Belakangan ini, di warung kopi, selain fenomena “Mobile Legend”, saya juga kerap menjumpai diskusi-diskusi yang melibatkan istilah “post” di dalamnya. Mulai dari istilah post-modernism, post-colonialism, post-sixtyfive, hingga post dangdut.
Kata post sendiri adalah sebuah prefiks dalam bahasa Inggris yang mempunyai makna: pasca atau setelah. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa post-modernism berarti setelah modernisme, post-sixtyfive berarti setelah peristiwa enam lima [yang seharusnya peristiwa enam enam], dan post dangdut, merupakan subgenre dangdut yang lahir pasca dangdut era Bang Haji Rhoma: koplo, salah satunya.
Dalam dunia musik kita mengenal istilah post-rock yang apabila diterjemahkan seperti di paragraf sebelumnya bisa berarti “setelah rock”. Artinya, dari sudut pandang lini masa, post-rock lahir setelah rock. Tetapi, apakah hanya melalui penalaran waktu saja kita dapat memaknai istilah musik post-rock?
Post-rock, menurut Simon Reynolds, adalah memainkan musik bukan rock menggunakan instrumen-instrumen musik rock, dan lebih mengutamakan texture dan timbre daripada power chord. Simon Reynolds sendiri seorang jurnalis dan kritikus musik asal Inggris yang mengklaim sebagai orang pertama yang menelurkan istilah post-rock pada 1994 lalu.