Bengawan Solo tak sekadar sungai terpanjang di Pulau Jawa yang kemudian Gesang mempopulerkan lewat lagu Bengawan Solo. Tapi, bagi warga sekitar nggawan, begi biasa kami menyebutnya, adalah kesatuan hidup yang tak bisa dipisahkan dari pengalaman. Meski banjir sering selalu datang hampir tiap tahun, tapi warga sekitar tetap mencintai nggawan.
Saya adalah salah satu orang yang hidup di pinggir sungai tersebut. Banyak hal yang tak terlupakan dalam keseharian sejak kecil hingga sekarang. Pada tahun 90-an, kalau nggak salah ingat mulai kelas 2 SD sudah belajar berenang walaupun dengan terpaksa.
Waktu itu, mandi di sungai Bengawan Solo bersama teman-teman sepermainan adalah aktivitas sehari-hari. Melihat mereka yang lebih dewasa mahir berenang, saya minta diajari. Masih sangat ingat caranya sampai saat ini. Yakni diajak ke tengah, saat kaki tak bisa berpijak tangan pun dilepaskan. Dengan berusaha sekuat tenaga agar tidak tenggelam, waktu itu modalnya hanya satu, yakni percaya alias yakin saja.
Sebab, di dalam pikiran sudah tertanam keyakinan tidak akan mati tenggelam saat belajar berenang, karena pasti ditolong. Dengan kebiasaan kaki tak berpijak, dan terus bergerak menyibak-nyibak di dalam air dibantu dengan tangan yang sesekali bergerak untuk menyeimbangkan badan, akhirnya bisa tetap terapung tenang meski di tengah bengawan. Bahkan bisa tiduran dengan tenang di air, hanya tampak bagian mata, hidung dan mulut saja di permukaan.
Sejak saat itulah, bengawan menjadi tempat yang asyik untuk mandi dan bermain. Hampir setiap saat, mandi di bengawan. Sebelum berangkat ke sekolah, siang hari panas, dan sore hari saat mengaji atau setelah main sepak bola dan main layangan pasti beramai-ramai main di bengawan. Kecuali saat banjir, cukup di kali dengan main rakit saja. Atau ketika sudah surut, biasanya membuat prosotan atau seluncuran di tepi bengawan yang masih berlumpur basah.
Bengawan menjadi tempat yang lebih menyenangkan, saat ada pasir di tengahnya ketika musim kemarau atau orang biasa menyebutnya nggisik. Saat belum tampak, biasanya dengan membawa kayu berenang sambil menjejaki. Setelah menginjak pasir, baru ditandai dengan kayu. Pada saat sudah tampak, pasti menjadi tempat seru untuk bermain pasir ataupun sepak bola di sana.
Kadang, saat mandi juga mencari kijing atau kerang dengan cara meraba-raba pakai ujung kaki. Saat menyentuh kulit kerang, langsung menyelam dan mengambilnya menggunakan tangan. Hasilnya kadang dibawa pulang atau untuk mainan dengan dilemparkan di atas bengawan, biasanya memantul sampai beberapa kali di atas permukaan.
Pernah juga saat mencari kerang itu, tak sengaja jempol kaki menyenggol dua kerang di dalam tanah bercampur pasir, kemudian menyelaminya. Saat membawa ke permukaan, anehnya di antara dua kerang yang ada di genggaman itu terdapat satu koin uang kuno. Entah berapa angkanya lupa, sebab waktu itu merasa aneh dan takut terjadi apa-apa, akhirnya tidak jadi membawa pulang dan mengembalikannya ke tempat semula.
Suasana Bengawan dulu selalu hidup, dan seakan segala keinginan masa kecil dulu lebih banyak diperoleh dari bengawan. Musim penghujan, biasanya permukaan menjadi tinggi dan membawa sampah-sampah. Seperti menjadi berkah, warga berlomba-lomba mencari kayu untuk dibawa pulang.
Anak-anak tak mau kalah, sambil membantu mengambil kayu, sering juga mendapatkan mainan-mainan dari sungai. Seperti mobil-mobilan, robot, lego, kepingan yang tampak tiga gambar berbeda atau dulu dikenal tiga dimensi, sampai makanan dan minuman kadang juga sering muncul.
Tak hanya itu, saat ikan-ikan mabuk atau orang menyebutnya Munggut, sejak usai subuh tepian bengawan sudah banyak orang yang berburu ikan dengan berbagai peralatan. Kadang berlangsung sampai siang hari masih banyak yang berburu ikan. Padahal sudah banyak yang didapatkan kalaupun untuk sekadar lauk tak habis dimasak untuk 3 hari.
Meskipun mengasyikan, namun di bengawan juga tak lepas dari bahaya. Pernah di tengah hari saat sepi orang, hanya berdua dengan teman mancing di bengawan yang tepiannya masih berlumpur setelah banjir. Saat hendak berdiri, tiba-tiba terpeselet dan jatuh. Beruntung badan yang masih kecil di tidak terhisap di lingkaran yang berputar-putar di tepi, karena langsung berpegangan pada ganggang pancing dari bambu yang diberikan oleh teman dan ditariknya. Akhirnya pulang dengan badan penuh lumpur.
Tak hanya itu, pada saat kemarau sedang menjelajah tengah bengawan yang ada pasirnya, pernah terseret arus pasir. Sebab, diujung pasir di dalam air ketika longsor pasti akan langsung menyeret seperti menghisap pasir-pasir berikutnya.
Anak-Anak di Bengawan
Pengalaman yang paling parah, saat duduk di bangku kelas 2 SMP. Pada pagi hari itu, biasa bersama teman-teman menjelajah pasir di tengah bengawan. Teledornya, keponakan yang masih kecil belum bisa berenang ditinggal bersama temannya mandi di tepi bengawan yang airnya tenang.
Kepanikan terjadi saat temannya minta tolong, kemudian beramai orang-orang mencarinya sambil menyelam. Lebih dari 5 menit kalau tidak salah, beruntung bisa segera ditemukan. Setelah dadanya ditekan-tekan dan badannya dibalik, banyak air dari keluar mulut dan hidungnya. Akhirnya bisa diselamatkan dan mendapat pertolongan. Sehingga bisa melanjutkan kehidupan sampai saat ini.
Sejak saat itu, bengawan sepertinya tak seramai dulu lagi. Orang tua pasti akan memarahi anaknya jika mau ke bengawan. Kalaupun ada yang main, hanya sekadar mandi biasa dan tidak berani lama-lama di sana.
Saya sendiri setelah lulus SMP sampai duduk di bangku kuliah, kadang masih sempat mandi di bengawan. Biasanya selesai membantu orang tua mencangkul di sawah, menanam padik atau panen, kadang juga usai mencari pakan sapi atau membantu memandikan sapi juga di bengawan. Meskipun tak sesering saat masih kecil.
Saat ini, hanya bisa sekadar melihat saja kondisi bengawan yang sepi dari aktifitas anak-anak. Hanya perahu-perahu yang tampak hidup dengan aktifitas tambang pasirnya.
Meski sudah tak pernah mandi lagi di bengawan, namun ada pengalaman yang menarik juga yang tak pernah mungkin bisa lupa. Yakni pada saat Festival Bengawan tahun 2015, mengajak istri yang perutnya sudah besar untuk menonton acara tersebut. Karena saking padatnya penonton di tempat strategis, akhirnya sambil ngrusuk-ngrusuk di bawah pepohonan bambu, bersama-sama nonton puluhan perahu yang akan finnish di Taman Bengawan Solo.
Malam hari setelah pulang, kemudian periksa kandungan. Oleh bidan diminta untuk langsung periksa di rumah sakit. Keesokan harinya, niatnya untuk periksa, ternyata diminta untuk melahirkan dengan cara operasi. Alhamdulillah dua putra hadir di dunia dengan selamat.
Sebelum puasa kemarin, sempat mengajak mereka duduk di tepi Taman Bengawan Solo sore hari sambil menonton hilir mudik perahu mengantarkan penumpang. Ingin rasanya mengajak mereka naik, tapi takutnya malah nangis di tengah bengawan malah bikin heboh orang-orang. Akhirnya hanya menonton saja sambil mengajari berbicara air dan perahu.
Sedangkan bengawan di kampung halaman, terakhir berkunjung saat pulang dan ada kegiatan desa pelestarian bantaran bengawan. Tampak suasana sangat berbeda dari masa kecil. Tepian jurang longsor, semak-semak, pepohonan, diesel, perahu. Rasanya jadi merinding jika mandi di bengawan sendirian.
Meskipun jarang menyambangi bengawan, entah kenapa dari dulu sering bermimpi tentang bengawan di tidur malam hari. Kadang berenang, naik perahu, mencari ikan, atau sekadar berjalan-jalan di tepi bengawan ataupun mimpi aneh-aneh tentang bengawan. Entah lah, apa artinya mimpi itu!
*) Penulis Novel Sheraiser Bojonegoro