BUKU, Story  

Mengenali Jenis-jenis Kuliner dalam Cerita Api di Bukit Menoreh

Saya tenggelam dalam cerita serial Api di Bukit Menoreh karangan SH Mintardja. Dunia persilatan, olah kanuragan, dan perebutan kekuasaan orang-orang dalam kepentingan Pajang dan Mataram, seakan telah menyihirku untuk terus melanjutkan ceritanya. Sampai tuntas.

Namun, dalam tiap ‘pengembaraan membaca’ cerita tersebut, khayalan akan masa lampau begitu terasa. Tak hanya pertempuran demi pertempuran yang memaksa adanya penguasaan akan strategi perang, tapi juga jalinan kisah cinta, hingga usaha-usaha meningkatkan kemampuan wadag dan jiwa, begitu menarik untuk diikuti kalimat demi kalimat. Saya seperti menonton sebuah film kolosal, meski film itu hanya ada dalam angan, tapi serupa nyata saja.

Akan tetapi, dalam tulisan ini, bukanlah saya hendak berbagi cerita tentang bagaimana Raden Sutawijaya menetrapkan ilmu kebal untuk melawan Swandaru Geni yang mencoba menjajagi ilmunya, tapi sekedar ingin berkisah bagian sangat kecil saja dari kisah 300 jilid lebih itu. Yakni tentang kuliner.

Apa menariknya? Mungkin ini ‘kebiasaan buruk’ saya dalam tiap penjelajahan membaca. Sisi-sisi tertentu yang mungkin saja dinilai sangat kecil, tapi terasa itu dekat dengan hal yang saya suka, maka perhatian coba saya arahkan ke sana juga. Setidaknya tidak menganggapnya sekedar lewat saja.

Tentang makanan dan minuman yang ditulis SH Mintardja dalam menyelip di antara kisah besar Api di Bukit Menoreh, sangat menarik, setidaknya bagi saya.

Baca Juga:  Resep Kue Lapis Legit yang Cocok untuk Pemula dan Berpotensi untuk Berjualan, dengan Kelegitan Berlapis-lapis

Adalah Agung Sedayu, datang ke rumah kakaknya seorang Senopati Pajang, Untara. Agung Sedayu merupakan tokoh penting dalam jalinan cerita Api di Bukit Menoreh. Ia teman Raden Sutawijaya, pendiri Mataram. Juga sahabat karib Pangeran Benawa, anak Sultan Hadiwidjaya di Pajang. Saat tiba di rumah Untara, Agung Sedayu ditawari minum.

“Kau minum apa Agung Sedayu? Air jahe? Wedang sere atau dawet cendol?” berkata kakak iparnya.

Pertanyaan istri Untara itu menarik. Ada 3 jenis minuman yang disebut. Air jahe, wedang sere dan dawet cendol. Tiga minuman itu hingga kini masih banyak ditemukan di warung-warung, terutama di angkringan Jogja. Jika membayangkan kehidupan keluarga era Kerajaan Pajang, suguhan minuman dan makanan menjadi tradisi menghormati tamu.

Dan tak kalah menarik, ternyata ada dawet cendol yang juga ditawarkan oleh kakak ipar Agung Sedayu. Pada masa yang dikisahkan, Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Adiwidjaya sudah beranjak tua. Namun ia masih memerintah Pajang, meski mulai sakit-sakitan. Sedang anak angkatnya, Raden Sutawijaya mulai mendirikan Tanah Mataram di Alas Mentaok.

SH Mintardja menulis kisah Api di Bukit Menoreh jauh sebelum lagu ‘Jaka Tingkir Ngombe Dawet’ menjadi kontroversi. Dalam kisah itu, memang tidak disebut Jaka Tingkir minum dawet, melainkan Agung Sedayu yang ditawari suguhan dawet cendol. Akan tetapi, bisa dibayangkan jika masa Jaka Tingkir, ada minuman dawet cendol. Setidak-tidaknya menurut subyektivitas SH Mintardja dalam cerita yang dikarangnya.

Baca Juga:  7 Langkah Simpel Agar Membaca Buku Lebih Efektif

Selain tiga minuman itu, beberapa kali juga disebut minunam air degan, serta ‘minuman panas’ untuk menjaga kesegaran tubuh. Jadi menjadi kebiasaan, bahwa suguhan minuman selalu panas untuk mendapatkan tubuh yang segar.

Selain minuman, ada juga makanan yang disebut. Diantaranya wajik ketan ireng dan gadung goreng. Jika kini keripik gadung masih mudah kita jumpai, beda dengan wajik ketan ireng. Gadung memang sejenis umbi-umbian yang mudah didapat di daerah pedesaan. Kebanyakan makan gadung, disebut bisa membuat orang mabuk. Maka orang-orang dulu kadang menyebut ‘mendem gadung’.

Sedang wajik ketan ireng, mungkin sudah jarang didapat. Sepengatuan saya, wajik adalah makanan yang khas untuk tradisi perayaan pernikahan. Bentuknya memang serupa wajik atau segi empat. Saya masih ingat waktu kecil suka menunggui mbah saya membuat wajik saat menjelang ada acara hajatan pengantin. Alat cetaknya dari kayu yang berlubang sebagaimana bentuk wajik. Tapi seingat saya, seringkali wajik utu dari beras ketan, bukan ketan ireng. Setelah dicetak, wajik dijemur lebih dulu sebelum kemudian dimasak.

Baca Juga:  Kiai Gringsing dan Agung Sedayu dalam Kisah Api di Bukit Menoreh

Benar-benar bernostalgia kan ya?

____

 

Ah, saya benar-benar tenggelam dalam satu kisah panjang ini. Saya membaca dari laman online.  Laman itu didedikasikan bagi pembaca yang kesulitan mencari buku-buku fisik karangan SH Mintardja. Sebelumnya, saya sudah membaca di laman ini juga kisah Nagasasra Sabuk Inten, dan cerita-cerita lainnya. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pemilik laman tersebut yang sudah susah payah mengumpulkan, untuk kemudian dibaca khalayak umum.

Saya sering memaksa diri untuk berhenti membaca ketika mata lelah. Maklum saya membuka laman itu lewat ponsel yang layarnya tak seberapa lebar. Apalagi saya terbiasa membaca lembar demi lembar kertas fisik.

Joglo Buku, 13 Feb 2023

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *