Kampung geger. Pak Arto ditangkap polisi. Kenapa? Desas desus menyebutkan, ia terbelit kasus penganiayaan. Kabar lain yang terdengar adalah dia berselingkuh dan ketahuan warga, lalu dilaporkan ke polisi. Lain lagi kabar yang berhembus di kalangan jamaah langgar Kaji Sobur yang mengatakan Pak Arto telah korupsi.
Lalu, mana kabar yang benar? Tak penting mana benar. Sudah jadi kebiasaan kampung sini, yang lebih menegangkan adalah bagaimana kabar itu mendapat bumbu-bumbunya, bagaimana kabar makin ramai dan terus dibicarakan orang. “Bagaimana dengan istrinya? Bagaimana dengan tuyul yang dipeliharanya?” Pertanyaan-pertanyaan macam itu malah disenangi orang, daripada benarkah Pak Arto melakukan kesalahan. Tak penting juga apa Pak Arto punya tuyul, karena yang lebih menarik adalah membicarakan tuyul itu.
“Kampung kita ini memang perlu diruwat,” kata Kang Tolib sambil garuk-garuk kepala. Sudah empat hari Kang Tolib jualan tasbih dan cermin di pasar. Sebelumnya ia pernah jualan cabai tapi harga naik-turun ndak karuan membuat bisnisnya gulung tikar. Ia juga pernah jualan sandal, sepatu, dan pernah juga jual miras sebelum akhirnya ketangkep polisi.
“Kenapa harus diruwat to Kang?” kataku saat mampir di lapak pasar miliknya.
“Ya, orang-orang suka bergunjing, bertengkar tentang hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi saat bertengkar, mereka seperti sedang memperjuangkan hidup mati. Terkadang hanya perkara apakah ayam warga mati ditabrak motor atau mobil saja bisa mendatangkan pertengkaran. Pokoknya, apa saja sekarang ini bisa dipertengkarkan. Awalnya ya cuma ngobrol, lalu berselisih, melebar, mencari-cari kesalahan, dan terus begitu.”
Aku tidak langsung membantah atau mengiyakan. Aku ingat omongan Mas Guru beberapa hari lalu. Bahwa zaman sekarang ini memang banyak orang berkepala kosong yang berteriak-teriak tentang kebenaran. Orang, pokoknya kalau sudah dikasih mic, dia akan berpidato dan berpidato. Orang sekarang suka memutlakkan penafsiran kebenarannya, dan menganggap semua orang yang tidak sepaham dengannya adalah bukan manusia.
“Itu tidak hanya terjadi di kampung kita Kang. Semua kampung sepertinya sedang dilanda wabah demikian.” Akhirnya aku berkomentar.
“Nah, bagaimana kalau semua kampung demikian? Betapa dunia ini riuh bukan oleh amar ma’ruf nahi mungkar. Melainkan meributkan bayang-bayang. Ya, hanya meributkan bayang-bayang. Bagaimana mungkin itu terjadi?” Kang Tolib sepertinya sedang tak enak hati. Ia berbicara dengan suara agak tinggi.
“Tapi kita harus tetap waras Kang. Kita harus bisa mengerem diri kita untuk tidak ikut-ikutan bertengkar,” kataku.
“Ya, begitulah seharusnya.”
Satu dua pembeli datang menawar tasbih yang terbuat dari kayu. Akhir-akhir ini penjualan tasbih memang sedang bagus. Banyak orang membeli tasbih di lapak Kang Tolib akhir-akhir ini. Bahkan boleh dibilang sangat sangat laku. “Sepertinya banyak orang suka berdzikir,” pikirku.
Pada saat banyak pembeli itulah Mas Guru datang. Dia tampak lelah, tapi wajahnya tetap menunjukkan keteduhan. “Baru dari sekolah Mas Guru? Apa mau beli tasbih juga?” tanyaku.
“Ah tidak, saya sudah punya tasbih di rumah. Tadi cuma mampir saja. Saya barusan melerai orang bertengkar gara-gara pengen tasbihnya dikatakan paling bagus,” jawabnya sedih.