Sebuah Catatan Ngelantur
SAYA masih terkagum-kagum dengan orang-orang yang memiliki sesuatu yang melebihi usianya sendiri. Meski sudah pergi dari dunia fana ini, namun karyanya enggak. Salah satunya Joko Bibit Santoso yang salah satu karyanya bakal dipentaskan oleh kelompok teater di Bojonegoro, Jumat dan Sabtu (19 dan 20 Januari) malam besok. Tajuknya satu malam dua pertunjukan, maksudnya ada dua pertunjukan dalam semalam dan itu berlangsung dua malam. Jadi kalau Anda enggak bisa menyaksikan Jumat, ya Sabtunya. Dua pertunjukan itu adalah Jaga Malem oleh Teater Parkir dan Ning Ndi Neh oleh Teater Giri. NB: Satu tiket untuk satu pertunjukan lho.
Saat menyaksikan pertunjukan Jaga Malem yang dipentaskan oleh sebuah kelompok Teater asal Pekalongan di Solo setahun lalu, saya tak sepenuhnya bisa memahami sebab saya mengantuk. Kali ini saya enggak ingin demikian. Saya harus mempersiapkan diri agar enggak melewatkan momen itu.
Entah mengapa saya selalu merasa bahwa menonton teater di kota kecil ini rasanya istimewa. Setiap kali bertemu kawan di kedai-kedai kopi, selalu saja ada cerita yang jadi sambilan minum. Cerita itu macam-macam, dari soal politik, agama, film, sampai jodoh. Yang enggak ada adalah tentang teater. Rasanya menyedihkan, kami enggak bisa membahas teater. Itu bukan karena apa-apa, hanya karena jarangnya nonton teater. Selain karena pertunjukan teater di kota kami yang sepertinya jarang, juga hampir tak ada di antara kami yang betah nonton teater. Konon membutuhkan ketahanan ekstra untuk nonton teater melebihi saat membaca buku atau menonton film yang kerapkali kena serangan kantuk.
Saya tak tahu, mengapa rasa kantuk kerapkali datang di saat-saat yang semestinya orang harus menggunakan semua konsentrasinya pada satu subjek tertentu. Sepertinya setan tengah berkerumun dan berkomproni menjilat-jilatkan lidahnya di kepala dan menarik bulu-bulu mata agar kita takluk. Tapi itu alasan yang sepertinya karap saya buat-buat sendiri; terlalu mudah menyalahkan setan dan segala di luar diri sendiri. Padahal kita semua tahu bahwa semua itu adalah perang dan butuh persiapan dan strategi masak-masak dalam sebuah pertempuran. Siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang bikin persiapan?
Saya terlalu ngelantur.
Saya tengah minum STMJ saat menulis catatan ini agar badan bugar. Agar enggak ngantuk saat nonton teater. Konon, Jaga Malem bercerita tentang cara menjaga kebugaran; kebugaran jiwa dan raga, agar bisa mengulurkan tangan pada sesama yang membutuhkan uluran. Agar bisa menjaga keselarasan kemanusiaan yang bengkok. Agar bisa menjaga diri dari serangan-serangan ke dalam jiwa manusia. Begitulah.
Penulis: Radinal Ramadhana