Beberapa waktu lalu, temen saya, Farida Ulvi, mengikuti kursus Metodologi Musyawarah Keagamaan Kader Ulama Perempuan (KUPI) di Cirebon. Karena saya kepo, maka saya buka beranda Facebooknya dan saya menemukan tulisan apik ini, selamat membaca.
Sebelum Islam datang, kondisi perempuan adalah sebagai berikut:
1. Bayi wanita dikubur hidup hidup, setelah Islam datang perempuan dipastikan kemanusiannya dengan diseru eksistensinya secara mandiri dalam al-Qur’an.
2. Perempuan bisa diwariskan, setelah Islam datang perempuan bisa mewarisi dan dipastikan bagian warisnya
3. Perempuan bisa dipoligami tanpa batas, setelah Islam datang tradisi ini dibatasi sampai 4 sebagai target antara dengan syarat adil, dan sambil diingatkan bahwa adil pada istri itu sulit, di mana target finalnya adalah beristri 1 sekaligus adil.
Jikapun diterima, perempuan masa Jahiliyah dipandang sebagai barang, bukan sebagai manusia yg bermartabat. Ia bisa diceraikan dengan semena mena, digantung statusnya tanpa dicerai atau tetap dalam pernikahan, dijadikan jaminan hutang, dihadiahkan kepada para tamu, dan tidak diberikan peran dalam urusan sosial.
Sayyidina Umar pernah mengatakan: “Dulu masa Jahiliyah, kami tidak memperhitungkan perempuan sama sekali, setelah Islam datang Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.”
Pada masa Rasulullah, banyak riwayat terkait perempuan beraktivitas di ruang publik, masjid khususnya, ia banyak didatangi perempuan baik untuk beribadah, pengajian maupun pertemuan umum.
Misalnya: Fathimah binti Qays, seorang sahabat perempuan yang selalu hadir lebih awal di Masjid baik untuk Sholat, pembelajaran maupun tujuan lain (Shahih Muslim, no.7574). Ummu Salamah ketika mendengar seruan:
“Ya Ayyuhaā an-Nās, beliau bergegas bangkit menuju Masjid (Shahih Muslim 6114-6115), yang terekam spektakuler adalah perkataan beliau yang mengatakan “wa ana min an-Nās.” Sungguh kesadaran tinggi sebagai manusia seutuhnya.
Sayyidah Asma’ binti Abu Bakr juga menceritakan kebiasaan perempuan mengikuti sholat gerhana (Shahih Bukhari, no. 184), Amrah binti Abdurrahman dan Ummu Hisyam binti Harithah kebiasaan mereka hadir dan mendengar khotbah Jum’at (Shahih Muslim, no. 2052)
Ahmad Syauqi dalam penggalan puisinya mengatakan: Baghdād dār al-‘Ālimāt wa manzil al-Muta’addibāt Wa Dimasyq tahta Umayyah Umm al-Jawari an-Nābighāt (Baghdad adalah rumah perempuan perempuan terpelajar, yang belajar sastra. Damaskus zaman Umayyah adalah ibu perempuan cendekia).
Puisi tersebut nampak menggambarkan fenomena di kota pusat peradaban dunia saat itu yaitu Baghdad dan Damaskus, yang memperlihatkan aktivitas perempuan di ruang publik.
Sedangkan kebangkitan perempuan Indonesia dalam dinamika sejarah misalnya:
1. Munculnya kebijakan etis kolonial melalui pembukaan sekolah modern perempuan, dalam rangka memenuhi kebutuhan strategis pemerintah kolonial seperti juri catat di perkebunan, menciptakan nyonya bumiputra yang pandai merajut, berdandan modern, bisa baca tulis dan sedikit berbahasa Belanda dalam rangka membangun keluarga bumiputra kolonial.
2. Perempuan menyuarakan Nasionalisme seperti St. Sundari(wartawan Swara Pacitan) yang berpidato di Kongres Soempah Pemoeda. Organisasi- organisasi perempuan Hindia Belanda menyelenggarakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta dengan tema sentral konsolidasi perempuan dalam mewujudkan perjuangan yang lebih besar, yaitu memerdekakan Indonesia.
3. Masa “Mengikuti Suami”. Masa ini adalah masa penghancuran gerakan perempuan dengan hanya mengizinkan menjalankan program Nasional seperti KB, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Sedangkan perempuan non istri PNS diarahkan aktif PKK, posyandu dsb. Dikemaslah idelogi peran tersebut dalam Panca Dharma Wanita dan kaum perempuan dikontrol oleh suami atau pejabat negara.
4. Munculnya LSM perempuan dengan kegiatan pengembangan ekonomi hingga mengangkat kembali hak pilih bagi perempuan untuk keterwakilan perempuan di Parlemen. Dikalangan mahasiswa, mulai tumbuh subur mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap dalam praktik perjuangannya.
5. Periode 30% keterwakilan perempuan di Parlemen dalam Affirmatif action.
6. Adanya penguasaan SDA yang melahirkan petani yang kehilangan kebutuhan hidup sehari hari. Sementara perempuan menjadi buruh yang mengalami ekspolitasi waktu dan tenaganya. Akibatnya, muncul perlawanan buruh, nelayan, kaum miskin kota terhadap perusahaan yang mengeksploitasinya.
Hari ini, munculnya kebangkitan Ulama Perempuan ditandai dengan lahirnya:
1. JP3M (Jam’iyyah Putri Pengasuh Pesantren dan Muballigah) pada Tahun 2015, sebuah organisasi yang menyatukan visi misi antar Nyai pengasuh Pesantren.
2. Tahun 2017, terselenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia(KUPI) di Cirebon Jawa Barat. Para Ulama membahas radikalisme agama, diskriminasi, kebodohan, lingkungan hidup, eksploitasi kekerasan hingga pembangunan berkeadilan.
3. Tahun 2019, terselenggara Silaturahmi Nasional Ibu Nyai Nusantara. Ratusan Nyai dari 12 Provinsi hadir dalam rangka merumuskan visi bersama guna memajukan peran Ibu Nyai dari kalangan NU.
Tokoh tokoh kalangan ini seperti: Nyai Badriyah Fayumi (Pengasuh PP. Mahasina Bekasi), Mahaguru Nyai Nur Rofi’ah Jakarta (Dosen PTIQ Jakarta dan pengasuh KGI), Nyai Sinta Nuriyah, Ning Alisa Wahid, Nyai Hindun Anisa Jepara dan lain sebagainya.
Wa akhiron, dalam penggalan puisi al Haddad dalam Imra’atuna as-Syari’ah wa al Mujtama’ yang diterjemah dengan indah oleh buya Husain Muhammad disebutkan:
Perempuan adalah ibu manusia. Dialah yang mengandung di dalam perutnya dan mendekapnya dalam pelukannya. Lalu, diakah yang menyusui dan memberi makan dari darah dan hatinya.
Perempuan adalah separuh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan. Bila kita merendahkannya, itulah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri sendiri.
Bila kita mencintai dan menghormatinya serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itulah bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan atas eksistensi kita sendiri.
* Ditulis oleh Farida Ulvi Na’imah, Dosen IKHAC Mojokerto.