Sejak lama, saya meyakini bahwa cerita yang ditulis akan membangun satu dunianya sendiri di tangan pembacanya. Kekuatan penulis yang tersalurkan lewat kata demi kata yang dirangkai dalam sebuah tulisan akan bersua dengan kagairahan pembaca yang memiliki kebebasan. Perjumpaan itulah yang akan menghadirkan makna, menghadirkan getaran, menghadirkan dunia yang (bisa jadi) lain dari dunia yang dibayangkan penulisnya.
Membaca, bukanlah sekedar urusan mengeja huruf. Akan tetapi, serupa orang memasuki sebuah rumah besar. Semakin ia masuk ke dalam, semakin ia melihat betapa kokohnya rumah itu. Mungkin ia akan terpesona oleh tiang ukir yang dipahat seorang yang terampil. Namun, boleh jadi ia akan takjub dengan blandar yang besar, atau lantai yang berundak-undak. Atau boleh jadi ia tak merasakan apapun saat sudah berada di dalam rumah.
Seperti saat ini. Saya sedang merambati kata demi kata yang ditulis SH Mintardja dalam karyanya yang terkenal: Api di Bukit Menoreh. Membangun dunia imajinasi tentang pertikaian pasukan Kerajaan Pajang dan sisa-sisa pengikut Arya Penangsang, Raja Jipang.
Sebelum ini, saya sudah mencoba membangun imajinasi dari karya-karya SH Mintardja lainnya. Seperti Nagasasra Sabukinten, Meraba Matahari, Mata Air di Bayangan Bukit, dan judul-judul lain. Cuma, jika sebelum-sebelumnya hanya di bawah 40 an jilid, maka Api di Bukit Menoreh ini lain sendiri, karena berisi 396 jilid. Bayangkan saja bagaimana proses menulisnya?
Api di Bukit Menoreh berkisah tentang laskar Pajang dan laskar Jipang yang saling mempertahankan keyakinannya. Kisah ini berlatar masa ketika Jipang berhasil dihancurkan, namun sisa-sisa pengikut Arya Penangsang tak mau menghentikan perlawanan. Sehingga, terjadilah di sana-sini peperangan yang merambah ke desa-desa.
Ketika saat saya menulis ini, saya baru menyelesaikan jilid 6. Perjalanan masih panjang. Tapi, entah kenapa saya selalu menikmati kalimat demi kalimat yang ditatah oleh penulis yang maha hebat itu.
Agung Sedayu, adik Untara hidup dalam asuhan ibunya yang memiliki ketakutan akan kehilangan anak. Dua adik Sedayu meninggal di usia anak-anak. Sehingga, Sedayu diasuh dengan sangat hati-hati, dijauhkan dari perkelahian, pertengkaran, atau hal-hal yang membahayakan. Ini berbeda dengan Untara, kakak Sedayu yang seorang pendekar pilih tanding, seorang senopati Pajang. Ayah Sedayu dan Untara, yakni Ki Sadewa adalah pendekar pilih tanding yang mempunyai sifat rendah hati. Di masa tuanya Ki Sadewa mengundurkan diri dari dunia persilatan dan lebih memilih bertani, berkebun dan melakukan aktivitas rumah.
Akan tetapi perjalanan hidup manusia tak bisa ditebak. Sedayu yang sejak kecil sangat dimanja, tumbuh menjadi seorang penakut. Ia lebih senang berada di bawah perlindungan kakaknya, Untara. Setia papa yang terjadi, ia akan meminta kakaknya menyelesaikan urusan. Hingga akhirnya tibalah waktunya, ketika Untara terluka, Sedayu menapaki jalan lain.
Singkat kisah (yang sementara sampai jilid 6), Sedayu sedikit demi sedikit menaruh kepercayaan pada dirinya sendiri, bukan lagi kepada Untara. Ketika ada orang berkelahi, Sedayu awalnya hanya gemetaran. Namun, kemudian, ia melukis gerakan-gerakan yang dilihat dan yang dibayangkan di atas lontar. Dari situlah ia belajar ilmu kanutagan. Cara tak biasa. Namun hasilnya? Mari kita melanjutkan membangun imajinasi ke jilid 7 dan seterusnya.
Bojonegoro, 25 Desember 2022
Lanjut gelutnya Agung Sedayu vs Swandaru Geni