Masih pagi betul. Saya tiba di Museum Kretek Kudus. Pintu gerbang museum di Jalan Getas Pejaten No 155 itu belum juga dibuka ketika saya mengunjunginya di sebuah akhir pekan. Namun, keramaian aktivitas pedagang kaki lima dan warga Kudus di jalan raya depan kompleks bangunan di atas tanah 2,5 hektare yang diresmikan Gubernur Jawa tengah Soepardjo Roestam pada 3 Oktober 1986 itu sudah tampak. Beberapa orang berbincang menunggu angkot sembari menyulut sebatang rokok, menghembuskan asapnya kuat-kuat, mengusir hawa dingin.
Tepat pukul 07.30 WIB, bersamaan dengan rintik hujan, pintu gerbang dan loket museum yang dikelola tiga pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus dan sepuluh tenaga kontrak ini dibuka. Saya antre membeli tiket seharga tiga ribu rupiah, tarif khusus Minggu atau hari besar. Selain hari itu, tarifnya dua ribu rupiah per orang. Dari loket masuk, saya dapat melihat jelas bangunan tua beratap limas ganda. Di depannya, terletak taman dengan patung keluarga petani tengah bercengkrama. Sisi kanan dan kirinya diapit wahana bermain anak. Bangunan itulah ruang utama Museum Kretek Kudus.
Beberapa langkah memasuki bangunan utama museum, sudah terdengar suara gelumat anak-anak berseragam olahraga taman kanak-kanak dan sekolah dasar membahana hingga seantero ruang. Ketika menyapu pandangan, mata saya tertambat pada patung Nitisemito tersenyum dari jendela kamarnya di sisi kanan ruangan. Sebuah replika kamar perintis perusahaan rokok Bal Tiga seukuran enam kali empat meter berisi segala pernak-pernik koleksi pribadinya terletak di sana. Ada empat kursi dan satu meja antik, satu blangkon, satu bolpoin, satu jam tangan, satu tempat rokok, surat-surat kerjasama, satu mesin tik kuno, dan tujuh foto kegiatan Nitisemito dan industri kretek Bal Tiga.
“Ini mereka penjual es, dulu belum ada media iklan seperti televisi. Maka beliau mensponsorkan produknya di gerobak es. Ada mereknya Bal Tiga. Kalau ini stan penjualan rokok di pasar malam. Sebelahnya lagi ada foto doorprize sepeda dari Bal Tiga. Seperti sekarang kuis kita membeli produk apa, ada doorpize motor atau mobil,” kata Novi Noor Hayati, pemandu museum yang membuka perbincangan dengan menjelaskan detail cerita di balik benda dan foto di ruangan itu.
Meski hanya satu ruang dengan penataan sederhana, koleksi benda-benda sejarah dari industri kretek di museum ini cukup terawat. Sosok Nitisemito tampak dibuatkan tampilan khusus. Meski ada juga foto pengusaha rokok lain dan benda-benda sumbangannya yang dipajang, mereka diposisikan tak lebih spesial dari Nitisemito.
Di tengah ruangan, potret Nitisemito menjadi pusat dan terlihat berbingkai lebih besar dikelilingi oleh M. Atmowidjojo, pendiri rokok Goenoeng Kedoe sejak 1910; Tjoa Khang Hay, pendiri rokok NV Trio sejak 1912; H. Ali Asikin, pendiri rokok Djangkar sejak 1918; H.M. Moeslich, pendiri rokok Teboe & Tjengkeh sejak 1919; M. Sirin Atmo, pendiri rokok Garbis & Manggis sejak 1922, Koo Djee Siang, pendiri rokok Nojorono sejak 1932; H.A. Ma’ruf, pendiri rokok Djambu Bol sejak 1937; MC Wartono, pendiri rokok Sukun sejak 1948; dan Oei Wie Gwan, pendiri rokok Djarum sejak 1951.
Tidak lengkap membicarakan keistimewaan Nitisemito tanpa menyinggung bisnis kreteknya yang monumental. Meningkatnya produksi dan kretek di Jawa dinilai berkat tampilnya perusahaan rokok Bal Tiga milik Nitisemito di tepi Kali Gelis, Jagalan, Kudus Kulon. Hal ini menguatkan posisi Kudus sebagai sentra industri rokok kretek di Jawa Tengah pada masa permulaan.
“Kesuksesan wirasawasta Nitisemito memicu lahirnya perusahaan rokok lain baik berskala kecil, skala menengah ataupun skala besar di Pantura Tengah maupun di Vorstenladen Jawa Tengah dan Lembah Kali Brantas di Jawa Timur,” tulis Rudy Badil dalam buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011).
Nitisemito juga dikenal sebagai pengusaha yang “gila”. Pada zamannya, dia sudah melakukan terobosan-terobosan bentuk promosi untuk mendongkrak penjualan bisnis kretek dan memperluas jangkauan konsumennya. Sesuatu, yang, pada saat itu belum terpikirkan pengusaha kretek manapun.
Di antara bentuk promosi “gila” itu dapat dilihat jejaknya di foto-foto yang dipajang di Museum Kretek Kudus. Dia pernah menggunakan media bus untuk menempelkan poster-poster produknya. Penjual es lilin keliling juga diajaknya sebagai mitra usaha. Mereka diberi termos dan perlengkapan berdagang lengkap secara cuma-cuma. Satu saja syaratnya, termos dan perlengakapan jualan es lilin terlebih dahulu dia beri merek Bal Tiga. Ketika ada keramaian seperti pasar malam, pekan raya atau sekaten, Bal Tiga juga membuka stan untuk penjualan kretek dan penukaran hadiah dari pelanggannya.
“Kreativitasnya melampaui zaman. Contohnya (promosi yang paling spektakuler) menyewa pesawat Fokker untuk menyebarkan pamflet kretek Bal Tiga lewat udara,” tambah Suyanto, Kepala Museum Kretek Kudus.
Dalam gerakan sosial, Bal Tiga juga memiliki cara yang tak lazim. Kala itu, perusahaan kretek pribumi umumnya hanya membantu pergerakan organisasi Islam di Kudus. Dia mengubah semua itu dengan tak hanya membantu organisasi-organisasi besar tetapi juga kegiatan seni dan olahraga yang digemari masyarakat.
“Hal ini mungkin dikarenakan olahraga favorit Nitisemito adalah sepak bola, seperti dilihat dari nama usahanya Bal Tiga,” tulis Sri Margana dalam buku Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya (2014).
Sementara, sayembara atau kuis yang hanya boleh diikuti konsumen kreteknya dengan hadiah sepeda, tiket pertunjukan, atau keramik buatan luar negeri, membuat Nitisemito dinilai turut mengubah gaya hidup masyarakat. Nitisemito juga menangguk untung besar dari mimpi masyarakat untuk memenangkan sayembara atau kuis Bal Tiga. Mimpi itu menjadi energi besar pendorong kenaikan angka penjualan kreteknya.
“Dengan cara-cara ini, masyarakat merasa mendapatkan kesempatan untuk menikmati modernitas secara langsung. Tidak semua mendapatkan sepeda, tidak semua juga bisa menonton pertunjukan, dan tidak semua dapat menikmati seduhan teh dalam cangkir porselen buatan Jepang, tetapi sudah dipastikan banyak yang bermimpi untuk meraih hadiah yang ditawarkan dari mengonsumsi kretek Bal Tiga,” tulis Margana menyimpulkan gambaran dari terobosan bentuk promosi Nitisemito.
Tak ada Djamhari
Saya bertanya-tanya, bagaimana Museum Kretek Kudus memosisikan sang penemu kretek, Djamhari? Di manakah koleksi museum yang menunjukkan sosoknya punya peran vital dalam masa awal penemuan kretek di Kudus? Pertanyaan itu saya cari jawabannya lewat sekira 1.195 koleksi yang dipamerkan secara apik di Museum Kretek Kudus. Namun, tampaknya usaha saya sia-sia. Novi hanya memberikan penjelasan singkat.
“Kretek ditemukan oleh Bapak Djamhari. Beliau adalah orang asli Kudus yang waktu itu punya riwayat sakit dada atau asma berkepanjangan,” ungkapnya.
Penjelasan itu tak berbeda dengan terbatasnya sumber tertulis yang mengisahkan secara utuh sosok Djamhari. Penemu kretek ini berbeda dari orang-orang kreatif lainnya, seolah dia ingin bersembunyi dari jasa besarnya bak para maha guru dalam cerita fiksi persilatan. “H. Djamhari bukan pendekar seperti itu. Sekali lagi dia seorang ‘penemu’ penting. Jadi jelas dia bukan tokoh imajiner seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Ki Ageng Pandan Alas, atau Rara ‘Wilis. Juga bukan Kiyai Gringsing yang sengaja bersembunyi di balik sejarah hidupnya sendiri,” bantah Mohamad Sobary dalam pengantar buku Djamhari Penemu Kretek: 100 Tahun Sejarah yang Terpendam dan Lika-Liku Pencarian Jejaknya (Edy Supratno, 2016).
Keyakinan budayawan nyentrik yang menulis disertasi Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung ini benar adanya. Edy Supratno, bersama timnya berhasil menyelesaikan penelitian ‘Mencari Djamhari’ melalui penelusuran panjang hingga ke Belanda. Akhirnya, keluarga dan pusara Djamhari ditemukkan keberadaannya. Bukan di Kudus tetapi jejak akhir hayatnya berada di Tasikmalaya. Dia meninggal pada 10 Juni 1962 di usia sekitar 90 tahun. “Dia bukan tokoh fiksi,” tutup Edy menyimpulkan hasil akhir penelitiannya.
Museum kretek swasta
Pengalaman di Museum Kretek Kudus berbeda dengan kunjungan saya ke House of Sampoerna. Museum kretek ini milik perusahaan rokok PT HM Sampoerna, berdiri di atas tanah seluas 1,5 hektar yang berada di Taman Sampoerna No.6, Krembangan Utara, Pabean Cantian, Surabaya. Bangunannya kental arsitektur era kolonial. Ada empat pilar raksasa berbentuk kretek di depan pintu masuk. Museum berlantai dua yang megah ini di sampingnya dilengkapi bangunan galeri seni rupa dan cafe. Lantai satu House of Sampoerna dibagi tiga ruangan, diperuntukkan untuk koleksi benda bersejarah. Sementara, lantai dua dipakai sebagai outlet kenang-kenangan.
Memasuki bekas panti asuhan yang direstorasi menjadi museum pada Oktober 2002 ini, aroma cengkeh dan tembakau langsung menusuk hidung. Memang, di sana ada banyak jenis cengkeh dan tembakau yang di tempatkan dalam keranjang terbuka. Apalagi ruangan tersebut tertutup dan memakai pendingin udara. Pantas saja, aroma kretek bagai pengharum ruangan alami.
Pemandu yang berseragam hitam-hitam menjelaskan pembagian ruangan di lantai satu, yaitu koleksi sejarah keluarga Lim Seeng Tee, pendiri perusahaan dan kegiatannya, serta benda-benda industri kretek. Ketiga ruangan ini saling terhubung dengan pintu di tengah tetapi uniknya berlantai lebih cekung. “Ini filosofinya agar rezeki kayak air hujan dari pabrik (ruang ketiga), biar nggak bablas keluar pintu lantainya dibuat cekung di tengah,” kata Eko, pemandu museum lulusan sebuah perguruan tinggi di Surabaya.
House of Sampoerna mempekerjakan sebelas pegawai inti dan dua puluh empat tenaga kontrak. Tak heran, perawatan dan tampilan koleksinya terlihat apik. Di ruangan pertama, pengunjung dapat melihat warung kelontong keluarga Lim Seeng Tee sebelum membuka usaha kretek serta benda koleksi pribadi seperti jam tangan, busana, dan buku-buku lawas yang masih terawat. Di situ juga berbagai jenis tembakau dan cengkeh dipamerkan dengan penataan bak di gudang pabrik kretek serta replika oven dari batu bata yang dipakai mengeringkan tembakau oleh petani di Lombok. “Display ini agar pengunjung merasakan sensasi industri kretek beneran,” ujarnya sembari mengajak ke ruangan berikutnya.
Ruangan kedua yang menarik ada enam potret board director direksi 2002-2005 yang tiga di antaranya berpose di meja kerja sembari memegang sebatang rokok dan enam potret board of commisoners komisaris 2002-2005 yang satu potret di antaranya juga memegang sebatang rokok, sisanya foto-foto kunjungan para tokoh nasional serta lukisan-lukisan.
Ruangan ketiga lebih luas dari ruangan pertama dan kedua. Di sana, yang menarik adalah koleksi mesin cetak bungkus rokok tua dan separangkat alat marching band milik Sampoerna lengkap dengan seragamnya. Dulu Marching Band ini berkekuatan 234 pekerja dan pernah ikut dalam Tournaments of Roses di Pasadena, California, Amerika Serikat. “Mereka memenangkan The International Trophy,” ujarnya.
House of Sampoerna yang dikelola sekitar sepuluh karyawan ini memang lengkap. Koleksinya banyak dan ditampilkan dengan apik, ruangannya nyaman, dan pemandunya cekatan. Merasakan itu semua, membuat saya menayakan apa pesan House of Sampoerna yang ingin disampaikan kepada pengunjungnya. “Kami ingin menyampaikan nilai-nilai enterpreneur dan semangat pendiri Sampoerna, Lim Seeng Tee. Dia yatim piatu yang dari nol berusaha dan berhasil membuat pabrik yang luar biasa. Bukan pada koleksi (benda sejarahnya) tapi cerita di balik koleksinya,” terangnya.
Belajar dari Bilbao Effect
Museum Kretek Kudus dilengkapi dengan wahana bermain anak berupa permainan air, mandi bola, dan bioskop mini. Wahana yang dibangun tahun 2007 itu dimaksudkan untuk menarik animo kunjungan masyarakat. Anggaran yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten Kudus sebesar Rp 500 juta. Sebagian besar dipakai pengelola museum untuk operasional wahana-wahana tersebut.
Namun, wahana bermain anak itu tampaknya tidak mampu menjadi magnet yang ampuh bagi museum. Selama delapan tahun terakhir, kunjungan terbesar terjadi pada 2016 dengan jumlah hanya 125.663 orang dengan menyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) sekitar Rp 400 juta. Tercatat kategori pengunjung umum lebih besar dibanding anak sekolah.Meski kecil, pengelola bisa membusungkan data karena catatan itu lebih baik dari museum lain di Kudus, yaitu Pati Ayam.
Jika melihat data kunjungan House of Sampoerna, berbeda jauh kondisinya. Museum yang terpilih sebagai Top 10 Museum di Indonesia sejak 2013 hingga 2016 dari Trip Advisor dan Top Choice Destinations dari organisasi di China sejak 2012 ini dikunjungi rata-rata 17.000 perngunjung per bulan dari lebih 155 negara. Pencapain itu sekaligus membuktikan House Of Sampoerna lebih populer dari 4 museum lain di Kota Surabaya.“Sebagian besar pengunjung, atau lebih dari 90%, adalah dari kategori keluarga,” ungkap Rani Anggraini, manajer dan pemasaran House of Sampoerna sembari menjelaskan selebihnya pengunjung dari korporasi, mahasiswa, pelaku wisata dan komunitas.
Ahli museologi, Apriadi Ujiarso, menilai cara pandang pengelola museum kretek masih konvensional. Museum dilabeli berhasil semata ketika mendatangkan banyak pengunjung. Padahal, museum yang baik mampu berkontribusi terhadap masyarakat di sekitarnya. “Dia (pengelola museum) tidak tahu caranya menghitung bahwa investasi yang dilakukan itu sudah BEP (Break Event Point) atau belum. Satu-satunya museum yang diakui BEP dan menghidupi sebuah kota yang kemarin bangkrut adalah Museum Guggenheim Bilbao, dalam waktu enam tahun mengatakan investasi yang dilakukannya berhasil,” katanya membuka obrolan di kediamannya suatu petang.
Awal tahun 90-an, Kota Bilbao, Spanyol, menghadapi bayang-bayang kebangkrutan. Tingkat pengangguran tinggi mencapai 25% membuat suasana kota menjadi muram. Pemerintah Kota Bilbao menyewa arsitek termahal di dunia, Frank O’ Gerry untuk mengubah citra kota. Salah satu tugasnya adalah proyek gila membangun Museum Guggenheim Bilbao dengan menghabiskan total biaya 100 juta dolar.
Tahun 1997, Guggenheim mulai dibangun dengan diiringai cibiran dari berbagai kalangan. Tahun 1998, museum selesai dibangun dan di tahun pertamanya telah mampu menarik 1,3 juta pengunjung. Dalam kurun waktu antara 1998-2000, Kota Bilbao mendapatkan tambahan PAD dari rata-rata tahun sebelumnya mencapai 400 juta dolar. Museum ini telah dikunjungi lebih dari 10 juta wisatawan pada tahun keenam. Guggenheim mampu menciptakan Bilbao Effect. Museum yang seharusnya non-profit secara instan bisa menjadi economic generator bagi kota tempat dibangun.
Apriadi menyarankan museum kretek belajar dari Bilbao Effect. Pengelola harus menetapkan di awal tujuan didirikannya museum. Dia mencontohkan tujuan museum untuk edukasi. Pengetahuan tembakau Indonesia adalah komoditas unggulan yang ditunggu-tunggu pasar internasional di Bremen, Jerman. Industri berbasis tembakau juga membutuhkan grader (pemilah rasa) dan sarjana teknik lulusan perguruan tinggi. Pengetahuan itu bisa diulas lewat video dokudrama atau dokumenter.
Edukasi ini bakal mendorong generasi muda memiliki kebanggan dan cita-cita menjadi tenaga ahli di industri berbasis tembakau. “Itu bisa dihitung, anak Kudus yang ambil teknik kimia tahun ini di universitas-universitas berapa orang. Kalau dia tidak bisa hitung memang dia tidak punya tujuan,” terangnya sembari menegaskan itu bagian regenerasi agar industri berbasis tembakau tetap berlanjut di tangan anak bangsa.
Museum selain sebagai ruang pamer juga harus dijaga denyutnya dengan pameran temporer lewat event yang berhubungan langsung dengan koleksi. Jika tidak mengelola event temporer maka masyarakat akan lupa. Event–event itu bukan hanya media promosi, tetapi menunjukkan museum bekerja, memikirkan bagaimana tetap eksis. Hasil penelitian Mencari Djamhari yang sudah dibukukan, kisah pendiri industri kretek di luar Notosemito, kisah para pelinting, dan grader, bisa dimanfaatkan Museum Kretek Kudus sebagai data untuk pameran temporer.
Jalan tengah hadapi kaum anti-rokok
“Wah, kamu masih berani merokok?”
“Lha, emangnya kenapa?”
“Itu lihat gambar dan peringatan di bungkusnya. Ngeri.”
“Ngawur! Ini kan merokok ‘dapat’, kalau aku kan ‘beli’, jadi nggak pengaruh.”
Kelakar di atas kerap saya dengar di berbagai tongkrongan mahasiswa. Para perokok yang sering digelari ahli hisap jika diganggu kenikmatannya membela diri dengan guyonan khas itu. Meski garing tapi jawaban demikian tetap memantik tawa dan mencairkan suasana.
Museum kretek juga harus memiliki jalan tengah menghadapi kampanye anti-rokok di masyarakat. Namun, museum tidak mengedukasi dampak rokok terhadap kesehatan layaknya dokter dengan segala data penyakit mengerikan. Museum menunjukkan artefak-artefak bentuk peringatan bahaya rokok dari pemerintah. Artefak itu kemudian diperjelas lewat poster atau aplikasi interaktif yang menampilkan perancang, tahun dikeluarkan Departemen Kesehatan dan pilihan jenis font untuk peringatan itu. “Bisa juga museum menambahkan video joke tanggapan dari masyarakat,” tambahnya.
Meski mengambil posisi netral menghadapi kaum anti-rokok, Apriadi mengingatkan museum kretek tak lantas melupakan perannya sebagai peneguh rasa kebangsaan.Museum kretek lewat epilog kunjungan harus menyisipkan pesan agar masyarakat mendukung keberlanjutan industri berbasis tembakau yang menghidupi banyak buruh dan petani. Epilog itu wujudnya mengingatkan pengunjung sebelum pulang jika industri berbasis tembakau harus dikelola anak bangsa sendiri. “Saya pikir museum harus begitu (ideologis). Kecuali ingin menjadikan anak bangsa ini semua jadi kuli tapi bukan ahli, (epilognya) tutup saja industri berbasis tembakau,” tegasnya.
Tengah malam sudah lewat. Saya berpamitan pada lulusan museologi Universitas Gadjah Mada ini dan keluarganya. Sambil berjalan pulang, dalam hati saya meyakini, bahwa benar adanya jika museum kretek penting eksistensinya. Museum sebagai jembatan pengetahuan generasi muda. Di sana mengabadi sejarah kretek, sejarah bisnis harga diri, sejarah enterpreneurship melawan stigma bangsa kuli dari kolonial.
__________
Catatan: Tulisan ini pernah diunggah di brilio.net.