Oleh: Muhammad Baharudin Romadhoni
“Menulis supaya Abadi” barangkali celotehan tersebut berlebihan kadar, yang lumrah dipakai saban orang untuk memotivasi pembaca wahid yang terkadang membikin orang menjadi terlalu muluk-muluk untuk mencoretkan kelindanan berita, cerita atau kisah yang ia punyai untuk memotivasi jamak orang. Lazimnya menulis menjadi hal yang banyak digandrungi para pembaca yang doyan mengunggah tulisannya di beberapa website maupun koran daerah, ketimbang membaca banyak buku-buku.
Tak seperti jibunan penulis yang dikenal ulung, mereka berpikir berulang-kali untuk mencoretkan imajinatif, merekonstruksi tulisan, hingga membakar tulisan hingga mencapai perfecsionis. Ada juga yang memperhatikan dari unsur lain seperti kosa kata, gaya bahasa, maupun memperbaiki ‘value’ tulisan. Perkara menulis bagi sebagian orang hal yang sukar. Bahkan menimbulkan mental breakdown, membikin mikir, membikin sedih, bahkan membikin marah.
Ketika menulis menyembuhkan luka
Bagi sebagian yang lain menulis adalah menyembuhkan luka dan air mata. Motivasi untuk menulis maupun enggan menulis sekiranya lahir dari berbagai macam kepingan kebutuhan maupun kepedeaan sang penulis. Seperti sabda Dea di buku ‘Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya’ “Di mana ada penulis di situ ada cemohan”. Dari berbagai cemohan barangkali ada yang lebih brutal menyatakan coretan seorang pengarang sebagai bukan tulisan.
Keterampilan saling mencemooh menjadi hal yang lumrah untuk mendidik olahan kata-kata. Walakin, saban orang punya kemampuan masing-masing dalam menulis. Kiranya aku di sini banyak mengoceh gak penting dan emang enggak mahir dalam hal coret-coret. Aku lebih suka baca, baca, baca. Dan kadang aku luapkan dalam bentuk coretan hanya sekadar bikin story gak jelas, ataupun kesasar ke perlombaan hanya untuk mengincar segepok cuannya.
Persoalan membaca sekiranya sangat sukar dan gak harus muluk-muluk perlu dicoretkan seperfect macam pengarang, toh kemampuan orang berkembang sesuai pengalaman yang ia kubangi. Dan persoalan itu tak disadari saban orang untuk memotivasi dirinya sendiri terlepas apapun latar belakangnya.
Perlu mengikuti tren?
Belakangan ini, muncul semacam perlombaan dalam dunia buku yakni tren target membaca buku sebanyak-banyaknya. Tren ini muncul dibarengi dengan adanya istilah bookstagram, booktuber, booktwt yang lumrah dijumpai di laman-laman media sosial. Karena hal inilah, para pembaca mulai ikut-ikutan menargetkan jumlah buku yang ingin dibaca dan merampungkan buku-buku dalam sepekan bahkan hanya selang beberapa hari saja sudah khatam.
Menarget jumlah bacaan berkelindan dan digandrungi anak muda, perlahan istilah cupu yang dialamatkan si kutu buku perlahan menjelma dalam bentuk tren mengulas buku singkat dan sebanyak-banyaknya dan membagikan target bacaan hingga mencapai 100 buku dalam setahun, 10 buku dalam sepekan, bahkan khatam buku dalam sehari. Keranjingan buku memang diperlukan sesuai kebutuhan pribadi para pembaca, namun celakanya tren ini lumrah digunakan untuk mengkotak-kotakkan kemampuan orang lain dalam membaca hingga imbas dari penargetan buku dapat memicu rasa cemas, rasa panik, dan rasa bersalah yang muncul sebab kesulitan mengejar target bacaan yang dibikin sendiri.
Buku-buku yang berkelindan entah buku fisik maupun tidak sepatutnya dibaca dengan alon-alon tidak beruntuk-runtun untuk mengejar target sebanyak-banyaknya. Boleh jadi kita membacanya hanya untuk mendapat validasi orang lain bukan dicondongkan sesuai dengan kebutuhan pribadi masing-masing. Perkara buku yang dituntaskan dalam waktu ringkas barangkali telah menjadi budaya yang berkelanjutan.
Bagaimana tidak, entah dipahami atau setengah paham atau mungkin tidak sama sekali buku-buku yang ditargetkan tak membikin pembaca menikmati buku yang ia sedang baca. Tren ini seakan-akan mengharuskan para pembaca untuk membaca buku-buku berat yang kadang-kadang tak membikin paham, justru bisa jadi dapat menyesatkan para pembaca. Buku-buku berat yang saya maksud ialah buku-buku selain novel seperti buku-buku riset, buku-buku filsafat, maupun buku-buku kesehatan mental.
Sejujujurnya saya percaya dengan ucapan guru saya, yakni seberapun kau membaca buku, kau tak akan mendapat ilmu tanpa seorang guru. Setidaknya guru memberikan bekal pemahaman mana yang baik dan yang buruk. Sebab dalam beberapa buku bacaan seperti buku-buku terbitan Marjin Kiri ataupun Insist Press menampung kelindanan buku-buku berat yang kiranya diperlukan pengarah dalam memberikan pemahaman penuh.
Cara menikmati buku
Dengan kata lain, tren ini hendaknya melibatkan arahan dari orang yang betul-betul paham, apalagi persoalan perihal buku tidak cuma berkitar dalam bentuk ulasan ringkas tetapi diboncengi dengan bekal pemahan yang utuh yang dapat melalui guru maupun orang yang mampu menjelaskan isi yang dimuat dalam buku tersebut agar kita tak sempoyongan ketika dalam keadaan habis membaca. Adapun kawan-kawan sempat mempertanyaiku bagaimana cara menikmati buku yaitu dengan membaca alon-alon. Kita dapat menikmati setiap lembar dari buku yang dibaca dan menemukan makna dengan tidak terburu-buru supaya menjadi kumpulan kertas yang bermakna sekaligus teman akrabmu.
Membicangkan buku yang banyak digandrungi orang seperti buku-buku filsafat, buku-buku riset maupun buku-buku yang bersifat mikir banget saya tak muluk-muluk terburu-buru untuk paham. Saya kebanyakan membaca buku-buku novel anak- novel perempuan, maupun buku-buku yang menyunsung isu kesehatan mental, dan sekarang kerap membaca buku-buku puisi yang sekiranya sebagian buku tersebut aku pahami. Tak harus muluk-muluk buru-buru melahap buku berat yang meski terkadang akupun membacanya dan mencatatkannya di buku.
Hingga kini aku menyakini seperti layaknya mencoret itu sukar begitupun dengan membacanya. Diperlukan pemahaman yang utuh dari beberapa orang yang sudah mampu untuk menjelaskannya supaya tidak asal-asalan dalam membaca sebuah buku serta tak serta merta membagikannya.
____
Penulis adalah Redaktur Buku Jenggala