Rosihan Anwar, seorang jurnalis yang banyak menghasilkan karya buku ini pernah menulis artikel berjudul “Perbedaan Analisa Politik Antara Soekarno dengan Hatta” yang dimuat di Harian Kompas edisi 15 September 1980. Artikel itu kemudian menuai kontroversi cukup lama lantaran menyebut bahwa saat di dalam penjara, Soekarno meminta ampun dengan cara mengirim surat kepada pemerintah Hindia Belanda.
Artikel Rosihan itu merujuk buku karya sarjana Australia, John Ingelson yang berjudul The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934. Buku tersebut merupakan disertasi yang ditulisnya saat menyelesaikan studi pascasarjana jurusan Sejarah, Universitash Monash, Australia. Kontroversi itu bermula dari arsip surat yang diklaim dimiliki Belanda.
Benarkah tudingan itu? Tentang isu kontroversi sikap Soekarno ini sudah banyak dibantah oleh berbagai kalangan. Jika Anda mencarinya lewat Google, tak sulit menemui tulisan yang membahasnya. Misalnya Iman Brotoseno (blog.imanbrotoseno.com) mengulas panjang lebar tentang kontroversi itu. Kesimpulannya adalah surat itu palsu alias hoax. Memalsu surat lazim dilakukan penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya. Dan dalam kasus Soekarno, pemalsuan-pemalsuan data dilanjutkan oleh pemerintah orde baru. Buku biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams misalnya ada beberapa perbedaan antara buku terbit sebelum 1966 dan sesudahnya.
Tapi, dari kontroversi itu yang menarik adalah tulisan Mahbub Djunaidi yang dimuat Kompas edisi 8 Oktober 1980. Tulisan itu berjudul “Itu Mah Pamali, Itu Mah Mustahil, “ Kata Bu Inggit. Artikel tersebut kemudian masuk dalam salah satu tulisan di buku berjudul Humor Jurnalistik (Indera Angkasa, 1986).
Bukan soal kontroversi yang hendak saya bahas di tulisan pendek ini, melainkan logika yang dibangun Mahbub dan cara menanggapi polemik. Mahbub (1933-1995) adalah jurnalis, sastrawan, aktivis, penulis produktif, tokoh NU, pernah menjadi DPR hasil pemilu 1955, dan ketua umum PMII tiga priode. Tulisan ini bukan hendak mengulas pemikiran Mahbub, melainkan cuma mencari tafsiran atas satu saja tulisan Mahbub. Siapa tahu ada manfaatnya di jaman yang serba heboh ini.
Begini. Mari mempreteli tulisan Mahbub di satu judul itu saja. Langkah pertama Mahbub adalah mendatangi Ibu Inggit, istri Soekarno. Hal itu dinilai penting lantaran Bu Inggit adalah istri setia yang seminggu sekali menjenguh Soekarno di penjara Sukamiskin. Mahbub hendak mengonfirmasi kebenaran laporan Pos Rahasia 1933/1276 dengan mendatangi Bu Inggit di rumahnya Jalan Ciateul No 8, Bandung. Selama dua setengah jam ia mewawancarai Bu Inggit. “Itu mah mustahil. Pamali, panjang buat si Kus,” kata Bu Inggit yang selalu memanggil suaminya dengan nama Kusno. “Itu omongan aneh. Baru sekarang ini Ibu dengar,” katanya lagi.
Langkah Mahbub ini perlu digarisbahawi. Yakni satu langkah lebih maju dalam hal polemik surat yang menggegerkan itu. Karena ia mencoba untuk mengonfirmasi kepada sumber yang paling sahih dalam upaya mencari kebenaran. Ia tak sekadar diam dan mengamini yang ada. Tak semua informasi harus ditelan mentah-mentah kan? Perlu dibandingkan dengan pendapat-pendapat lain dan berusaha mengurasi informasi seakurat mungkin. Dalam konteks kekinian, langkah ini super sangat penting mengingat era banjir informasi membuat orang kewalahan memilah-milah mana informasi yang benar dan mana yang hoax. Seakan-akan jaman sekarang ini berlaku hukum: heboh dulu, cari kebenaran kemudian.
Langkah kedua Mahbub adalah memunculkan data pembanding. Yakni sebuah dokumen intel Belanda dari pelaksanaan Kongres Nahdlatul Oelama 13 Oktober 1927 di Surabaya. Dokumen intel itu tersimpan di “Koloniaal Archief”, Geheim Mailrapport 261 X/28. Di arsip tersebut disebutkan bahwa kongres berkesimpulan bahwa “Pemerintah Kolonial Belanda itu adil dan cocok untuk Islam”. Benarkah para Kiai sepuh itu memuji-muji Belanda sedemikian rupa? “Mereka memuji-muji kebijaksanaan Pemerintah Kolonial dalam hal menangani masalah agama. Mereka memohon supaya kebijaksanaan itu disinambungkan,” tulis intel Belanda tersebut.
Artinya apa? Bahwa arsip di Belanda tidak selalu obyektif. Hal itu tak secara eksplisit diklaim oleh Mahbub. Tapi dengan menghadirkan fakta, Mahbub hendak mempertanyakan kebenaran arsip Belanda tentang kongres Nahdlatul Oelama tersebut, mengingat ormas yang didirikan KH Hasyim Asyari itu juga pernah memfatwakan Resolusi Jihad. Bagaimana mungkin ormas yang memfatwakan Resolusi Jihad kepada kolonial Belanda memuji habis-habisan kebijakan Belanda?
Dua langkah Mahbub itu bagi saya adalah sebuah pelajaran sangat berharga, bagaimana kita berpikir dan bertindak dalam keseharian. Saling silang pendapat tak cuma hitungan jari jumlahnya, tapi malah sudah masuk hitungan kalkulator yang rumit. Semrawut sekali. Dua langkah yang ditunjukkan Mahbub dalam tulisannya tersebut (baca: menguji kebenaran dan menemukan bukti lain) disadari atau tidak, sering kita abaikan begitu saja. Walhasil keliaran hoax sulit dibendung penyebarannya. Kita pun pada akhirnya terjebak pada kelompok penikmat setiap kontroversi yang hadir dari detik ke detik, tak lagi dari menit ke menit.
Oh ya, ada satu lagi langkah Mahbub yang bisa kita pelajari dari tulisan pendek enam halaman (105-110) tersebut. Yakni berpikir dengan cara humor. Dan ini yang sulit ditiru oleh penulis-penulis masa kini. Mahbub keras mengkritik pendapat orang, tapi ia meluapkannya lewat bahasa humor. Dia memulai tulisannya dengan kalimat begini: Saya terlongo-longo membaca artikel sohib baik saya Ustadz H. Rosihan Anwar di koran Kompas 15 September 1980, yang berjudul “ Perbedaan Analisa Politik Antara Soekarno dengan Hatta”. Begitu terlongo-longonya saya, sehingga kalau saja pada saat itu ada seekor harimau masuk kamar, tentu akan saya biarkan saja seolah-olah itu seekor kucing belaka”.
Mungkin saja, tulisan-tulisan Mahbub pada era 1980 an semacam itulah yang akhir-akhir ini menjadi tren. Tulisan-tulisan pendek yang bertebaran di media sosial banyak menggunakan bahasa humor yang menggelitik. Asyik untuk dinikmati, sentil sana sentil sini. Meski tentu saja “kadar humor” bisa berbeda-beda sesuai dengan siapa penulis dan siapa pembacanya.
Dan mari kita lanjutkan kalimat Mahbub selanjutnya: Tulisan sahabat baik saya itu membuat saya dua hari lamanya tidak bisa membuang hajat besar. Percernaan saya kacau balau dan anus saya kehilangan daya elastisnya. Selera humor Mahbub yang memang benar-benar level tinggi kan ya? Saya tidak tahu bagaimana perasaan Rosihan Anwar membaca tulisan Mahbub waktu itu. Salam.