Ngaostik memang ruang syahdu yang tak pernah menemui titik. Hampir di setiap pergelarannya, selalu ada rindu yang dikulik, tawa yang menggelitik hingga cinta yang terpantik. Pada Ngaostik Festival ke-7 yang dihelat pada malam, 20 Oktober 2018 kemarin, tema yang diusung adalah kenangan. Hemmmm
Matahari belum sepenuhnya terbenam ketika kru Ngaostik mulai angkat-angkat perlengkapan, mempersiapkan venue hingga menata properti pertunjukan. Beda dengan Ngaostik sebelumnya. Pada Ngaostik 7 ini, Ngaositizen tidak bergerak sendiri. Mereka bekerjasama dengan Kombet Kreatif (lulusan program Bekraf bekerjasama dengan Tempo Institut).
Sehingga, tidak hanya penampilan musik dan pembacaan puisi seperti biasa. Ngaostik yang digelar di belakang parkir gedung Pusat Pengembangan Industri Kreatif (PPIK) Bojonegoro itu juga diwarnai berbagai pameran hasil karya insan kreatif.
Bukan Ngaostik jika tidak ada sesuatu yang unik. Meski bertema kenangan yang secara otomatis mengulik-ulik perasaan, kru Ngaostik justru berdandan layaknya para bajak laut. Hampir semua kru inti memakai topi jerami layaknya Monkey D Luffy. Hemmm… Absurd sekali.
Yang unik dan khas di Ngaostik adalah MC yang dinamis. MC tidak formal yang tiba-tiba datang di tengah perhelatan. Hanya di Ngaostik, audiens bisa disulap jadi MC dan MC bisa disulap jadi penampil. Dan itulah keunikan Ngaostik. Bahkan, di Ngaostik 7 kemarin, beberapa audiens bisa jadi MC sekaligus penampil. Dan itu biasa saja.
Meski terkesan awut-awutan dan tidak pakem pada aturan, Ngaostik berjalan sangat lancar. Sebab, di Ngaostik, semua diatur dengan baik. Bahkan, ketidakteraturan adalah aturan itu sendiri. Sehingga, acara tetap berjalan sesuai koridor yang runtut dan terencana. Itulah keistimewaannya.
Aa. Feriyanto, Agung Ridwan, Faizal Insani, Andri Mangsi, Ferly Arvidia hingga Andre Oktavian benar-benar maksimal menyelenggarakan acara. Ngaostik 7 mampu dikendalikan dengan sangat syahdu.
Meski didominasi anak muda sebagai penakdir acara, sejumlah dedengkot Ngaostik seperti Chusnul Chotimmah, Mohamad Tohir, Alfian Chondro, Arizka Nurrochma hingga Danial Arifudin juga turut menyingsingkan lengan baju ke panggung.
Pembacaan puisi mampu selang-seling berpadu dengan guyonan ala Ngaostik. Syahdu-sedih dan tawa-nakal khas para bajak laut pun saling berpadu membingkai panggung.
Setelah momen guyonan yang mampu membikin terhibur para audiens, seperti biasa, beberapa artis Ngaostik naik panggung. Duo Adityo dan Bagus Hendy menggeber panggung Ngaostik dengan lagu-lagu era 90-an. Tentu saja, mereka berdua mampu melempar para audiens ke zaman kaset pita dan mobil tamiya.
Dengan gaya khas Jim Morrison, Ditto menyayat-nyayat senar gitar dengan penuh semangat dan berdedikasi tinggi. Malam itu, Ditto tampil sangat elegan. Tidak hanya Ditto, Hendy yang berada di dekatnya juga mirip John Lennon. Ditto-Hendy mampu mengorkestra hati para penonton hingga lupa bahwa malam itu adalah malam Minggu.
Tidak kalah dari penampil sebelumnya, duet Radinal Ramadhana bersama Widya Septyaningrum mampu menghadirkan hujan kenangan disertai badai. Tak sedikit penonton yang harus berteduh dan melindungi kepala mereka dari hujaman rasa syahdu. Pada momen itu, tampak airmata tergenang di mana-mana. Bahkan ada pula yang menyembunyikan airmatanya di dalam tas.
Radinal dan Widya membawakan dua lagu sakral berjudul Waktu Yang Salah (Fiersa Besari) dan Sampai Jadi Debu (Banda Neira). Lagu yang cukup diucapkan judulnya saja sudah membikin menangis itu dinyanyikan dengan penuh improvisasi. Hujan airmata pun tak bisa dihindari.
Terimakasih Ngaostik, telah menghadirkan bukit pepohonan hijau di tengah Bojonegoro yang tandus.
Tabik.