan sendirinya muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis. Kita yang sering kali merasakan kenikmatan hidup, sudahkah kita bertannya kepada diri sendiri “dari mana asal kenikmatan?, siapakah yang memberikan nikmat hidup?”.

Memaknai filsafat

Sophie masih tetap melanjutkan membaca surat, kali ini dia digiring pada tipuan permainan sulap. Permainan topi pesulap yang secara tiba-tiba mampu mengubah sepasang selendang menjadi kelinci hidup. Ketika kita tidak tahu bahwa itu mengandung tipuan, maka kita telah menjadi orang yang terperdaya olehnya. Ibarat seseorang yang sedang menjalani kehidupan dengan rasa ketidakpercayaan (heran, kaget, dan lain sebagainya).

Padahal dibalik semua itu mesti ada hal yang harus kita ketahui yaitu bagaimana pesulap tersebut melakukannya. Begitu juga dengan proses kehidupan, tidak serta merta muncul begitu saja dan dunia ini bukan hasil sulapan maupun tipuan. Setiap kejadian yang telah dilalui dalam kehidupan itu akan menjadi menarik jika kita dapat memahaminya dengan sadar.

Barangkali rasa ingin tahu yang akan membedakan kita dengan kelinci yang berada dalam novel Dunia Sophie. Jika diibaratkan kelinci ini alam semestanya, dan kita adalah serangga yang hidup pada bulu lembut si kelinci. Kemudian para filosof itu ialah serangga yang memanjat naik di atas bulu kelinci dan mampu melihat secara jelas bagaimana pesulap melakukan proses tersebut. Sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui ibarat serangga yang bersembunyi dibalik kelembutan dan kenyamanan bulu kelici.

Baca Juga:  Sosok Jaka Samudra Atau Raden Paku Atau Sunan Giri, Kisah Bayi yang Dibuang di Laut

Rasa ingin tahu

Sophie pun menerima surat yang selanjutnya, ada yang menarik dari kalimat awalnya. Salah satu kalimat hurufnya dituliskan dengan huruf kapital semuanya “SATU-SATUNYA YANG KITA BUTUHKAN UNTUK MENJADI FILOSOF YANG BAIK ADALAH RASA INGIN TAHU”. Kalimat tersebut seakan-akan mempertegas bahwa hanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi seseorang dapat menjadi filosof.

Isi surat tersebut kemudian menggambarkan bagaimana seorang bayi yang baru saja dikeluarkan dari rahim seorang ibu. Sudah dapat kita tebak, pasti seorang bayo akan menghadapi suatu realitas yang baru. Andaikan bayi bisa ngomong, tentu pasti dia akan bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitarnya. Tetapi sayang ketika sang bayi mulai beranjak dewasa, mengapa rasa ingin tahunya mulai terkikis sedikit demi sedikit?.

Hingga akhirnya Sophie harus digiring melalui beberapa eksperimen yang telah tertulis di dalam surat. Sophie digiring untuk menjadi kritis, dia disuguhkan perspektif antara bayi (belum tahu) dengan orang dewasa (sudah tahu). Perspektif ini akan menggambarkan cara berpikir orang yang belum tahu dengan orang yang merasa sudah tahu. Orang yang belum tahu selalu muncul rasa ingin tahu yang tinggi, namun seiring berjalannya waktu ketika sudah tahu mengapa rasa ingin tahu mulai memudar sedikit demi sedikit.

Sebenarnya fenomena ini berkaitan dengan kebiasaan, dunia ini mampu melayang-layang di angkasa. Namun, hal ini menjadi kebiasaan, dunia dapat melayang dan kita dapat menjawab semua itu karena adanya gravitasi yang menariknya. Lebih jauh lagi gaya gravitasi ini juga dapat membuat seseorang tertarik energinya, hingga ketika tumbuh menjadi dewasa kita sangat kelelahan dan kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia.

Proses lahirnya seorang filosof

Kita dapat melihat fenomena di atas, bagi seorang bayi dunia ini adalah segala sesuatu hal yang baru. Sehingga menimbulkan rasa inging tahu yang tinggi, dan bertanya-tanya. Sedangkan pada orang dewasa dunia ini sudah menjadi kebiasaan, sehingga rasa ingin tahu itu mulai tergerus. Seakan-akan kemampuan bertanya tentang dunia sudah tersedot dan habis.

Dengan berbagai alasan, entah karena kesibukan yang sedang melanda pada orang dewasa ini kemudian menjadi penyebab rasa ingin tahunya semakin mundur dan hilang. Ibaratnya seperti serangga yang sudah semakin dalam bersembunyi dibalik kelembutan bulu kelinci yang nyaman, sehingga sudah menganggap dunia selayaknya demikian dan tidak perlu ditanyakan lagi.

Baca Juga:  Membaca Dunia Sophie Epesode Mitos-Mitos; Seleksi Alam Itu Mitos Atau Fakta?

Sepanjang hidupnya seorang filosof tidak pernah menganggap dunia ini biasa-biasa saja, dunia selalu tidak masuk akal dam membuat kebingungan. Boleh saja engkau menganggap seorang filosof itu seperti halnya anak kecil, sama-sama memiliki indera yang sangat penting. Akan tetapi anak kecil selalu memiliki kepekaan dengan sekitarnya, kira-kira begitulah seorang filosof dapat terbentuk.

Kecurigaan orang dewasa terhadap anak-anak

Setelah menerima beberapa pelajaran filsafat dari surat misterius, pikiran Sophie semakin menjadi-jadi kekritisannya. Hingga akhirnya Sophie sadar dirinya selama ini telah terlelap masuk ke dalam bulu kelinci yang nyaman dan lembut. Dia merasa beruntung karena telah disadarkan filosof melalui surat-surat mestirius. Setiap hari Sophie harus selalu berpikir lebih keras daripada sebelumnya.

Sophie pun tidak kuat menahan apa yang telah dipikirkannya, hingga akhirnya diungkapkan kepada ibunya. Ketika ibunya pulang di sore hari anak itu pun bertanya kepada ibunya, namun setiap jawaban yang diterimanya ibunya selalu biasa-biasa saja ketika menyikapi dunia ini. Sophie pun menyadari, bahwa apa yang tertulis dalam surat itu benar adanya.

Akibat Sophie yang mulai kritis, ibunya pun bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan Sophie. Anak kritis itu menjawab dengan gamblang “Baiklah aku akan mengungkapkan dengan cara yang lain. Ibu telah membiarkan diri ibu keenakan meringkuk jauh di dalam bulu-bulu seekor kelinci putih yang ditarik keluar dari topi pesulap alam raya saat ini. Dan tak lama lagi, Ibu akan memasak kentang. Lalu, Ibu akan membaca koran dan setelah tidur siang setengah jam, Ibu akan melihat berita di televisi”.

Muncullah rasa khawatir dari ibunya terhadap Sophie, hingga Sophie dianggap mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang. Sophie dengan santainya pun menanggapi hal ini dengan tertawa di dalam hatinya. Fenomena ini seakan-akan menggambarkan ketakutan orang dewasa yang sedang menghadapi anak-anak yang mulai bersikap kritis. Wah kok bisa segitunya, pembaca yang budiman mesti pernah mengalami fenomena seperti ini. Jika pernah, cukup tertawalah dalam hati, seperti apa yang dilakukan Sophie.

Nantikan di Episode selanjutnya “Mitos-Mitos”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *