Normal Baru dan Restart Pembangunan Bojonegoro

Ilustrasi pembangunan jalan di Bojonegoro

Pandemi global Covid-19 atau virus korona tak hanya berdampak sangat serius bagi kesehatan umat manusia, namun juga kelangsungan seluruh sendi-sendi umat manusia. Selain dampak ekonomi yang secara langsung terlihat kontraksinya, pandemi global Covid-19 juga mengubah secara frontal dan drastis tata cara manusia dalam bernegara (baca: mengelola negara), bersosial, beragama, bahkan berkomunikasi, baik secara individual, antar-individu, antar-kelompok, hingga antar-organisasi.

Perubahan perilaku dan kehidupan manusia saat ini, beberapa bulan setelah pandemi global ini berlangsung, baik secara ekonomi (homo economicus), politik (homo politicus), sosial (homo socius), berkebudayaan (homo ludens), hingga beragama (homo religius) merupakan bentuk wujud penerimaan (acceptance) atau penyesuaian diri manusia akan virulensi korona, sebagaimana disinyalir oleh filosof Slavoj Zizek dalam bukunya yang berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes the World (2020).

Dalam bukunya yang sangat terkenal, Zizek memetakan lima tahapan reaksi masyarakat dunia terhadap virulensi korona yang menjangkiti seluruh sendi kehidupan manusia. Lima tahap itu, sebagaimana dikutip Kukuh Y.K. (Jawa Pos, 29 Mei 2020), terdiri dari (a) penyangkalan (denial), yang ini terlihat dari bagaimana reaksi publik (dan negara) yang awalnya menyatakan korona adalah efek dari dramatisasi media.

Kemudian, (b) kemarahan (anger), adanya kesadaran bahwa ternyata virus tersebut begitu dekat dan nyata, bahkan tetangga kita pun terpapar. Lalu, (c) tawar menawar (bargaining), pada fase ini kita mulai menyadari bahayanya dan mencoba merespons dengan memperlambat atau bahasa kini memutus mata rantai virus. Lantas, (d) fase depresi (depression), merasa putus asa akan meluasnya virus; dan (e) penerimaan (acceptance), fase di mana kita mulai menyadari bahwa, selama belum ditemukan vaksin yang ampuh melawa virus korona, mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus hidup harmoni (living harmony), hidup berdampingan dengan covid-19, yang di kemudian hari dikenal sebagai kenormalan baru (new normal).

Sebagaimana dijelaskan di bagian atas, pandemi global mengubah tata cara hidup dan kehidupan manusia baik sebagai bentuk bargaining maupun acceptance terhadap virulensi korona. Di antaranya adalah perubahan dalam bernegara, dalam sudut pandang administrasi negara/publik. Tak hanya di pemerintah pusat yang mengubah orientasi perencanaan dan keuangan dalam pengelolaan negara (refocusing), namun juga pemerintah daerah.

Di Kabupaten Bojonegoro, Pemkab dan DPRD juga melakukan refocusing anggaran hingga dalam jumlah yang tidak sedikit. Anggaran covid-19 Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dari hasil refocusing mencapai Rp 851 miliar. Hingga pertengahan Juni (sampai artikel ini ditulis) serapan seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) mencapai Rp 106 miliar, sehingga masih tersisa Rp 745 miliar. Besaran anggaran refocusing dititikberatkan pada sektor kesehatan, jaminan pengaman sosial, dan bantuan terdampak (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 18 Juni 2020).

Baca Juga:  Cukup Saja Belum Cukup dan Cara Bahagia Sederhana

Minimnya Serapan Anggaran

Selain memaksa daerah harus melakukan refocusing anggaran, pandemi global covid-19 juga memaksa pemerintah daerah untuk mengubah ritme kerja. Sebagaimana kita ketahui bersama, selama masa pandemi, mulai Maret hingga awal Juni ini, aparatur daerah sebagai eksekutor anggaran dipaksa bekerja dengan sistem work from home (WfH) yang tentu saja terbatas. Target dan capaian yang dibebankan bukan tidak mungkin meleset dengan alasan pandemi covid-19, yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai bencana non-alam.

Terbukti, serapan APBD Bojonegoro 2020 sebesar Rp 5,5 triliun hingga Juni baru terserap 18 persen, sebuah angka yang minim, mengingat Juni merupakan pertengahan tahun (semester). Postur APBD tahun ini antara belanja tidak langsung dan belanja langsung selisihnya tipis. Besaran belanja langsung Rp 1,8 triliun. Dengan rincian, belanja pegawai Rp 1,1 triliun serta PPKD (pejabat pengelola keuangan daerah) atau bendahara OPD Rp 1,7 triliun. PPKD itu anggaran untuk belanja hibah atau bantuan dari pemkab ke pihak lain. Termasuk anggaran tak terduga untuk penanganan Covid-19.

Sementara untuk belanja tidak langsung mencapai Rp 2,7 triliun. Rinciannya, belanja pegawai Rp 368 miliar, belanja barang dan jasa Rp 1 triliun, dan belanja modal Rp 1,3 triliun. Sesuai data realisasi serapan APBD, belanja tidak langsung dari Rp 2,8 triliun sudah terserap sekitar Rp 572 miliar atau sekitar 20 persen.

Di dalam belanja tidak langsung itu, serapan tinggi di belaja pegawai yakni Rp 1,1 triliun, sudah terserap Rp 398 miliar. Sedangkan PPKD dari Rp 1,7 triliun, baru terserap Rp 173 miliar atau 10 persen. Sehingga anggaran PPKD sampai saat ini masih tersisa sekitar Rp 1,5 triliun. Rendahnya serapan jelang akhir semester ini karena pandemi. (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 20 Juni 2020)

Terlepas masih minimnya serapan anggaran, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk cancut taliwandha, segera bertindak mengatasi minimnya serapan anggaran, dengan menggenjot program-program pembangunan. Apalagi, Pemerintah Pusat sudah memberikan lampu hijau untuk menerapkan kenormalan baru (new normal) dengan mengaktifkan kembali roda-roda perekonomian, melanjutkan program-program pembangunan, aktivitas keberagamaan dan sosial kembali longgar, tentu saja dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan yang ketat. Agar, perekonomian negara tidak semakin terkontraksi dan terpuruk.

Baca Juga:  Hidup Kembali ke Alam, Pilihan Paling Tepat di Era Semrawut Ini?

Ibaratnya, sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk memperdebatkan manakah yang lebih penting antara madzhab kesehatan, yang bertujuan akhir menjaga keselamatan jiwa manusia, dengan madzhab ekonomi, yang juga memiliki orientasi akhir menjaga kelangsungan hidup manusia dengan makan melalui aktivitas ekonomi (bekerja). Selama keduanya dapat disatupadukan, disandingkan, dengan tetap memperhatikan protokol yang ada, di sinilah sebenarnya makna hidup harmoni dengan covid-19 ini menemukan bentuknya.

Resolusi di Tengah Krisis

Dalam pandangan penulis, ada beberapa resolusi yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan (pemerintahan, elemen masyarakat, kalangan pengusaha, tokoh agama dan masyarakat, dan para pihak lainnya) dalam menjawab tantangan restart pembangunan masyarakat dalam menjaga tatanan kehidupan. Penulis memilih menggunakan perpektif komunikasi, lebih tepatnya komunikasi krisis dan administrasi publik.

Dari sudut pandang komunikasi krisis, sebagaimana dikatakan oleh Ulmer dkk (2007) dalam Puspitasari (2020), dalam situasi krisis seperti saat ini, pemerintah daerah sebagai organisasi, perlu mempertimbangkan untuk melakukan dua langkah. Pertama, akuntabilitas. Banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah dalam mengatasi dampak pandemi. Jumlahnya mencapai ratusan miliar dana yang sudah disalurkan kepada publik yang dititikberatkan pada sektor kesehatan, jaminan pengaman sosial, dan bantuan terdampak langsung. Menjadi penting bagi daerah untuk melakukan komunikasi secara terbuka atau transparan kepada publik untuk menambah keyakinan dan kepercayaan publik.

Akuntabilitas juga dapat dimaknai sebagai konsep kepemimpinan. Dalam artian, dalam situasi krisis seperti sekarang ini semua elit organisasi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dituntut untuk mempunyai tanggung jawab yang sama. Salah satunya adalah dengan mendorong dan melakukan laporan pertanggung jawaban yang disampaikan secara terbuka kepada publik sebagai wujud komunikasi terbuka dan kepada pihak pemangku kepantingan lainnya.

Kedua, kemitraan. Langkah ini dilakukan dengan adanya suatu kesadaran untuk membangun hubungan baik dengan para pemangku kepentingan yang ada. Bukan hanya sesama penyelanggara negara, melainkan juga kepada stakeholders lain, mulai swasta, media massa, perguruan tinggi, tokoh agama dan masyarakat, NGO, dan elemen lainnya. Kesadaran untuk menjalin kemitraan bersama ini dilandasi oleh sebuah kejernihan budi bahwa pandemi ini berdampak luas terhadap siapapun dan di manapun. Sehingga, penanganannya pun harus extraordinary.

Sementara dari perspektif administrasi negara/publik, hemat penulis, setidaknya ada tiga langkah yang mendesak dilakukan. Pertama, manajemen organisasi yang ketat dan disiplin. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, sejak pemerintah mengumumkan New Normal, ada kecenderungan ini dipahami sebagai “kebebasan yang baru”. Ketidakleluasaan yang dirasakan publik selama 2,5 bulan terakhir ini seolah menemukan keran kebebasannya. Tempat-tempat publik baik terminal, stasiun, pusat perbelanjaan, jalanan, dan sarana publik lainnya, pelan namun pasti mulai dipadati oleh publik. Masalahnya, kehidupan kenormalan baru tersebut acap kali tidak dibarengi dengan perilaku disiplin terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.

Baca Juga:  Ini Skenario Pemerintah Soal Pelaksanaan Normal Baru

Dalam titik inilah pemerintah daerah, sebagai administrator dalam penanganan publik, harus konsisten dan ketat menjaga dan mengedukasi publik melalui OPD kesehatan sebagai leadernya. Edukasi harus dilakukan secara terus menerus dan berjenjang, mulai level kabupaten hingga terkecil, yakni desa, bahkan jika mungkin sampai RT/RW.

Kedua, perencanaan anggaran pembangunan berbasis padat karya. Sebagaimana dikatakan pemerintah, pandemi global ini membuat angka pengangguran meningkat. Diprediksi, 5-10 persen rakyat Indonesia kehilangan pekerjaan. Jika memungkinkan, pemerintahan, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, perlu mulai memikirkan bahwa refocusing anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan pembangunan yang berbasis padat karya.

Pembahasan Perubahan APBD Bojonegoro 2020 yang dalam waktu dekat ini segera dilakukan menjadi momentum baik untuk membela kepentingan publik. Pengalokasian program pembangunan di sektor padat karya penting untuk meningkatkan daya beli publik. Jika daya publik pulih, lambat laun roda perekonomian daerah kembali menggeliat, dengan catatan tetap saja mengedepankan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin.

Ketiga, pengawasan berbasis kolektif. Ini titik yang paling krusial. Refocusing anggaran pada sektor padat karya atau melanjutkan kembali agenda pembangunan memicu pihak-pihak yang dapat saja bertindak koruptif. Pengawasan pembangunan berbasis kolektif mutlak dibutuhkan dengan cara melakukan sinergi antar aparat yudikatif, sebagai penegak hukum, dengan masyarakat sipil (NGO, media massa, organisasi kemasyarakatan (ormas)/organisasi kepemudaan (OKP), mahasiswa dan elemen masyarakat lain) sebagai pengawas pembangunan.

Pengawasan ini mutlak dibutuhkan, mengingat beberapa waktu lalu Presiden Jokowi jelas-jelas menegaskan tidak akan memberikan ampun dan toleransi, serta menghukum berat terhadap oknum-oknum yang tega memanfaatkan situasi pandemi covid-19. Dalam bahasa khasnya, Jokowi mengatakan akan “menggigit” para pengemplang uang negara di tengah pandemi. Sekiranya ini dapat kita lakukan bersama, bukan tidak mungkin kita dapat hidup harmoni, hidup berdampingan dengan covid-19: tetap sehat dan tetap sejahtera. Wallahua’lam. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *