Nyaris semua kebutuhan, kini dikemas dalam rumah kaca. Dikemas dalam kotak kaca. Dalam layar kaca. Di era revolusi digital dan dunia yang berlari ini, kita seyogianya perlu semacam gaman tertentu, sebuah pusaka khusus untuk membekali diri agar tidak ikut terlipat-lipat dalam dunia yang sedang dan terus menggelinding ini.
Kesumpekan kita pada sebuah zaman di mana sebagian orang menyebut jika zaman ini ialah zaman Beyond-Postmodern, telah dan terus membawa kita pada sebuah habitus baru bernama warganet, yang hidup dalam sebuah habitat yang biasa disebut dunia maya. Cyberspace. Atau Mayantara.
Untuk coretan kali ini, penulis lebih suka memilih kata mayantara. Biar tak terlalu banyak istilah saja gitu. Dan kata mayantara kok mirip-mirip sama nama ibu kota (baru)negara kita ini lurrr.
Sebagian dari kita, entah kecil atau besar, disadari atau tidak, pada masa kontemporer ini, sedang terombang-ambing di lautan informasi. Bahkan beberapa gelombang ini mempunyai arus yang cukup kuat untuk sekadar menghanyutkan sebagian dari kita. Genangan informasi ini bahkan berputar-putar seperti tornado, atau segitiga bermuda, yang nyaris menenggelamkan siapa saja yang berada pada pusarannya.
Dalam ajaran beberapa agama, dijelaskan jika manusia itu, sebelum ke dunia ini sudah melalui beberapa fase kehidupan. Dan setelah tubuh ini tinggal seonggok daging saja, kehidupan selanjutnya pun juga sudah menanti untuk kita lalui. Sampai akhirnya kita bisa di swargaloka yang nun–di sana.
Alam kandungan atau azali, adalah alam yang kita lalui sesaat sebelum akhirnya kita ‘terlempar’ ke dunia ini. Setelah manusia hidup, jika menurut ajaran-ajaran agama itu, kita akan memasuki alam kubur atau langsung ke surga. Namun, ada satu fase kehidupan lagi yang ternyata baru muncul beberapa tahun silam, dan sepertinya tak diterangkan dalam kitab suci manapun. Alam itu adalah alam maya. Dunia maya. Iya, Alam Mayantara.
Kita hidup di dunia, akhirnya juga memasuki fase kehidupan Dunia Maya. Fase saat memasuki Mayantara ini, setiap generasi berbeda. Teruntuk Millenialis dan Gen Z, ini adalah alam yang dikenalkan oleh kebanyakan orang tuanya masing-masing. Alih-alih agar anak tak rewel dan merengek, maka dengan gawai yang mereka berikan kepada anak yang biasanya masih balita itu, seakan memberi stimulan sekaligus mengenalkan Mayantara.
Selain menjadi warganegara, kita juga menjadi warganet. Menjadi Homo digitalis. Apalagi jika melihat genarasi millenial sampai saat ini, rupanya Mayantara adalah alam kehidupan baru yang wajib ia pijaki.
Mayantara yang awalnya disambut dengan gegap gempita, dengan mata yang optimis memandang jauh kedepan, lambat laun, menjadi sebuah momok. Mayantara seakan makhluk yang sedang menghuni tubuh kita. Menjelma bom waktu. Mayantara atau cyberspace, jika diangen-angen kok tidak hanya sekedar space/tempat. Yang awalnya hanya sebuah ruang khusus untuk berkomunikasi, kini makin dan akan terus memintal-mintal jejaring sampai multikompleks. Warganet tak hanya berkomunikasi saat menapaki mayantara. Mereka juga ‘beribadah,’ ‘bersedekah,’ dan mengaktualisasikan diri. Revolusi digital yang masih dan terus berlangsung ini, rupanya juga menyediakan tempat-tempat khsusus. Seperti belajar dan bahkan penyelenggaraan e-government yang terus dikampanyekan secara ajeg oleh Prof. Eko Indrajit, melalui buku-bukunya. Bahkan ruang ibadah juga ada, saat manusia hanya dipisahkan ujung jari antara mayantara dan bumi, bentuk ibadah bertransformasi sekedar saat kita share suatu postingan atau menge-like bahkan berkomentar pada sebuah ruang dan sekat-sekat khusus. Ibadah dengan ujung jari. Ibadah virtual.
Untuk sekat khusus belajar, juga tak kalah banyak. Atau dalam dunia pendidikan biasanya disebut dengan e-learning. Kedatangan Mayantara ini memang seakan menjadi semacam mesin waktu yang bisa mengetahui tentang apa dan di mana saja. Tak terbatas waktu, kita bisa memasuki sebuah lorong jauh beribu-ribu tahun lalu atau menjelajahi masa depan. Siapa saja bisa menjadi apa saja dengan waktu sepersekian detik saja.
Ada sebuah buku yang sangat menarik, dari Tom Nichols yang diterbitkan pada Desember 2018 oleh Gramedia, memberikan sebuah frasa yang berbunyi: matinya kepakaran (The Death of Expertise) — di era digital ini. Sebuah kondisi yang menandakan matinya kepakaran diilustrasikan seperti ini oleh jurnalis senior cum sastrawan Bre Redana :
“Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa membikin opini kemudian menyebarluaskannya.” Dan hal ini berlaku hampir untuk semua bidang. Apa saja. Dan ironisnya, kemunculan para ‘pakar-pakar’ yang lebih cepat dari pisang karbitan itu, muncul ke permukaan. Kemudian menodongkan moncongnya ke seantero mayantara, dan seperti tanpa jeda, massif memproduksi informasi apa saja yang ia kehendaki. Tak mempedulikan bakal ada yang nggubris atau tidak. Dan kebanyakan, tak pernah mau mengujinya—benar atau salah—informasi tersebut.
Gawai akhirya menjelma semacam tongkat sihir, hanya menggoyangkan sedikit jemari saja, maka akan muncul informasi apa yang kita mau.
Tom Nichols menganalogikan internet dengan segala perangkatnya itu, dengan meminjam hukum Sturgeon. Bahwa “90 persen dari semua hal (di dunia maya/mayantara) adalah sampah.” Nichols dalam satu sisi, dalam bukunya yang memang memakai latar belakang Amerika itu, seperti melihat internet dari kacamata yang suram. “Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.”
Dan fenomen-fenomen kemunculan sekelompok orang yang menyembul dalam mayantara juga menarik. Mafhum, jikalau gawai dan dunia maya telah memengaruhi perilaku kita. Baik secara individu maupun kolektif. Meski sudah dikatakan jika mayantara adalah dunia yang sedang kebanjiran informasi, nyatanya tak sedikit warga(net)nya yang begitu ortodoks dan apriori. Di mana seharusnya gawai bisa mendatangkan berbagai bahan referensi, dan jutaan buku bacaan, malah direduksinya menjadi bilik kos yang biasanya hanya berukuran 3×2 meter itu, dirinya terbaring dalam ruangan itu–sembari ngeloni fanatisme-nya dan berselimutkan sekte merk tertentu, hingga waktu yang cukup lama. Ya, Dengan kata lain, kelompok ini hidup dalam tempurung. Tak mau menguji informasi, berdiskusi atau berdebat sehat, tapi cenderung mengecilkan informasi lain, yang berbeda kepentingan dan kelompok, dan tak jarang kemudian berakhir ‘tawuran’ karena saling serang. Kelompok ini mempunyai sikap apriori yang brutal pula. Jika hal ini rupanya kok banyak dialami oleh kebanyakan orang, tentu ini sebuah kabar buruk. Warganet yang mustinya menjadi perpustakaan berjalan (karena saking banyaknya info yang ia untal), malah sebaliknya. Menjadi makin dungu, brutal, ‘kelaparan’ dan beringas. Aiihh.
Kemudian kedua, ada kelompok orang yang menghamba pada like dan view. Dalam media sosial seperti facebook, IG, dan Youtube misalnya, seperti yang sudah kita ketahui semua, sebagian dari mereka mempunyai kasta dan kesaktian masing-masing. Dan semua itu selalu dan hanya diukur lewat kuantitas like dan view. Ataupun subscreiber, jumlah share, komen dan juga jumlah pertemanan di fb.
Sulit dipungkiri, kemunculan mayantara saat ini telah mencipatkan profesi baru. Membuka klaster-klaster perekonomian warga. Tak sedikit mereka yang menghuni mayantara ini, sebagai tempat jual beli. Banyak orang yang akhirnya mendapatkan cuan.
Dalam perspektif paling muram, mayantara ini memang menjadi bom waktu. Semacam dering alarm peringatan yang riuh bergemuruh.
—-
Melihat kenyataannya yang demikian, rasanya kok harus ada semacam upaya menghindari penghancuran – distopia dari dampak kemajuan teknologi, meski menolak teknofobia. Yuval Noah Harari memang sepakat jika manusia adalah homo sapiens, namun rupanya manusia juga makhluk ludens, yang terus bermain. Nah saking asyiknya bermain-main, seperti ujug-ujug telah mengantarkannya pada sebuah revolusi digital ini. Dan dia selain sapiens dan ludens, manusia lebih dominan menjadi homo digitalis. Eksistensinya tak bisa diukur lagi jika musti menapakkan kaki di bumi. Namun, eksistensi manusia kini diukur dalam mayantara. Manusia otentik yang digambarkan oleh Kierkegaard seperti tak pernah benar-banar ada lagi. Eksistensi manusia (digitalis) diukur saat dia seberapa aktif dan intens berselancar dan berkoar-koar—sebut saja begitu–baik verbal maupun tidak, di mayantara.
Masa depan homo digitalis, sepertinya begitu menyeramkan dan mencekam lurrr. Dewasa ini, manusia sedang berada di zaman yang kebanjiran informasi. Entah konotasi kata banjir dalam kalimat barusan berhilir positif atau negatif. Kalau kita misal sepakat, jika mayantara adalah bom waktu, maka kata banjir tersebut adalah punya konotasi negatif. Seperti sebuah bencana erupsi Semeru kemarin, seyogianya kita membuat semacam mitigasi khusus mayantara ini. Agar kita tidak kocar-kacir, jika sewaktu-waktu, bom waktu itu meledak.
Yang Awalnya hanya banjir informasi, bukan tidak mungkin, entah esok, lusa, tulat maupun tubin, akan terjadi badai dan tsunami informasi.
—–
Untuk ranah pendidikan, mungkin tak berlebihan jika menjajal memasukkan semacam literasi media atau analisis media, bahkan lebih, entah apa itu–tentang apa saja yang kiranya riskan tentang mayantara ini, dijadikan perhatian khusus bagi para pembuat kebijakan pendidikan. Agar mencatatnya dalam kurikulum pendidikan. Tentu digarap sebijak dan se-konkret mungkin. Dan terus kawal pengimplemantasiannya, jika dirasa perlu dievaluasi, ya lakukan evaluasi. Bukan jargon semata. Mengingat bahwa kebanyakan pengguna mayantara adalah anak-anak muda. Anak-anak sekolah. Jika tak punya gaman untuk genggaman, bukan tidak mungkin generasi emas 2045 itu hanyalah utopia dan delusi semata.
Selanjutnya sampai masa post-truth ini, makin banyak dan kian merebak komunitas-komunitas kritis yang aktif menangkis kabar-kabar atau informasi yang propokatif dan ngawur. Atau komunitas yang berfokus menangkal hoax sepereti TurnBack Crime, misalnya, dlsb. Dsb.
Terakhir, kita bisa menjadi analis sejak dini. Sebisa mungkin kritis terhadap informasi apa dan dari mana saja. Jangan tergesa-gesa menarik konklusi. Tak perlu terburu-buru menjadi hakim yang mengetuk palu untuk kasus tertentu. Dan jangan kesusu untuk membubuhkan titik pada opinimu. Biarkan saja koma (,), tak adil rasanya kita apriori pada apapun yang ada di mayantara, yang kata Nichols tadi, karena ‘90% yang ada di internet adalah sampah’ itu. Coba kita lihat cara kerja para pemulung. Kita belajar padanya. Meksi kata Nichols banyak sampahnya, kita masih bisa memilah dan memilih sendiri sampah yang kiranya bisa kita daur ulang menurut hobi dan ketertarikan kita masing-masing. Lebih-lebih sampah yang berserakan dalam mayantara itu bisa kita daur-ulang sampai menghasilkan produk yang mempunyai value tinggi.
Seiring berjalan, menurut penulis, sekali kali, bolehlah kiranya kita menjadi pemulung sampah di mayantara, selain tidak apriori, kita bisa menjadi pribadi yang aposteriori. Ditambah skill mumpuni dalam mengolah dan mendaur-ulang sampah mayantara yang terserak di mana-mana itu.
Malam, 5/2/2022