“Menulis bisa diibaratkan membangun rumah. Ada rumah bambu, dibuat sehari selesai. Ada rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. Ada pula rumah bertingkat dari beton, butuh waktu setahun. Naskah mana yang hendak Anda bangun?”
Begitulah Andreas Harsono berujar dalam bukunya Agama Saya Adalah Jurnalisme (2010:87). Ini semacam pilihan arah yang mempunyai konsekuensi. Bagaimana bentuk-rupa rumah (naskah) yang akan kita bangun, akan ditentukan jalan apa yang kita tempuh. Namun, melihat tulisan-tulisan Andreas, sudah bisa ditebak, ia enggan membangun rumah bambu yang sehari selesai.
Ketika kita memilih (minimal) membangun rumah batu bata, maka konsekusensinya adalah harus memperkuat riset dan interview. Dua hal itulah pijakan awal untuk membuat tulisan feature yang bagus. Semakin kuat bangunan yang hendak dibangun, maka semakin banyak “rukun dan syarat wajib” nya. Hal ini tak bisa ditawar.
Menulis feature, kini tak hanya “wajib” bagi seorang jurnalis yang bekerja di perusahaan media saja. Namun, seorang blogger, fesbuker, atau siapapun yang gemar menulis lalu dishare di social media, banyak yang menggunakan tulisan feature. Jadi, menulis feature tak melulu dilakukan oleh jurnalis, tapi masyarakat umum bisa melakukannya yang boleh jadi lebih bagus hasilnya.
***
Ada dua buku (dari sekian banyak buku) hasil peliputan yang menarik dan patut menjadi penunjuk arah penulisan feature. Yakni Jurnalisme Sastrawi yang disunting oleh Andreas Harsono dan Budi Setiyono (2005), serta buku Dari Jawa Menuju Atjeh karya Linda Christanty (2009). Dua buku itu menghadirkan tulisan yang enak dibaca namun berjejal informasi penting.
Jurnalisme sastrawi bukanlah karya sastra. Ia tetaplah karya jurnalistik yang berdasarkan fakta, bukan fiksi. Hanya saja, penulisannya mirip dengan sastra yang mengutamakan alur cerita, tokoh, serta konflik. Semua yang tersaji, tetaplah fakta yang diverifikasi oleh sang penulis.
Tulisan Alfian Hamzah dalam Jurnalisme Sastrawi misalnya, begitu panjang yakni dari halaman 141 hingga halaman 202. Tulisan berjudul Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, adalah tulisan tentang sisi lain kehidupan Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Tulisannya sangat hidup, yang membuat pembacanya bisa tertawa sendiri ketika membaca kelucuan tentara di daerah konflik. Alfian tak menghadirkan tulisan konfliknya, melainkan keseharian tentara.
Itu hanya satu contoh saja. Karena tulisan-tulisan lainnya tak kalah memikat. Tulisan Eriyanto berjudul Koran, Bisnis, dan Perang boleh jadi akan membuat Anda bergidik. Karena, bagaimana gambaran peran media ikut menyulut api konflik di Poso dulu. Isu agama begitu kuat dalam konflik itu. Dan Jawa Pos membuat dua koran. Yang satu pro muslim, sedang yang satunya pro umat Kristen. Oplah dua Koran yang sama-sama punya Jawa Pos itu pun menuai untung besar.
Sedang buku Dari Jawa Menuju Atjeh adalah tulisan feature yang mendapat penghargaan dari Pusat Balai Bahasa. Buku ini adalah catatan perjalanan dan pemikiran. Ia menulis Pramoedya Ananta Toer dengan Arus Balik-nya. Juga menulis tentang Gaya Nusantara, sebuah majalah homo seksual. Tulisan berjudul Namaku Bre Redana begitu memikat dan membacanya tak bosan.
***
Ketika saya membaca tulisan demi tulisan, saya lalu mencoba untuk membuat benang merah. Bahwa tulisan itu memikat karena tema (angle) yang diambil cukup bagus, dan tema itu ditulis dengan gaya nyastra yang membuat orang betah duduk membaca.
Angle adalah sudut pandang penulis, yakni bagaimana ia mengambil sisi yang menjadi pusat perhatiannya. Alfian Hamzah mengambil sisi keseharian tentara Indonesia saat memburu GAM. Ia mengikuti pasukan tentara berhari-hari, mencatat kebiasaan memasaknya, mengamati cara bergaulnya, dan seterusnya. Ia konsisten pada angle yang diambil. Sehingga tak tergoda untuk masuk pada ranah (misalnya) mengurai penyebab konflik atau mengarahkan pembaca pada isu perdamaian dan semacamnya secara eksplisit.
Sedang soal cara penulisan yang bergaya nyastra atau naratif, sepertinya hanya untuk memikat pembaca. Karena bagaimanapun juga, tulisan nyastra lebih menyenangkan untuk dibaca daripada tulisan kaku. Tapi sekali lagi, bergaya sastra bukan berarti benar-benar sastra. Karena jurnalistik adalah jurnalistik yang berpijak pada fakta. Hanya penulisannya saja bersifat naratif untuk menjadikannya indah.
Tulisan Linda Crhistanty berjudul Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer misalnya, dimulai dengan:
“Pria 68 tahun itu sudah digerogoti uban, setengah botak. Namun ingatannya masih tajam. Nada bicaranya tegas. Terkadang berapi-api, lalu menyurut sedikit untuk soal-soal yang memedihkan hati dan sepasang mata tuanya ikut merah berkaca-kaca.”
Atau tulisan Linda lain berjudul Jurnalisme dalam Sepotong Amplop, diawali oleh sebuah pengalamannya sendiri:
“Pertengahan November 2000. Musim hujan kembali lagi. Langit berwarna abu-abu tua. Saya melamar kerja sebagai wartawan di majalah Momentum Nusantara. Kantor majalah itu terletak di daerah Tebet, Jakarta, di sebuah rumah berlantai dua, bergaya modern. Dua minggu kemudian, lamaran saya diterima.”
Dalam hal penulisan, kreativitas penulis memang sangat dibutuhkan. Menulis adalah sebuah seni yang bisa dipelajari. Dan sebagai perbandingan lagi, selain dua buku yang saya sebutkan diatas, mari kita membacai rubrik Selingan atau Intermezo di majalah Tempo. Tulisannya berupa beberapa judul yang terikat dalam satu tema besar.
Saya sebut satu contoh saja, yang saya ambil dari Tempo edisi 14-20 September 2015. Edisi ini menurunkan laporan Intermezo tentang nasib buku-buku koleksi para tokoh. Tema besar itu dipecah menjadi dua tulisan yakni Nasib Buku Koleksi yang Terlantar dan Merawat Buku Pak Kayam, Pak Kunto, dan Romo Zoet. Pada rubrik Selingan biasanya pecahannya akan lebih banyak.
***
Sebentar, sebentar. Dari tadi ngomong feature, tapi feature itu apa to sebenarnya? Sederhananya feature adalah tulisan jurnalistik yang ringan atau soft. Ini untuk membedakan dengan berita yang hard atau keras. Feature bisa juga dimaknai tulisan berkisah. Layaknya sebuah kisah, maka tulisan itu haruslah semenarik mungkin.
Pada buku Seandainya Saya Wartawan Tempo (1996), disebutkan bahwa “feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan, atau aspek kehidupan”.
Ada beberapa unsur feature (saya ambil dari buku Seandainya Saya Wartawan Tempo), yakni kreativitas, subyektivitas, informasi, menghibur, awet, dan panjang tulisan. Seorang penulis feature adalah seorang yang berkisah, menggambarkan sebuah keadaan dengan kata-kata.
Tulisan feature masih enak saja dibaca beberapa tahun kemudian. Bahkan, semakin lama usia tulisan akan semakin menjadikannya menarik. Karena tulisan itu akan menjadi fakta sejarah. Wartawan adalah penulis sejarah hari ini. Sebagaimana Mpu Prapanca menulis Nagara Kartagama yang kini menjadi rujukan penulisan sejarah. Prapanca menulis tak hanya menulis, melainkan ia riset dan interview ke beberapa narasumber, terutama ke kuil-kuil masa itu.
Lantaran “awet untuk dibaca kapan saja” itulah, banyak kemudian feature dibukukan. Feature-feature karya Sindhunata yang terbit di Kompas dibukukan ke dalam empat buku. Yakni Burung-burung di Bundaran HI, Ekonomi Kerbau Bingung, Petruk Jadi Guru, Segelas Beras untuk Berdua. Buku-buku itu dicetak tahun 2006, namun masih enak dibaca sekarang. Karya feature wartawan LKBN Antara juga dibukukan dengan judul Jangan Panggil Septi Monyet (2011). Dan masih banyak lagi buku-buku feature yang diterbitkan. Banyak juga laporan perjalanan yang kemudian dibukukan.
Nah, sekarang mulailah menyiapkan diri menulis feature. Salam.