Film Pendek berjudul KTP ini tentunya sudah tak asing lagi bagi mayoritas para penghuni jagat maya/mayantara. Sejak kemunculan film ini di sosial media, langsung banyak mendapatkan berbagai respon dari khalayak. Film ini viral. Karena, seperti kita ketahui bersama, dalam film pendek yang berdurasi 15 menit 33 detik itu, mempertontonkan sebuah fenomena yang sangat sensitif, krusial dan cukup bikin candu. Ya, Agama.
Di dalam scene film ada seorang petugas dari kecamatan bernama Darno yang mendatangi seorang warga bernama Mbah Karsono di sebuah desa terpencil untuk sosialisasi kartu sehat manula. Mengingat Mbah Karsono yang usianya memang sudah senja, maka jika sewaktu-waktu sakit dan butuh perawatan kesehatan, pemerintah bisa membantunya dengan kartu sehat. Salah satu syaratnya harus mempunyai KTP. Si mbah Karsono yang rambut dan kumisnya sudah putih itu ndilalah belum mempunyai KTP.
Awalnya saat petugas kecamatan mengisi format blangko KTP yang tersedia, ada salah satu kolom pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh si mbah Karsono. Kolom tersebut ialah kolom agama. Saat si Mbah ditanyai apa agamanya, ia menjawab Kejawen. Dan sudah tentu itu tidak ada di daftar pilihan dalam blangko yang dibawa oleh Darno.
“Lha agamane nopo mbah?”, Tanya petugas kecamatan
“Kulo Kejawen”
“Lha pripun mbah? Mboten enten Kejawen”
Iya, si mbah mengaku jika agamanya Kejawen. Kejawen sendiri memang tidak atau (belum) dianggap sebagai agama resmi yang diakui di Indonesia sampai saat ini. Meski keberadaannya sudah diketahui oleh berbagai kalangan masyarakat, baik secara laku lampah, sekedar pengetahuan atau bahkan dipeluk sebagai agama.
Hal ini bisa ‘disurvei’ secara ‘kasar-kasar-an’ dengan menanyakan kepada masyarakat, khususnya di Pulau Jawa.
“Apakah saudara-saudara sekalian mengetahui atau pernah dengar nama Kejawen?” Sudah bisa diprediksi jika mayoritas khalayak tentu akan menjawab tahu – dari anak lulus SMA, kuliahan sampai pedagang asongan yang tak tamat Sekolah Rakyat (SR).
Petugas kecamatan sendiri, Darno, ingin membuatkan KTP untuk si mbah Darsono agar nanti, jika seketika jatuh sakit, bisa diuruskan administrasinya guna mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah.
Di Indonesia, KTP adalah identitas kita. Identitas kita adalah KTP. Kartu yang hanya berukuran sekian cm itu. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ukuran KTP Indonesia ialah 85,60mm x 53,98mm atau jika menggunakan satuan sentimeter 8,56cm x 5,398 cm, dan itu menjadi bukti identitas kita. Semua kebutuhan administrasi musti melampirkan KTP. Ya Kan?
Nah di sinilah masalah mulai menyembul, Darno menanyakan agama yang dianut Mbah Karsono, namun ia tetap menjawab Kejawen, dan ingin ditulis di KTP juga Kejawen.
Baik Darno dan Mbah Karsono, tanya jawab keduanya saat pendataan guna pengisian blangko KTP harus mandek di sebuah gang buntu. Akhirya mereka memangil Pak RW, Pak RT dan warga sekitar guna mengarahkan persoalan pembuatan KTP Mbah Darsono agar tidak mandek di gang buntu.
Namun siapa sangka, Pak RT dan Pak RW beserta warga tak kalah pening ketika mendapati masalah penulisan agama Kejawen Mbah Karsono ini.
***
Banyak para akademisi yang akhirnya merasa ‘terusik’ dengan munculnya film pedek KTP. Alhasil ia mencoba menguliti film itu dengan meminjam semiologi dari Roland Barthes.
Jika kita pakai kacamata semiologi untuk meguliti film pendek ini, maka kita akan bertamasya melewati rute yang amat panjang dan jelimet.
Selain Barthes tentu kita bisa menimba dari pendahulunya, Ferdinand Saussure.
***
Karena amat banyak kepala yang telah menginterpretasi film ini dari sisi semiologi yang ndakik-ndakik, maka penulis mengajak para pembaca yang baik, untuk mencoba melihatnya dari sisi yang datar dan landai, yang tidak ndakik-ndakik . Lebih tepatnya mencoba mengupas dan meniliknya dari dialog para tokoh di film tersebut dan sikap serta budaya mereka.
Oke, mari kita coba.
Dalam film KTP tersebut. Akhirnya si Mbah Karsono tidak jadi dibuatkan KTP,lantaran pilihan agama di blangko dari petugas kecamatan Darno tu tidak ada agama yang ia anut; Kejawen.
Dan warga sekitar juga mempuyai kesepakatan akan mengurus Mbah Karsono bersama jika kelak sakit, kalau perlu patungan biaya juga tak jadi soal. Tentu saja, sebenarnya ini adalah pesan yang coba disiratkan sutradara Boby Prasetya.
***
Kita hidup di Indonesia dicengkram oleh kaki garuda yang begitu kekar dan gigih, dan tentu tulisan di cengkraman itu sudah kita ingat di luar tempurung: Bhinneka Tunggal Ika. Seuntai kalimat yang dinukil dari kakawin Sutasoma. Namun tahu ngga? Ternyata jika kita mau buka kitab yang tak seberapa tebal itu, kalimat “… Bhinneka …” ada awalannya dan terusannya. Terusannya ialah Tan Hana Dharma Mangrwa.
Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular itu sampai saat ini masih dicetak terus oleh penerbit Komunitas Bambu, dan bisa kita lihat bersama, bahwa kutipan frase “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat pada pupuh 139 bait 5, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Atau jika boleh mengikuti salah satu tafsir guru dari penulis, saat penulis menjadi pemulung di Malang dulu, beliau mempunyai tafsir sendiri yang cukup ‘enak’ didengar, Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa ditafsirkan menjadi: Berbeda-beda tetap satu jua, dan tidak ada keyakinan (agama) yang salah.
***
Bahkan Soekarno sendiri saat berpidato di Amuntai Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953, ia menegaskan jika orang di Indonesia itu semuanya beragama, tidak ada yang tidak beragama. Soekarno menyebutnya dengan kata yang sangat ngayomi dan arif; “… belum beragama”.
Bisa dilihat lebih lanjut di buku dengan judul Menyulut Api di Padang Ilalang karya Muhammad Iqbal yag diterbitkan penerbit marjin kiri pada tahun 2021 lalu. Tentu sudah jelas, diksi “Belum” dan “Tidak” — beragama.
Rupanya pidato Soekarno di Amuntai kala itu menjadi penting dan kemudian hari dikenal dengan peristiwa Amuntai.
Mengetahui demikian, maka, ya, jika mau takdzim pada para sesepuh dan leluhur danyang nusantara, pemerintah idealya mencoba memasukkan agama baru, meresmikan agama-agama baru dalam KTP. Ya, seperti Gus Dur meresmikan Konghucu.
Sudah pasti itu jalan yang panjang dan ruwet. Namun jika tidak segera diusulkan, leih-lebih diproses, konstitusi Indonesia, yakni UUD ’45 yang jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28E ayat (1), ialah bayang-bayang semata.
Indonesia itu baru 76 tahun 6 bulan usianya, namun desa-desa yang berjumlah 83.831 itu, sebagian besarya sudah ada, sudah lahir duluan beratus-ratus tahun yang lalu sebelum Indonesia lahir. Kalau ngga percaya tanya saja sama Prof. Slamet Muljana atau Prof. Aloysius Sartono Kartodirdjo, atau tanya sama Paman Ben. Jika meminjam bahasanya Emha; Indonesia itu bagian dari desa saya.
Ya, kita hidup di Nusantara ini kan, katanya orang jawa, harus tepa salira. Kudu tepo sliro.
Dan kesepakatan warga yang mau secara sukarela bahu membahu membantu dan patungan biaya kalau si Mbah Darsono sakit, tak lain adalah perasan inti dari Pancasila – Ekasila yaitu Gotong Royong. Holopis Kuntul Baris.
Dan Darno adalah representasi dari kaku, dingin dan ruwetnya pelayanan administrasi di negeri ini. Atau anda tentu punya penasfiran lebih kaya tentang PNS Darno di film pendek itu.
Dalam wawacaranya di acara Kick Andy Show, Gus Dur juga bilang: ”… 7 abad lamanya kita berpancasila tanpa nama”. Penulispun dengan penuh takzim, ikut mengamini kalimat mantan presiden dan Kiai nyentrik itu.
Maka tak kaget, jika film yang digarap oleh ASA Film dan disutradarai oleh Boby Prasetya ini mendapat nominasi sebagai juara I Kategori Umum Festival Video Edukasi (FVE) 2016 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Film ini makin ciamik saat di scene terakhir ada tetangga Mbah Karsono yang datang untuk mengembalikan Palu dan Arit. Aiiihhhh….
Menuju Malam, 28 Februari 2022
a.m