Politik. Menyebut kata itu saja bisa membuat saya malas melanjutkan obrolan. Meski terkadang, sadar maupun tidak, saya tetap saja melakukannya. Namun, label atau bahkan hanya sematan kata politik terhadap lelaku yang sedang/telah saya lalui, bisa membuat saya merenung berhari-hari. Bukannya sok suci sih, tetapi, sesuai nama, saya memang titisan para Dewa.
Kesan negatif yang saya rasakan terhadap dunia politik tentu tidak lepas dari peran politisi lucknut yang bertebaran di jajaran Pemerintahan Indonesia. Seorang politisi korup yang baru sembuh dari penyakit imajinasinya, salah satunya. Dengan skill politik tingkat dewa, blio dapat dengan mudah lolos dari sedikitnya 5 kasus korupsi (yang terang-terangan dimuat di wikipedia) dan masih bisa menjabat sebagai supremasi wakil rakyat tingkat Nasional. Ruaarr biasa.
Saya akui, tidak semua politisi bejat dan korup. Banyak diantara mereka yang berpolitik untuk partai, eh, orang banyak, maksudnya. Dan salah satu tokoh politisi idaman tersebut adalah Norman Oppenheimer. Seorang tokoh fiktif, ya fiktif, dalam film Norman: The Moderate Rise and Tragic Fall of a New York Fixer. Sebuah film tahun 2016 garapan sutradara Joseph Cedar.
Dikisahkan Norman (Oppenheimer) bukanlah seseorang yang berprofesi sebagai politisi. Tokoh utama yang diperankan sangat baik oleh Richard Gere ini adalah seorang annonymous yang berpolitik dengan gaya yang sangat menyebalkan terhadap orang-orang yang ditemuinya.
Di sebuah toko sepatu, Norman bertemu Micha Eshel, seorang diplomat Israel yang memang dibuntutinya dari awal. Norman membelikan Micha sepasang sepatu, yang disebutnya sebagai sepatu termahal di Amerika. Ia menganggap sepatu itu adalah sebuah aset terbesar dalam hidupnya, simbol kekerabatannya dengan Micha yang pada akhirnya menjadi perdana menteri Israel.
Setelah pertemuan keduanya dengan Micha sebagai perdana menteri, Norman mulai dikenal oleh beberapa orang. Ia mulai mengembangkan jaringan dan membangun skema politik yang bertujuan untuk menolong semua orang yang ditemuinya. Ya, dia berpolitik untuk membantu orang-orang disekitarnya. Dia bahkan tak mengambil keuntungan dari orang-orang tersebut.
Memang tak banyak informasi pribadi terkait Norman di sini. Sutradara seolah membiarkan sosok Norman sebagai annonymous yang memang hobi melobi orang. Satu-satunya informasi pribadi tentang Norman adalah ia mempunyai seorang keponakan yang bernama Phillip Cohen (diperankan oleh Michael Sheen). Phillip juga merupakan salah seorang yang diuntungkan oleh laku politik Norman.
Jurus lobi yang dilancarkan Norman tidak selalu berjalan mulus. Malah bisa dibilang ia adalah seorang yang payah dalam berpolitik. Ia orang yang banyak berbicara. Dan bicaranya pun dipenuhi dengan hal-hal yang berbau kebohongan. Hal itu membuatnya kerap dipandang skeptis oleh orang-orang yang ditemuinya.
Dari sudut pandang perfilman, film Norman bisa dibilang film bagus. Artinya tidak bagus banget. Mulai sudut pandang cerita, sinematografi, maupun peran tidak terlalu istimewa. Yang cukup bisa diperhitungkan di sini adalah Richar Gere sebagai pemeran Norman. Memang pengalamannya sebagai aktor senior selalu berbicara.
Yang menjadi spesial dari film Norman adalah pesan moralnya terhadap dunia politik. Pesan tersebut mengingatkan saya terhadap teori klasik Aristoteles mengenai politik: “Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.”
Film Norman seolah mengembalikan kepercayaan saya terhadap tokoh-tokoh politik di Indonesia. Dan saya sebagai pemuda Indonesia akan senantiasa berpartisipasi dalam dunia politik untuk bisa membantu mewujudkan mimpi-mimpi Nasionalisme. Sebagai sebuah bangsa yang maju dan bersatu…
Maaf, barusan saya ngomong apa ya?