Mengembalikan Kejayaan Buah Salak Wedi

Pintu masuk Desa Wedi/Sumber: M Roqib

Desa Wedi, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, dikenal sebagai penghasil buah salak. Ketika menyebut Desa Wedi orang langsung ingat buah salak wedi. Buah salak wedi memang khas. Memiliki cita rasa manis, kecut, banyak mengandung air, dan masir. Buah salak wedi citarasanya berbeda bila dibandingkan dengan salak pondoh.

Desa Wedi berada di pinggir Kota Bojonegoro. Tepatnya di sisi timur Kota Bojonegoro. Ketika akan masuk ke desa ini terpampang tulisan “Anda masuk kawasan salak Desa Wedi”. Di sepanjang jalan utama, masuk gang, di kiri dan kanannya terlihat perkebunan salak. Di sekitar rumah penduduk pohon-pohon salak tumbuh rindang.

Pada tahun 1990-an, buah salak menjadi andalan penghasilan atau perekonomian penduduk Desa Wedi. Pada pagi hari di sepanjang jalan utama Desa Wedi selalu ramai orang-orang berjualan salak di pinggir jalan. Buah salak berwarna cokelat kekuningan dan berduri halus di permukaanya itu ditaruh di anting atau bojok dan dijejer di pinggir-pinggir jalan.

Para penduduk sudah tahu nantinya buah salak yang ditaruh di pinggir jalan itu akan dibeli oleh para pedagang buah salak. Para pedagang buah salak biasanya naik becak atau dokar untuk memborong buah salak dari para penduduk itu lalu dijual lagi ke sejumlah pasar seperti Pasar Kota Bojonegoro, Pasar Banjarjo, Pasar Dander, Pasar Sumberejo, Pasar Kapas, Pasar Kalitidu, hingga ke daerah Cepu. Boleh dibilang itu adalah masa kejayaan buah salak Wedi dan dikenal di mana mana.

Baca Juga:  Media di Bojonegoro, Secuil Cerita Masa Lampau

Menurut Hanafi, 58, warga RT 01 RW 01, Desa Wedi, dulu perkebunan salak sangat subur dan hasil buah salak melimpah. Para penduduk bisa menggantungkan hidupnya dari berkebun buah salak dan menjualnya. “Saya dulu bisa berjualan salak sampai di Cepu, Blora. Hasil berjualan salak itu bisa untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya.

Perkebunan salak di Desa Wedi sekitar 75 ribu hektare. Sekitar 70 persen penduduk di Desa Wedi bekerja sebagai petani dan pekebun buah salak. Jumlah penduduk Desa Wedi pada tahun 2020 sebanyak 4.900 jiwa. Buah salak menurut cerita yang beredar di antara penduduk Desa Wedi pertama kali dibawa oleh seorang kiai dari Madura bernama Kiai Basyir pada tahun 1910.

Buah salak cocok ditanam di tanah Desa Wedi yang berstektur tanah hitam agak liat dan mengandung banyak air. Buah salak dari Desa Wedi lalu menyebar ke desa sekitar di antaranya Desa  Kalianyar, Desa Tanjungharjo, Desa Bangilan, Desa Padangmentoyo, hingga Desa Bendo, Kecamatan Kapas. Tanaman salak mudah tumbuh dan dapat hidup selama 50 tahun.

Namun masa kejayaan buah salak wedi mulai redup pada tahun 2000-an. Penduduk Desa Wedi mulai beralih dari petani atau pekebun salak menjadi pekerja serabutan atau bekerja di kota. Perkebunan salak banyak yang rusak, tidak menghasilkan buah salak yang baik, dan kurang dirawat. Kebun salak banyak yang dibiarkan begitu saja, diganti tanaman lain seperti pisang, pohon jati, dan bahkan rumput gajah. Penduduk desa tak lagi menoleh kebun salak.

Baca Juga:  Menunggu Pemimpin Peduli Bengawan Solo

Menurunnya hasil kebun salak itu disebabkan beberapa hal. Di antaranya jaringan irigasi yang melewati perkebunan salak di Desa Wedi tidak terurus atau rusak. Banyak sungai-sungai kecil mati atau buntu lantaran berdiri bangunan rumah penduduk.

Selain itu, kawasan desa Wedi yang subur dan berhawa sejuk banyak disukai pendatang untuk tinggal di sana dan mendirikan rumah. Selain itu, menurunnya hasil buah salak disebabkan serangan hama tikus yang cukup hebat dalam beberapa tahun terakhir. Para penduduk Desa Wedi kewalahan dan tidak berdaya menghadapi serbuan tikus yang menghancurkan buah-buah salak yang siap panen itu.

“Serbuan tikus itu sulit sekali diatasi. Mendekati panen, buah salak diserang tikus yang jumlahnya ribuan. Buah salak rusak. Akibatnya, penduduk seperti putus asa untuk merawat buah salak ini,” ujar Hanifah, 56, warga Desa Wedi.

Menurutnya, untuk merawat perkebunan salak diperlukan ketelatenan. Sebab, buah salak itu perlu diserbuk atau dikawinkan agar bisa berbuah maksimal. Sebenarnya penyerbukan bisa secara alami oleh serangga atau angin tetapi biasanya hasilnya kurang maksimal. Setelah diserbuk, buah salak itu ditutup dengan daun salak.

Selanjutnya setelah 3 bulan buah salak itu akan tumbuh besar dan bisa dipanen. Agar pohon salak itu bisa tumbuh subur dan menghasilkan buah salak segar maka perlu air yang cukup. Para penduduk desa biasanya membuat seperti parit-parit kecil di sekitar perkebunan salak itu untuk menampung air.

Baca Juga:  Kabar Gembira, Pemkab Bojonegoro Buka 1.894 Formasi PPPK Tenaga Pendidik

“Kalau airnya cukup dan tidak ada serbuan tikus, sebenarnya hasil buah salak bisa melimpah. Dan buah salak wedi harganya juga lumayan bagus yakni Rp40.000 sampai Rp50.000 per seratus biji,” ungkapnya.

Untuk mengembalikan kejayaan buah salak wedi itu kini memang dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah Desa Wedi dan Pemkab Bojonegoro. Di antaranya dengan membuat acara tahunan budaya berupa festival salak wedi, membuat agrowisata salak wedi, dan mempromosikan buah salak wedi menjadi salah satu ikon Bojonegoro.

Namun, yang perlu dibenahi juga soal ke dalam perkebunan buah salak wedi dan semangat penduduk Desa Wedi untuk mengembalikan kejayaan buah salak wedi itu. Jaringan irigasi perlu dibenahi dan bagaimana mengatasi hama tikus yang menyerbu buah salak pada saat panen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *