Menakar Jurnalisme Pustawakan

Sumber: Pixabay

Pew Research Center tahun 2016 pernah melakukan survei pada publik Amerika Serikat soal berita media online. Hasilnya, hanya 28% yang memercayai berita dan selebihnya punya tingkat kepercayaan rendah. Ini terjadi pada warga usia 18 – 29 tahun.

Trust Barometer juga pernah melakukan survei pada publik di Indonesia. Hasilnya, tahun 2016 tingkat kepercayaan publik pada media konvensional 59%, sedang pada media sosial 45%. Artinya, kepercayaan publik pada media hanya selisih 14% dibanding media sosial.

Fakta tersebut kemudian memunculkan berbagai analisa tentang masa depan media. Ketika media online datang, banyak spekulasi menyebut bahwa media cetak akan gulung tikar. Apalagi jumlah media online meningkat menggila. Pada 2018 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebut ada 43.000 media online.

Lalu, ketika berbagai platform media sosial muncul dan makin memudahkan orang berbagi informasi, perilaku publik beralih ke media sosial untuk mendapat informasi. Media online pun disebut-sebut menemui jalan buntu. Apalagi derajat kepercayaan publik pada media hanya di atas sedikit dari media sosial tentu menjadi pukulan telak bagi media, terutama jurnalis.

Sama-sama menyuguhkan informasi, tentu informasi di media konvensional dan media sosial punya derajat berbeda. Akan tetapi diakui atau tidak, inilah tantangan terbesar bagi jurnalisme di era digital kini. Sederet pertanyaan kritis muncul, diantaranya apakah produk jurnalistik di media benar-benar bisa dipercaya? Apakah media tak punya kepentingan pada berita yang disebar? Bukankah media online kini juga terjebak pada upaya mati-matian mengejar view?

Tentu sulit menjawab sekaligus setiap pertanyaan-pertanyaan kritis di atas dalam uraian pendek dan dangkal ini. Namun, izinkan saya berbagi cara pandang.

Baca Juga:  AJI Kecam Intimidasi terhadap 2 Jurnalis Cek Fakta Tempo

Tom Rosenstiel, seorang pakar jurnalistik menulis esai panjang berjudul ‘News as Collaborative Intelligence: Correcting the Myths About News in the Digital Age’ pada Juni 2015. Ia menyebut ada tiga ‘obat’ untuk mengatasi kekhawatiran banyak pihak pada jurnalisme. Yakni perkuat kemampuan teknologi, bersinergi dengan masyarakat (komunitas), dan mewujudkan jurnalisme profesional. Tiga obat itulah yang akan menyelamatkan jurnalisme di masa mendatang.

Bagi Tom tak perlu ada kata pesimis. Cara pandang Tom adalah, ketika banyak informasi membanjiri media sosial bercampur dengan hoax, maka masyarakat akan kembali merindukan informasi yang akurat. Dan tiga obat di atas bisa menjawab tantangan tersebut.

Obat ketiga, bagi saya, merupakan obat pamungkas. Tom sangat memercayainya dan kemudian banyak membahas jurnalisme profesional di berbagai karya bukunya. Blur (2012), buku jurnalistik yang ditulis bareng Bill Kovach adalah salah satu karyanya untuk merumuskan jurnalisme profesional itu. Sederhananya, jurnalisme profesional akan meningkatkan kualitas informasi yang disuguhkan ke publik.

Akurasi dan Literasi Informasi

Sebagai sebuah ilmu, jurnalisme harus dimaknai ulang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Secara substansi, cara kerja jurnalistik adalah bersifat universal. Di manapun berada, jurnalistik adalah berkaitan dengan mencari, mengolah dan menyajikan berita di media massa. Namun, dalam praktiknya, ada penekanan di masing-masing media.

Sehingga, muncullah berbagai istilah jurnalisme menyesuaikan dengan tren dan kebutuhan. Sebut saja jurnalisme sastrawi yang dikembangkan oleh majalah Pantau yang makin dikenal publik setelah diterbitkannya buku Jurnalisme Sastrawi yang memuat beragam karya jurnalistik yang cara penulisannya ‘nyastra’. Lalu muncul istikah jurnalisme kolaboratif yakni beberapa media berkolaborasi membuat laporan investigatif secara bersama-sama.

Baca Juga:  New Media, Jurnalisme, dan Demokrasi: Persilangan Tanda Tanya

Selain dua istilah jurnalisme di atas, banyak sekali istilah lain yang menyeruak ke permukaan. Sebut saja jurnalisme kepiting, jurnalisme storytelling, jurnalisme kuning, jurnalisme musik, jurnalisme infotainment, dan lain sebagainya.

Nah, dari sekian banyak ‘cabang’ jurnalisme, istilah jurnalisme pustakawan masih jarang terdengar. Jurnalisme pustakawan berangkat dari kolabarosi antara dua keterampilan yang dimiliki pustakawan dan jurnalis.

Tahun 2016, Louise Lief seorang peneliti di American University School of Communication menulis esai What the News Media Can Learn from Librarians menyebut kesamaan antara pustakawan dan jurnalis. Yakni berkaitan dengan pengelolaan informasi. Baik pustakawan maupun jurnalis mempunyai tanggungjawab pada literasi informasi. Hal ini menjadi sangat penting di saat publik sulit membedakan berita akurat atau tidak akurat.

Seorang pustakawan mempunyai cara kerja yang ketat terkait pengelolaan informasi. Akurasi menjadi hal utama. Karena seorang pustakawan menyediakan informasi bagi pemustaka yang berasal dari beragam latar belakang. Tapi kebanyakan, pencari informasi ke pustakawan adalah mahasiswa, peneliti, akademisi yang mempunyai tingkat analitis yang juga relatif kuat. Sehingga, dengan kata lain pustakawan dituntut bekerja lebih ekstra hati-hati terkait akurasi informasi.

Nah, jurnalis juga demikian. Jurnalis mempunyai tanggungjawab besar untuk menyajikan informasi akurat. Bahkan akurasi berita menjadi salah satu pasal dalam kode etik jurnalistik. Apalagi jurnalis harusnya menjadi benteng terakhir dari berlimpahnya hoax yang menyebar di tengah masyarakat lewat media sosial.

Baca Juga:  Ngaostik 3, Mengembalikan Rindu pada Pemiliknya

Jurnalis pustakawan bisa menjadi alternatif pilihan model jurnalistik yang penuh tantangan dewasa ini. Pertama jurnalis harus seperti seorang pustakawan yang doyan baca dan beragam dokumen, doyan membaca data-data, dan memiliki ketekunan untuk menyeleksi informasi mana yang layak dan tidak layak bagi masyarakat. Tentu saja ukuran layak pada akurasi informasi.

Kedua, pustakawan selalu menekankan kebenaran ilmiah dan terbebas dari kepentingan politik. Seorang pustakawan dibekali ilmu information retrieval atau biasa dikenal dengan sistem temu balik informasi. Yakni ilmu mencari informasi yang benar dari tumpukan dokumen dan mencari metadata dalam dokumen.

Seorang jurnalis juga seharusnya mempunyai kemampuan tersebut, yakni menekankan pada mengungkap kebenaran fakta, terampil menyeleksi informasi dari fakta-fakta yang berlimpahan. Jurnalis perlu terbebas dari kepentingan politik sesaat yang hanya akan menurunkan derajat karya jurnalistiknya.

Tentu saja ada perbedaan-perbedaan antara jurnalis dan pustakawan. Akan tetapi perbedaan itu bukanlah halangan bagi dua profesi ini berkolaborasi. Karena tantangan terbesar saat ini adalah memperkuat kepercayaan publik pada kredibilitas berita. Jurnalis dituntut bisa menjadi seorang pustakawan, yang doyan baca dan mahir mengelola informasi.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *