Mencari Berita di Medsos, Siapa Jurnalisnya?

Ilustrasi/Sumber: Pixabay

Baru-baru ini, Kementerian Kominfo bekerjasama dengan Katadata Insight Center melakukan survei status literasi digital Indonesia 2020. Survei di 34 provinsi se-Indonesia ini menunjukkan hasil bahwa literasi digital Indonesia belum ‘baik’. Jika skor indeks tertinggi adalah 5, indeks literasi digital Indonesia baru berada sedikit di atas angka 3

Akan tetapi, ada hal tak kalah menarik dari hasil survei tersebut. Yakni perilaku masyarakat menggunakan internet dan memperoleh informasi. Kominfo dan Katadata melakukan survei perilaku masyarakat dalam menggunakan internet. Sebagian besar responden menghabiskan biaya internet untuk masing-masing individu di kisaran Rp 50.001-Rp 100.000 per bulan. Sedangkan untuk 1 keluarga, sekitar 80,6% responden yang mengakses internet di rumah menghabiskan biaya internet untuk keluarga di kisaran Rp 50.001-Rp 300.000 per bulan.

Dari total pengguna internet di Indonesia, 82,8% responden berinteraksi lewat internet. Hal ini tak lepas dari perilaku masyarakat yang banyak berada di dunia maya. Ketika lingkungan kerja atau lingkungan keluarga menggunakan media sosal, maka masyarakat akan menggunakan media sosial juga untuk berkomunikasi.

Responden menganggap dengan menggunakan media sosial, mereka bisa mengikuti dan mengetahui keadaan, aktivitas, berita dari teman atau orang yang dikenalnya. Selain itu, data menunjukkan sebanyak 76% responden mendapatkan informasi dari media sosial. Meski demikian hanya 20.3% responden yang beranggapan bahwa media sosial merupakan sumber media yang dapat dipercaya untuk mendapatkan informasi.

Baca Juga:  RISET: Ketika Jodoh Tak Cuma Soal Cinta, Tapi Juga Urusan Harta

Banjir Hoax

Ketika banyak orang memanfaatkan media sosial untuk memperoleh informasi, maka akan muncul masalah baru, yakni mudahnya orang memproduksi hoax dan menyebarkannya. Pasalnya, setiap orang adalah publisher, setiap orang adalah produsen informasi, setiap orang adalah ‘jurnalis’.

Pada Oktober 2020 lalu saja, Kominfo menemukan ada 1.197 temuan isu hoax di media sosial tentang isu covid-19. Kominfo juga menuturkan sudah memblokir 1.759 akun yang menyebar hoax di media sosial.Terdapat 1.197 temuan isu hoax COVID-19 yang tersebar di 4 platform digital sejumlah 2020 sebaran, di Facebook 1.497, di Instagram 20, di Twitter 482, dan di YouTube 21. Yang sudah di-takedown, diblokir sebanyak 1.759, di Facebook 1.300, Instagram 15, Twitter 424, dan YouTube 20.

Kominfo mempunyai banyak data penyebaran hoax sesuai tema. Ketika suatu isu banyak dibincangkan orang dan mengundang polemik, saat itulah rentan orang termakan hoax. Selain covid-19, hoax dengan tema UU Cipta Kerja juga banyak sekali menyebar dan menimbulkan kegaduhan. Lalu, bagaimana menggunakan media sosial dengan baik?

Jurnalistik untuk Semua

UU Pers nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) selama ini dimanfaatkan oleh insan pers sebagai pegangan bekerja. Jurnalistik sendiri secara sederhana bisa dimaknai sebagai kegiatan mencari, mengolah dan menyebarkan berita. Dalam kegiatan jurnalistik ada sekian aturan yang ‘membelenggu’ pers. Mulai aturan bakunya hingga etikanya.

Baca Juga:  20 Jurnalis Diberangkatkan Meliput Ibadah Haji di Mekkah

Ketika media sosial banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh informasi, pertanyaannya kemudian, siapa produsen/pembuat informasi/berita di medsos? Apakah mereka punya kompetensi di bidang produksi informasi? Di sinilah benang merah antara informasi di medsos dan berita yang diproduksi pers.

Meski perlu dicatat bahwa kualitas informasi di medsos tak selalu jelak atau hoax, namun fakta menunjukkan bahwa ada banyak hoax menyebar di media sosial. Salah satu pembeda terpenting adalah tidak adanya gate keeper atau penjaga gawang. Di media sosial, semua orang adalah gate keeper atau dengan kata lain tidak ada gate keeper khusus. Hal itu berbeda dengan media/pers yang banyak gate keeper-nya, mulai reporter hingga pemimpin redaksi (Pemred).

UU Pers dan KEJ memang diperuntukkan bagi masyarakat pers, akan tetapi tidak ada kelirunya jika substansi aturan dan etika jurnalistik tersebut juga dilakukan oleh masyarakat umum. Ketika setiap orang adalah jurnalis saat ada media sosial, maka seyogyanya setiap orang pula menerapkan prinsip-prinsip jurnalistik saat menyebarkan informasi di media sosial, meski dia mewakili pribadi dan bukan atas nama lembaga pers.

Bagi saya, pengetahuan jurnalistik bukan saja soal bagaimana mendapatkan berita yang objektif. Akan tetapi pengetahuan jurnalistik adalah pengetahuan bagaimana membuat dan menyebarkan informasi yang benar. Ada cara-cara tertentu bagaimana seseorang bisa memperoleh informasi dan menyebarkannya. Semua ada aturan jelasnya di UU Pers maupun di KEJ atau KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia).

Baca Juga:  Wedang Kopi Mas Guru

Substansi UU Pers terutama terkait etika mendapatkan berita dan menyebarkannya perlu dipahami oleh masyarakat umum meski bukan berprofesi jurnalis. Penyebaran hoax, salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat bagaimana cara menyebarkan informasi. Banyak kasus seseorang menyebarkan hoax dan menyesal saat di kemudian hari ditunjukkan bahwa apa yang disebar adalah hoax.

Salah satu prinsip utama jurnalistik adalah verifikasi. Nah, masyarakat bisa menggunakan cara cek dan ricek untuk mengonsumsi setipa informasi yang menyebar. Verifikasi data atau informasi sangat penting untuk mengukur apakah berita itu benar atau tidak.

Oleh karena itu, pengetahuan jurnalistik perlu dimasyarakatkan agar semua orang yang bersentuhan dengan media sosial mampu memahami cara memperoleh dan menyebarkan informasi dengan benar. Meski dia bukan berprofesi jurnalis. Tapi setidaknya mereka mengetahui prinsip-prinsip jurnalistik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *