CERITA DARI RANTAU – Sudah dua minggu kembali ngantor (di Jakarta) seperti biasa. Meski jadwalnya diatur dengan pola sehari masuk dan sehari WFH (Work From Home – kerja dari rumah) namun kebijakan dibukanya kantor membuat banyak teman menjadi happy. Sesuatu yang dulu tampaknya hal yang biasa, masuk kantor, sekarang menjadi hal yang menyenangkan.
Dan benarlah kata-kata bijak itu: “Sesuatu akan tampak berharga, setelah kehilangan”. Aktifitas ngantor yang dulunya terkesan hanya menjalani hari-hari kerja sembari menunggu weekend, kini tampak begitu menyenangkan. Malah banyak teman yang mengaku kangen ngantor, katanya.
Kemacetan parah Jakarta yang dulu hampir selalu menghiasi percakapan sehari-hari di kantor, kini tampak seperti dongeng masa lalu. Namun, kondisi ini tentu tidak merata. Karena masih banyak kawasan pemukiman yang masih tetap ramai dan padat seperti biasa.
Ya, semenjak PSBB berlangsung, Jakarta hingga kini masih begitu lengang, kecuali di jam pulang kantor yang saat ini mulai padat lagi. Jakarta yang saya maksud di sini adalah kondisi sepi yang masih terlihat di jalan-jalan protokol yang melewati kawasan-kawasan perkantoran. Termasuk jalanan menuju kantor saya yang terletak di Jl. H.R. Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan. Kantor yang sudah menjadi rumah kedua sejak 8 tahun terakhir ini resmi beroperasi secara normal kembali sejak awal Juni kemarin.
Selama hampir dua bulan PSBB diberlakukan, hampir sepanjang hari saya menghabiskan waktu di rumah kontrakan mungil di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Memang sih, selama PSBB itu saya beberapa kali masih ke kantor. Tapi itu hanya untuk urusan darurat dan harus atas persetujuan pihak managemen. Selain itu, beberapa kali saya juga masih jalan ke mall, pasar dan warung sekitar. Ngapain? Tentu untuk urusan perut yang tetap harus ditunaikan haknya, walau bagaimanapun kondisi dunia luar. Hehehe.
Menjalani Ramadhan dan Lebaran 2020
Bagi saya yang sudah hampir satu dasawarsa merantau ke Ibukota, puasa jauh dari keluarga sudah menjadi hal yang sangat biasa. Sahur dan buka sendiri, itu biasa. Hanya bedanya, untuk kondisi luar biasa di Ramadhan tahun ini, sama sekali tidak ada agenda ngabuburit dan bukber bareng teman dan saudara. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, lebih dari 3 kali dalam seminggu bisa saya habiskan di luar rumah untuk menghadiri ajakan-ajakan bukber dan nongki-nongki.
Kalau untuk lebaran, tahun ini memang berbeda jauh dibandingkan tahun-tahun yang telah berlalu. Apa pasal? Karena saya hampir selalu berangkat mudik sekitar seminggu sebelum hari H dan balik ke Jakarta hampir seminggu setelah hari raya. Dan kebiasaan ini sudah diketahui oleh pihak HRD kantor, karena H-90 biasanya saya sudah berebut tiket Kereta Api untuk keberangkatan H-7 Lebaran.
Nah, untuk tahun ini, entah kenapa semua terjadi di luar kebiasaan. Biasanya saya sudah bersiap untuk hunting tiket lebaran H-90 atau sekitar akhir Februari (karena lebaran di akhir Mei). Namun karena ada pernikahan saudara di Kediri awal Maret, otomatis saya belum membeli tiket Lebaran. Dan syukurlah saat itu belum ada kasus positif COVID-19 yang terdeteksi, jadi saya bisa lancar balik ke Jakarta di tanggal 11 Maret lalu. Segera setelah itu kasus COVID-19 mulai merebak dan hingga kini Jakarta masih mengisolasi diri serta menutup akses pendatang kecuali sudah memiliki SIKM (Surat Ijin Keluar Masuk).
Berada di rantau memang memiliki tantangan tersendiri, apalagi dalam kondisi pandemi saat ini. Berdasarkan pengalaman, faktor paling penting menurut saya adalah memiliki sumber penghasilan yang stabil. Cukup atau tidaknya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup tentu kembali ke masing-masing orang. Ada yang berpenghasilan besar menurut ukuran banyak orang, tapi belum pertengahan bulan sudah harus prihatin. Tapi banyak juga yang sebaliknya.
Menyiasati Gaji
Seperti banyak dialami orang lain, selama PSBB ini gaji bulanan saya juga mengalami pemotongan yang lumayan. Namun saya masih bersyukur karena sampai saat ini tidak ada PHK massal seperti yang terjadi di banyak kantor lainnya. Untuk itu, sejak awal pandemic ini berlangsung, saya sudah melakukan beberapa persiapan yang di luar kebiasaan. Seperti misalnya, saya akhirnya memutuskan membeli lemari es mungil untuk menampung lebih banyak bahan masakan dan untuk menyimpan sisa masakan yang masih bisa dikonsumsi beberapa kali.
Pengeluaran beli lemari es awalnya mungkin terlihat besar, tapi saya hitung ke depannya akan jauh lebih menghemat pengeluaran. Dan benar, pengeluaran untuk makan menurun drastis karena saya lebih senang memasak. Apalagi dengan adanya PSBB yang lama-lama membuat saya malas dan berpikir berulang kali sebelum ke luar rumah. Dengan memasak, saya bisa memastikan kebersihan makanan yang saya konsumsi dan lebih sehat tentunya. Selain itu saya yang biasanya ‘sok’ sibuk dengan pekerjaan kini jadi bisa lebih sering mengurusi dapur. Hehehe.
Sampai saat ini, tempat-tempat wisata ‘katanya’ masih pada tutup. Entahlah, saya sendiri dari dulu juga jarang berwisata di dalam kawasan Jakarta, kecuali mengantarkan saudara atau teman dari luar kota yang “pingin tahu” Jakarta. Mall-mall juga sepi, meskipun beberapa tenant pusat perbelanjaan tetap beroperasi. Hampir tidak ada tempat makan atau warung yang mengijinkan dine-in (makan di tempat), baik di dalam mall maupun di sepanjang jalan. Ya, Jakarta memang menuju “New Normal” tapi saya pikir kondisi tetap tidak akan normal lagi seperti sedia kala. Jakarta aja begini, apalagi kota lain?!
Hmm.. “Perubahan adalah hukum kehidupan. Dan mereka yang hanya melihat ke masa lalu atau masa kini, pasti akan kehilangan masa depan” begitu bunyi quote John F Kennedy yang menurut saya cocok dengan kondisi saat ini. Walau bagaimanapun kondisinya, mari bersiap menyambutnya.. Yuk mari menyambut “New Normal” kawan, di manapun kalian berada. (Dee)