Bulan April, di mana salah satu tanggalnya selalu kita peringati bersama sebagai hari kelahiran wanita pahlawan kita semua, ya, Kartini. Tepat tanggal 21 April adalah hari kelahirannya, yang kemudian sampai sekarang masih dan terus diperingati kisah dan perjuangan-perjuangannya yang selalu ingin menyingkap ‘gelap’ itu.
Dia lahir di sebuah kota yang berjarak (±) 150 km dari pusat kota Bojonegoro. Dia lahir di sebuah kota yang terkenal dengan ukirannya. Ya, Jepara. Rasanya, tempias-tempias semangat dan gelora Kartini kala itu, masih menempel di dinding-dinding kota kita tercinta ini.
Kisah-kisah yang heroic dan kepahlawanan tercecer di sana sini, sesaat maupun sebelum Kartini terlahir. Semangat akan sebuah kemandirian, sebuah kedaulatan, kesetaran dan kemerdekaan sudah menggelora saat itu. Imagined Comunities, kata Ben, memang sudah ada embrionya sejak lama. ( )
Dan benar saja, seperti yang kita tahu, pada tanggal 17 Agustus 1945 lahirlah sebuah bangsa-negara yang independent; Indonesia. Berapa ratus, atau mungkin ribu, bahkan lebih, pahlawan yang telah gugur di medan perang waktu itu untuk mencapai Indonesia Merdeka. Dari Tan Malaka hingga, Bung Karno, Syahrir dan Hatta. Waktu, keringat, darah, pikiran hingga waktu “pacaran” mereka korbankan demi cita-cita luhur mengusir penjajah — angkat kaki dari negeri yang mereka yakini suci ini. Begitupun dengan Kartini. Yang terus menulis surat-surat ‘perlawanannya’ dari balaik bilik sebuah kamar.
Dan tak sedikit di antara mereka yang memilih untuk hidup selibat, seperti Tan Malaka, misal. Atau menyumpah dirinya menikah setelah Indonesia merdeka seperti Hatta.
Di era millennial yang serba cepat, tergeragap dan terburu-buru ini, tampaknya kita tak kekurangan apapun. Namun untuk merefleksikan sikap kepahlawanan dari para pendahulu adalah masalah yang cukup kronis. Jangankan meneladani, kenal saja kadang; tidak.
Dan perlu kita renungkan, kita pikirkan bersama; ternyata untuk zaman, jika meminjam istilahR. Ng. Ronggowarsito; Jaman Edian ini, menjadi pahlawan bukan kemudian harus berlumur darah, berkalang tanah ataupun kokang senjata seperti Bung Tomo mengusir Mallaby beserta pasukannya dari tanah Surabaya.
Atau seperti Diponegoro; naik kuda dan menyabet-nyabetkan pedangnya saat perang. Tak perlu juga kiranya “…berjalan di atas genangan darah dan membelah tengkorak” seperti kata Lenin.
Menjadi pahlawan yang paling utama adalah bisa menjadi manfaat, menjadi faedah dan menjadi berguna. Manfaat untuk diri sendiri, setidaknya.
Mungkin, kita punya ospi atau definisi lain agar bisa menjadi ‘pahlawan,’ barangkali kita bisa belajar dari Alejandro Velasco, tokoh yang dikisahkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya Relato de Un Naufrago, kemudian dalam bahasa Inggris menjadi The Story of A Shipwrecked Sailor yang akhirnya pada tahun 2002 diterbitkan oleh penerbit LKiS dengan judul “Caldas”.
Buku novel ukuran saku yang tak lebih 124 halaman itu benar-benar diterjemahkan begitu ciamik oleh Rizadini.
Kembali ke Velasco. Velasco adalah seorang Kapten kapal perang yang berangkat dari Amerika menuju Kolombia, namun saat di tengah perjalanan, kapalnya hancur diterjang badai ganas. Semua rekannya mati. Tinggalah dia sendiri berteman sekoci di tengah lautan yang dayungnya pun patah. Tak kurang 6 hari ia terombang ambing di tengah lautan yang ganas.
Berteman lapar, dehidrasi, halusinasi dan sesekali rasa putus asa yang selalu coba ia tepiskan. Hingga akhirnya ia selamat, terdampar di sebuah pulau asing yang banyak masyarakat mengelu-elukan si Kaptain Velasco ini. :”dia benar-benar pahlawan”, dengarnya dari seorang warga yang berduyun-duyun mengangkat tubuhnya yang ringkih terkulai lemas menuju rumah salah seorang warga.
Velasco, kemudian, menjadi pahlawan bukan karena berhasil memukul mundur musuhnya, tidak pula menembakkan meriam ke lambung kapal musuhnya hingga hancur. Bukan.
Ia tak punya pengaruh apapun, tak punya jasa besar apapun. Ia menjadi pahlawan setelah terapung berhari-hari tanpa makanan, minuman atau apapun di lautan yang membuatnya setengah gila itu. itu saja! Pada akhir kisahnya, benar saja, ia diberi gelar pahlawan dari negaranya.
Kau bisa menjadi pahlawan hanya lewat: ”… makan yang cukup, tak kekenyangaan. Karena di negeri yang masih banyak orang lapar seperti ini, seorang yang kekenyangan berarti merenggut nyawa orang lain.”
Atau kita bisa menjadi pahlawan dengan cara tahu dan mengerti, lebih-lebih meneladani sikap Kartini yang saat itu, sebagai seorang pemuda yang pemberani dan optimis, penuh semangat dan gelora. Dan satu lagi, ia sebagai wanita muda yang gemar membaca buku dan menulis. Kita tentu sudah sangat familiar dengan salah satu buku fenomenalnya, Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah buku berisi kumpulan tulisan surat-surat Kartini yang banyak menginpirasi kaum dan bangsanya — sampai saat ini, dan mungkin seribu tahun lagi!
a.m
menjalang berbuka, 19 Ramadan 1443