Kata alumni dan reuni kembali mencuat di jagat media sosial.Dua kata melankolis yang identik dengan rasa haru, bangga dan kehangatan itu, kini mulai memunculkan pergeseran suasana. Dari suasana sunyi nan merekatkan, menjadi suasana sombong yang penuh pencitraan.
Ada kerekatan dan kesan nostalgis saat mengucap kata “alumni” pada orang-orang yang baru kita kenal.Bahkan, orang yang sebelumnya berjarak pun, bisa langsung dekat dan cair dengan dibantu kata tersebut.
“Kula alumni ponpes Al-Iqra, Kang”
“Lho, iya ta?,Mbien kog ra pernah ketemu ya, hehe ?”
“Halaah, lhawong kula mondok mbotendangukog, Kang”
Dengan orang yang belum pernah kita temui sebelumnya pun, kadang sangat terhubung dengan hanya berkata: alumni. Meskipun jarak usia sangatjauh. Istilah alumni mampu menggeret suasana menjadi cair dan penuh ingat kekonyolan. Itu tidak hanya pada konteks pondok pesantren, tetapi juga sekolah, bahkan bekas tempat bekerja.
Kata alumni kerap mempersatukan, mendekatkan, bahkan bisa meningkat menjadi “salingmembela”. Sebab—untuk konteks pondok pesantren, misalnya— bagi mereka yang pernah merasakan tempaan hidup di “penjarasuci”, meski tak pernah bertemu, ada ikatan tak berwujud yang merekat-rajutkan solidaritas.
Apalagi, jika memang pernah menempuh sebuah episode kehidupan (sekolah, organisasi, bekerja) di suatu ruang dan masa yang sama. Meski telah lama tidak bertemu, tetap bakal ada rasa saling kenal, membela dan membantu, jika ada satu kawan yang tertimpa masalah. Alumni melahirkan solidaritas dan rasa saling memiliki, bahkan saling membela yang buta— pembelaan yang tak mpeduli salah-benar.
Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah alumni tidak pernah menjadi alat untuk menuntut sesuatu.Alumni bergerak, mengalir dan meleleh melalui kehangatan rongga dada sekaligus kelembutan perangai yang nostalgis.Bukan sesuatu yang keras, angkuh dan menuntut kepentingan. Dan yang pasti, bukan jalinan settingan dengan pondasi usia yang teramat bayi.
Istilah Alumni terlampau mulia jika hanya digunakan sebagai pistol settingan untuk menyandra orang lain demi kepentingan sesaat yang memecah belah.
Hal sama juga terjadi pada istilah “reuni”. Reuni (re-union): kembali menyatukan. Sebuah proses temu bagi objek-objek yang sempat berjauhan. Sejak saya kecil hingga dewasa, saat mendengar kata reuni diucapkan, selalu muncul suasana melankolis, nostalgis dan kenangable.
Saya memaknai reuni sebagai makhluk hidup yang menentramkan. Belum pernah sekalipun, saat mengikuti acara reuni, memunculkan rasa kecewa, marah-marah hingga membawa tuntutan bernuansa mengancam. Jika masih membawa unsur ancaman, menurut saya,itu bukan sebuah reuni.
Reuni yang sesungguhnya hanya memunculkan unsur hangat, tenang, bahagia dan ingatan-ingatan tentang perihal lucu yang pernah diperbuat di masalalu. Unsur-unsur itu diikat dengan kelembutan perangai.Tak ada marah-marah, yang ada hanya ramah-ramah.Tak ada tuntutan yang mengancam, yang ada hanya kumpulan ingatan yang mendesak untuk ditertawakan.
Alumni dan reuni adalah makhluk hidup yang harus ditakdzimi, bukan dijadikan alat penyandera demi kepentingan sesaat golongan tertentu. Selain menurunkan kehormatan mereka, itu juga tindakan yang terlampau konyol.