Bagian 3 – Papan nama itu bertuliskan: Perpustakaan Prapanca buka tiap hari pukul 08.00 hingga pukul 15.00 WIB. Papan nama dari kayu jati ukuran 1 meter x 80 sentimeter itu tergantung agak menyamping dari pintu masuk. Warna huruf-hurufnya sudah mulai memudar.
Sepi. Tidak ada satupun pengunjung. “Sudah empat puluh hari tutup. Ini hari ke empat puluh satu,” kata laki-laki yang kini berdiri di hadapanku.
Ia adalah anak Pak Mukalim yang sulit kupahami. Saat bicara kepadaku dia tidak melihatku. Aku tidak tahu ia sengaja begitu atau ada alasan lain.
“Apa buku-bukunya sudah tidak ada?” tanyaku sedih campur penasaran.
“Buku tetap di tempat. Sepeninggal Bapak, saya sengaja menutupnya.” Pak Mukalim meninggal dunia empat puluh hari lalu.
“Kenapa ditutup?” Aku ingin bertanya demikian, tapi kutelan lagi pertanyaan itu. Dan yang keluar dari mulutku hanya “Ooo…” karena teringat laki-laki di hadapanku ini memang sangat sulit dimaknai. Masa lalunya yang pernah depresi dan dirawat di puskesmas membuatku agak hati-hati berbicara dengannya.
Kenapa Pak Mukalim menyerahkan harta berharganya berupa ribuan buku kepadanya? Apa Pak Mukalim tidak tahu anaknya berperilaku aneh? Apa Pak Mukalim tidak tahu jika anaknya ini tidak menyukai buku sama sekali? Pak Mukalim meninggal dan Prapanca ditutup begitu saja. Bukankah itu berarti anaknya tidak amanah?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku. Aku ingin menanyakan banyak hal kepadanya, tentang masa depan Prapanca atau tentang adakah pesan atau semacam wasiat Pak Mukalim. Tapi akhirnya suara ini yang keluar:
“Bolehkah aku masuk?”
“Soal begitu apa perlu minta izin juga?”
Aku tidak tahu arti jawabannya. Aku bertanya, dia menjawab dengan pertanyaan. Tapi, aku tak mau ambil pusing dan langsung berjalan masuk. Pandanganku tertuju pada meja kursi dimana Pak Mukalim biasa duduk. Di sampingnya rak buku besar mendekap buku-buku tebal dan tua.
Aku mendekati rak. Mencecap aroma kertas tua, merabai punggung, mengeja judul demi judul. Topeng Kayu Kuntowijoyo. Kacapiring Danarto. Rara Mendut YB Mangunwijaya. Kubah Ahmad Tohari. Aku tidak tahu cara Pak Mukalim mengelompokkan buku-bukunya. Apa sesuai penulis yang dia suka? Apa sesuai jenisnya? Temanya? Atau ditata asal saja?
Di rak bawahnya aku menemukan buku-buku lain. Komedi Manusia William Saroyan. Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer. Kisah Antara Manusia Armijn Pane.
Dan di rak paling bawah terdapat tumpukan majalah bekas dan guntingan koran. Rupanya Pak Mukalim juga seorang pengkliping koran. Apa yang diklipingnya? Aku memungut acak. Membuka map besar berisi klipingan koran. Tentang sejarah kantor pos. Apa dia juga seorang sejarawan? Banyak teka-teki yang aku tak bisa jawab sementara ini.
“Ini untukmu. Baca.”
Suara itu mengagetkanku. Seperti komandan menyuruh push up anak buah. Wajahnya tanpa ekspresi. Aku menoleh. Anak Pak Mukalim berdiri menyodorkan kertas dijilid. Lusuh berdebu. Jilidnya tak rapi. Sepertinya dijilid sekenanya saja. Aku terima kertas jilidan itu. Aku tak suka caranya menyerahkan barang itu.
“Punya Pak Mukalim?” tanyaku.
“Mungkin,” jawabnya singkat.
Aku tak ingin berlama-lama bercakap dengannya. Aku memilih membaca tulisan pada sampul: Catatan dari Lubang Pintu.
Aku melanjutkan membaca. Tidak ada keterangan tanggal, bulan, atau tahun dijilid sebagaimana dalam buku penerbitan. Aku menduga ini seperti semacam catatan harian yang kemudian dijilid oleh tukang photocopy. Tapi asyik juga cara begini. Ingat buku stensilan zaman Pak Harto. Buku, majalah atau buletin digarap stensilan untuk disebar.
Aku lanjutkan membuka halaman berikutnya. Ini yang terbaca olehku:
Pembuka
Belanda kembali hendak merebut kota kami tahun 1949. Dimana-mana ada perang. Aku masih kecil saat itu. Orangtuaku jadi guru agama di sekolah rakyat. Tapi harus berhenti mengajar karena kecamuk perang. Serdadu Belanda memang tidak menggempur kampung kami dengan berondongan senapan atau meriam. Juga tidak menangkapi rakyat biasa. Akan tetapi, mereka akan mencari mata-mata, para gerilyawan yang ada di kampung-kampung. Jika tak ada mengaku, serdadu Belanda asal menangkap orang yang dicurigai.
Ketika aku remaja, geger 65 datang. Kampungku tak semencekam kampung-kampung lain. Mungkin karena ada Mbah Muslim yang dengan cepat menyalin sholawat dan membagikannya kepada warga untuk dihafal dengan cepat. Langgar dan masjid penuh. Sholawat bergema dimana-mana.
Kamu pasti akan bertanya, apa bapakku terlibat Gestapu? Aku pastikan seribu persen tidak. Sebagaimana jutaan orang yang tak ada kaitan dengan pembunuhan jenderal-jenderal. Tahu apa orang kampung seperti kami? Tahunya hanya disuruh ke sawah, kita ke sawah. Begitulah.
………..
“Kamu bawa pulang saja.”
Suara itu mengagetkanku. Aku melempar senyum padanya. Laki-laki itu menunjukkan wajah polos. Kalau aku amat-amati, dia tidak menunjukkan ketaknormalan. Wajahnya menjadi ramah. Apa dia sengaja mengusirku agar tak berlama-lama di Prapanca ini?
Aku mengangguk lalu mengemasi barang dan beranjak pergi. Di perjalanan aku baru sadar, siapa nama anak Pak Mukalim? Ternyata aku tidak tahu.
Baca juga cerita sebelumnya: