Mumpung siro isih sugih # ibadaho tanpo pamrih/ Ilingono yen wes mlarat # isone yo mung sambat
Mumpung siro isih waras # ibadaho kanthi ikhlas/ Ilingono yen wes loro # ora iso opo-opo
__
Petikan di atas adalah satu dari ribuan bait syi’iran yang biasanya dilagukan di langgar-langgar kampung dan menjadi pujian menjelang salat Magrib, Isya, dan Subuh. Tapi tahukah anda siapa pencipta syi’ir di atas? Tentu banyak yang tidak tahu, saya pun juga kurang yakin.
Syi’ir di atas adalah gubahan dari hadits Nabi yang berbunyi Ightanim khomsan qobla khomsin:….yang artinya Bersiap-siaplah untuk lima perkara sebelum datangnya lima perkara: 1. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, 2. Masa Kayamu sebelum datang masa fakirmu, 3. Masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, 4. Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, 5. Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
Qila wa qola itu ciptaan -lebih tepatnya gubahan- Mbah Bisri Musthofa Rembang ayah Cholil Bisri dan Musthofa Bisri (Gus Mus). Tetapi ada juga yang bilang syi’ir di atas anonim alias tak diketahui siapa pengarangnya. Boleh jadi dengan mencantumkan nama pengarang/penulis kuatir dihinggapi penyakit hati semacam riya’, sombong, dan lain sebagianya.
Semasa hidupnya Mbah Bisri dikenal sangat kreatif dalam menghasilkan tulisan berbahasa Jawa dan Arab, yang meliputi bidang tafsir, fiqih praktis, tauhid, buku pegangan modin, akhlak dan kesusasteraan. Dan karyanya yang sangat populer adalah Tafsir Ibriz, jika saja di-rating buku tafsir dengan huruf pegon (huruf arab dengan bahasa jawa) ini mungkin masuk kategori buku best of the best seller.
Sebenarnya ada banyak karya intelektual –tulis- yang dihasilkan oleh civitas pesantren mulai yang kelas dunia seperti karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantani (abad ke-19 M) salah satu imam Masjidil Haram yang berasal dari Banten yang diakui dunia Islam, juga karya KH. Ihsan Jampes Kediri, I’anatut Tholibin yang diklaim sebagai karya Ulama’ Timur Tengah dan dicetak oleh sebuah penerbit di Beirut Lebanon banyak digunakan sebagai buku wajib di berbagai pesantren di Nusantara.
Ada juga kitab khusus orang dewasa seperti kitab Qurrotu A’yun; kitab gundul berbahasa Arab ini berisi pedoman membangun rumah tangga yang sakinah-mawaddah-rahmah. Kitab ini tidak hanya membicarakan hak dan kewajiban suami isteri, adab dan tatakramanya, melainkan menerangkan secara detail tata cara jima’ -bersetubuh- yang sesuai dengan tuntunan syar’i, oleh karena itu yang boleh mengikuti pengajian atau membaca kitab ini hanya santri-santri senior.
Sebagai gambaran bahwa tradisi tulis menulis berkembang di setiap pesantren kecil maupun besar walaupun bisa dibilang naik turun adalah; KH. Abul Fadol (w.1984) yang biasa dipanggil Mbah Fadol mempunyai banyak karangan, diantaranya adalah Ahlul Musamaroh (Sejarah Walisongo), Kasyfut Tabarih (Fiqih, Tentang Salat Tarawih), Tashilul Masalik (Gramatika Bahasa, Syarh Alfiyah Ibnu Malik) terdiri dari 3 Jilid dan Addurorul Farid dengan ketebalan 663 halaman (tauhid, Syarh Jauharotut Tauhid). Mbah Fadol adalah pengasuh Pesantren Darul Ulum Desa Jatisari Senori Tuban, yang pernah nyantri kepadanya adalah KH. Abdullah Faqih Langitan, KH.Masbuhin Faqih Suci Gresik dan KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU).
Mbah Sholeh (w.1993) Pendiri Pesantren Attanwir Talun Bojonegoro juga mempunyai belasan karya tulis berbahasa Jawa yang telah dicetak ulang beberapa kali, karyanya meliputi; Fiqih, Hadits, Tauhid, Tasawuf dan lain-lain.
Hingga tulisan yang dikhususkan untuk kalangan sendiri seperti Adab Berziarah Kubur, Kumpulan Dzikir dan Wirid, Kelebihan Membaca Surat-surat tertentu dan lain-lain.
Berbicara tradisi yang berkembang di pesantren, secara garis besar tidak ada perubahan mendasar karena pesantren dalam hal ini mempunyai semboyan: “al-muhafadzotu ‘ala al-qodimi ash-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (melestarikan hal yang baik meskipun itu kuno dan mengambil hal baru yang lebih baik). Khusus untuk tradisi (pelajaran) baca kitab kuning, hampir seluruh pesantren di Tanah Air ini mewajibkan semua santri untuk belajar membaca kitab gundul. Biasanya menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Inisiatif seorang atau beberapa santri mengajukan sebuah kitab dan dibaca dihadapan kiai untuk memperoleh pembenaran dari sang kiai itu dinamakan Sorogan. Sementara bandongan pengajian kitab yang ditentukan sang Kiai dan wajib diikuti oleh santrinya.
Di atas adalah dua cara membaca yang tujuannya ada dua yaitu mengetahui isi kitab dan mengaplikasikan pelajaran Nahwu-Shorof (gramatika bahasa Arab) yang telah dan sedang dipelajari. Jadi membaca di sini lebih bermakna pelajaran membaca kitab kuning daripada menelaah dan mengkritisi. Untuk membaca kritis sebuah kitab dengan menelaah dari berbagai disiplin ilmu disediakan waktu khusus dan pesertanya adalah santri-santri senior yang telah menyelesaikan semua jenjang pendidikan yang ada di pesantren, inilah takhossus, kelas khusus elit santri.
Demikian sekelumit tradisi yang ada di pesantren, tentu masih begitu banyak hal yang menarik untuk diketahui. Wallahu a’lam.
___________________
*) Penulis adalah alumni Ponpes Attanwir, Talun, Bojonegoro.