Merokok dan Maqom Ibadah Manusia

Ilustrasi bungkus rokok jadul

Selalu dijadikan makanan penutup, rokok sering berperan sebagai penyempurna 4 sehat 5 sempurna. Apapun makanannya, tombopedes-nya tetap merokok. Namun, terlepas dari itu semua, ada yang memaknai laku “bakar kertas” itu  sebagai cermin proses mendekatkan diri kepada Tuhan. Hanya, belum semua memahami dan membenarkan pernyataan debatable tersebut.

Sewaktu masih kecil dulu, sesuatu yang dibakar identik sebagai makanan hantu. Bahkan, orang-orang tua dulu sering berkata, jika ingin memberi makan hantu, cukup bakar kemenyan atau dupa. Niscaya, hantu itu bakal merasa bahagia. Karena rokok adalah proses membakar kertas, merokok adalah kegiatan hantu. Jadi, jangan ditiru. Begitu kata orang-orang tua dulu.

Berbekal nalar kritis anak-anak, dulu saya sering bertanya-tanya, bagaimana bisa hantu merasa kenyang hanya karena dibakarkan dupa ataupun kemenyan? Padahal, fenomena kenyang bisa terjadi jika ada zat padat ataupun cair yang masuk ke dalam usus. Lalu, ke-kenyang-an seperti apa yang dirasakan para hantu saat menikmati asap?

Sayang, pemikiran  itu tidak jadi saya teruskan karena saya mulai menyadari bahwa organ pencernaan hantu itu tidak berwujud. Sehingga, untuk menimbulkan fenomena kenyang pada organ yang tidak berwujud, asupan makanannya pun juga sesuatu yang memang tidak memiliki wujud. Begitu pikir saya.

Baca Juga:  Manusia Berhak Berhenti Membaca

Setelah lumayan dewasa, saya tahu bahwa asupan makanan tak berwujud itu ternyata variannya banyak sekali. Bahkan, tidak hanya dikonsumsi makhluk halus. Melainkan makhluk kasar seperti manusia. Salah satu varian makanan tak berwujud yang paling populer adalah rokok.

Bagi sebagian orang, rokok menjadi (makanan?)  penutup yang wajib dihadirkan pasca mengkonsumsi “makanan berwujud”. Istilah kerennya, dessert. Banyak yang meyakini jika tanpa rokok, proses pasca menelan makanan terasa kurang sempurna. Sebab, rokok adalah penyempurna 4 sehat 5 sempurna.

Sebelum saya menjadi seorang perokok, saya pernah mengajukan pertanyaan kritis pada kawan saya yang lebih lama menjadi perokok. Apa fungsi merokok? Adakah dampak bahagia, seperti yang dirasakan hantu saat dibakarkan kemenyan dan dupa? Atau ada dampak kenyang dan menghilangkan rasa dahaga?

Sebab, waktu itu, saya meyakini, fungsi benda eksternal masuk ke dalam tubuh hanya ada dua. Kalau tidak menghilangkan lapar ya menghilangkan dahaga. Tidak lebih dari itu. Lalu, jika tidak masuk dalam dua kategori tersebut, tidak patutkah kita mempertanyakan, sekali lagi, apa fungsi merokok bagi tubuh?

“Rokok bukan kebutuhan tubuh, tapi kebutuhan jiwa” jawab kawan saya.

Rokok, menurutnya, tidak seperti makanan manusia pada umumnya. Dia tidak memberi kepuasan apa-apa pada tubuh. Yang dia puaskan hanya dampak psikologis. Menurutnya, merokok  mempertebal rasa percaya diri sekaligus rasa sombong. “Merokok itu seperti ritual beribadah” . Kata dia. Ada maqomnya. Ada tiga maqom bagi perokok; Berat, Sedang dan Ringan.

Berat adalah tingkatan pertama. Mereka yang baru belajar mengenal peribadatan merokok. Selain berat membeli ataupun memberi rokok,  perokok pada tahap ini, hanya merokok jika ingin dilihat orang. Biar terlihat keren. Jika tidak ada yang melihat, mereka tidak akan merokok. Dalam tingkatan ini biasanya dihuni anak-anak sekolah dan ABG labil.

Baca Juga:  3 Jenis Ajakan Ngopi yang Patut Dicurigai

Tingkatan kedua adalah Sedang. Mereka mengenal peribadatan merokok lebih lama daripada perokok Berat. Kadang loman, kadang juga pelit dalam hal membeli maupun memberi rokok pada orang lain. Mereka ingat merokok hanya saat didera masalah atau saat butuh saja. Butuh bantuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, misalnya.

Ketiga adalah maqom Ringan. Ini tingkatan tertinggi dalam peribadatan merokok. Selain ringan membeli dan memberi rokok, dilihat maupun tidak dilihat orang, mereka tetap merokok. Mereka sudah “selesai” dengan pendapat orang lain tentang apa itu merokok.

Merokok, bagi mereka bisa mengingat dan dekat pada Tuhan. Sebab, ada syukur pada semesta dalam setiap hembusan asapnya. Bersyukur, Tuhan masih menumbuhkan  daun tembakau di muka bumi; bersyukur, masih bisa berbagi dan menghidupi para petani; dan bersyukur, masih diberi kesehatan untuk bisa menikmati ritual merokok.

Baca Juga:  Paslon Bupati Hanyalah Tokoh Fiksi

Sayangnya, Anda semua harus segera menghancurkan bangunan imajinasi positif terkait laku merokok yang baru dijelaskan tadi. Sebab, diantara petani dan suburnya tembakau, terdapat jejaring kapital yang memainkan harga dan terus memperlebar jarak antara petani miskin dan tengkulak tembakau yang kaya raya.

Dalam setiap hembusan asap rokok, ada ke-tidaksejahtera-an petani, ancaman kesehatan masyarakat, dan yang paling parah, di balik gegap-gempita heroisme perlawanan melawan gerakan anti-tembakau, ada oknum pro-tembakau yang diam-diam menikmati hasil CSR-nya. So, kurangi rokok sejak saat ini juga jika tidak ingin memperkaya jejaring kapitalisme dan oknum tertentu tersebut.

Saya sedang mengurangi rokok. Mengurangi jumlah rokok dari dalam bungkus agar cepat habis, misalnya.

___________

*) Penulis tinggal di Bojonegoro, bersama teman-temannya baru saja menggelar acara Ngaostik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *