Menafsir Bojone Negara

Ilustrasi logo Bodjonegoro/sumber: Gangkecil

Selain prasasti adan-adan berupa lempengan tembaga yang temukan di Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu tahun 1992, ada prasasti penting lainnya yang ditemukan di wilayah Bojonegoro selatan. Prasasti itu disebut prasasti Sekar, dilaporkan pertama kali oleh J.L.A. Brandes pada tahun 1903 yang diperolehnya dari Malang.

Tapi prasasti Sekar ditemukan di wilayah Sekar Kabupaten Bojonegoro, Sekar sudah dikenal sejak pemerintahan kolonial Belanda terbukti masih ada peninggalan loji di Desa Klino Kecamatan Sekar. Loji ini digunakan sebagai tempat peristirahatan para amtenar pemerintahan kolonial Belanda.

Menurut tafsir prasasti Sekar berisi soal daftar nama pejabat-pejabat pemerintahan kerajaan Majapahit. Tafsir lain di buku Hikayat Majapahit karya Nino Oktorino menyebutkan bahwa isi prasasti Sekar diantaranya soal cetbang (meriam Majapahit) diproduksi di wilayah Bojonegoro, saat itu nama Bojonegoro belum dikenal. Sementara bubuk mesiunya diproduksi di Biluluk (Desa Bluluk Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan). Prasasti termasuk sumber informasi primer dalam Sejarah, isi prasasti dibuat oleh sumber resmi dari kerajaan.

Bojonegoro di masa lalu menjadi daerah penting bagi Majapahit karena sebagai tempat produksi persenjataan bagi prajurit kerajaan. Bojonegoro di masa lalu sebagai daerah pemasok cetbang untuk Majapahit.

Sekar pada jaman Hayam Wuruk sebagai tanah perdikan, tanah bebas pajak. Pendapat ini bisa jadi benar karena dari jejaknya ada dusun Kedaton di Desa Klino Kecamatan Sekar, di Dusun ini juga ada jejak-jejak arkelogis jaman kerajaan sebagian raib entah kemana.

Baca Juga:  Perjalanan Spiritual Ronggo Warsito, Santri Bandel Kyai Hasan Bestari

Menyebut Kedaton tentu mengingat Datu, asal muasal Kedaton akar katanya berasal dari kata Datu yang artinya penguasa, pemimpin atau raja. Kedaton sendiri bagian dari Keraton, sebagai tempat tinggal dan komplek tertutup bagi raja dan putra putrinya. Di Desa Kedaton Kecamatan Kapas Bojonegoro juga ditemukan jejak-jejak arkeologis masa lalu jaman kerajaan.

Dalam buku Tata Negara Majapahit jilid 2 karya M. Yamin (1962) prasasti Sekar ditemukan dari Desa Sekar didekat Badjanegara selatan Rembang. Menurut M. Yamin prasasti tersebut dibuat pada tahun 1366 M dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Badjanegara adalah Bojonegoro saat ini yang salah satu Desanya di bagian selatan namanya Desa Sekar.

Dalam kakawin Nagarakretagama disebutkan nama sosok Bhre Matahun, pun di serat Pararaton (kitab raja-raja) juga menyebut nama Bhre Matahun. Meski di Nagarakretagama dan Pararaton berbeda sosok yang dimaksud tapi sumber rujukan sejarah ini sepakat soal “Matahun”. Ada nama Matahun di Nagarakretagama dan Pararaton.

Bhre asal kata dari Bhra dan i atau ing. Bhra artinya sinar, raja, baginda. Ing atau i artinya di. Jika ditafsiri Bhre Matahun artinya Raja atau Baginda di Matahun, penguasa di wilayah Matahun.

Menurut pakar arkeologi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, M.Hum bahwa Matahun itu di Bojonegoro. Di masa lalu Bojonegoro belum dikenal, di jaman Majapahit nama Bojonegoro lebih dikenal Matahun dengan rajanya bernama Bhre Matahun. Matahun adalah negara-daerah dari kerajaan Majapahit.

Baca Juga:  Sosrodilogo dan “Che” Bojonegoro

Selanjutnya sejarah terus berlari. Dari jaman raja-raja, jaman kolonial hingga merdeka sebagai bangsa negara. Saat itu baru tiga minggu merdeka tepatnya tanggal 5 September 1945, R.M.T. Soeryo dilantik sebagai Gubernur Jawa Timur.

Usai dilantik R.M.T Soeryo masih tinggal di Bojonegoro menyelesaikan tugasnya di masa transisi sebagai Residen Bojonegoro (sekarang Bakorwil). Beliau tetap tinggal di Bojonegoro sampai tanggal 11 Oktober 1945 dan baru pindah ke Surabaya ibukota Provinsi pada tanggal 12 Oktober 1945. Boyongnya R.M.T Soerya dari Bojonegoro ke Surabaya ditetapkan sebagai Hari Jadi Propinsi Jawa Timur tiap tanggal 12 Oktober.

Seandainya Pemerintah Provinsi Jawa Timur tiap akan merayakan atau sebelum puncak HUT Provinsi Jatim digelar sebuah tradisi atau ritual “Boyongan” dari Bojonegoro ke Surabaya barangkali bakal keren. Rakyat Jawa Timur akan mengenang, mengingat dan menjadi tahu jebulnya Gubernur pertama Jawa Timur itu Residen Bojonegoro, dari Bojonegoro untuk Jawa Timur.

Di akhir tahun 1948 saat agresi militer Belanda kedua, Desa Deling Kecamatan Sekar Bojonegoro sempat menjadi pusat pemerintahan propinsi Jawa Timur. Pusat pengendalian pemerintahan Provinsi menempati kediaman Residen Tandiono Manu di desa Deling.

Setelah agresi Belanda berakhir, Tandiono Manu kelak diangkat menjadi salah seorang Menteri Perdagangan/Perindustrian dan beralih menjadi Menteri Pertanian di tahun 1950 -1951 pada pemerintahan Presiden Soekarno.

Baca Juga:  Menata Logika Berpikir, Belajar dari Mahbub Djunaidi

Jika Raja Kedua Majapahit Jayanagara pada tahun tahun 1319 M diserang Ra Kuti dan menyelamatkan diri ke Badander ditafsirkan Dander Bojonegoro, sejarah berulang di tahun 1948 saat agresi Belanda kedua pemerimtah menyelamatkan diri ke Deling Bojonegoro.

Kelak di tahun yang lebih muda lagi wilayah Bojonegoro menyumbang produksi migas nasional hingga 20 persen, Bojonegoro menjadi salah satu barometer pasokan energi nasional, pasokan energi negara dari lapangan migas Banyuurip, Sukowati dan TBR.

Bojonegoro jika ditafsiri dari rentetan sejarah diatas mulai dari jaman raja-raja, kolonial dan lahir negara Indonesia hingga kini ikut berperan, ikut menompang aktif. Bojonegoro bagaikan pasangan yang setia, ia bagaikan Bojo yang terus setia mendukung. Bojo bisa disebut sebagai istri, bisa disebut sebagai suami, Bojo adalah pendamping, pasangan lahir batin. Pun sah orang menyebut Bojonegoro sebagai Bojone Negara.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *