Sejarah berasal dari bahasa Arab syajarotun yang berarti pohon, keturunan, atau asal usul. Pada abad ke-13, bahasa melayu mengenal istilah “syajarah” yang mirip dengan pengucapan “sejarah” di masa modern kini. Lalu muncul juga istilah riwayat, hikayat, babad, dan lain sebagainya. Namun, istilah-istilah yang dipakai oleh masyarakat melayu silam itu tidak sama artinya dengan sejarah yang kita kenal sekarang. Pasalnya, istilah sejarah kini punya konotasi Barat. Sejarah disamakan dengan history. History berasal dari bahasa Yunani yang artinya “belajar dengan bertanya-tanya”.
Sejarah/history dengan perspektif Barat punya timbangan yang berbeda denggan tradisi “sejarah” di masyarakat masa lampau di Indonesia dan terkhusus Jawa. Timbangan-timbangan itu kemudian mampu menjustifikasi mana sejarah yang obyektif dan mana yang tidak obyektif. Hal ini memang menjadi sebuah perdebatan yang tak berujung. Akan tetapi yang pasti terjadi kini adalah kita mengenal nama-nama ahli sejarah seperti Gibbon, Hegel, Von Rakne, Toynbe, dan lainnya. Kita tidak akan pernah mendengar nama-nama Mpu Prapanca, Mpu Tantular atau Yasadipura sebagai ahli sejarah. Kenapa? Ya karena ukuran ahli sejarah adalah Barat.