Story  

Omah Buku, Museum yang Merawat Catatan dan Waktu

Sebagian koleksi Omah Buku

Di Omah Buku, buku-buku seperti menyusun dirinya sendiri. Catatan dan waktu memasukkan dirinya ke dalam toples, untuk kemudian dihidangkan kepada pengunjung.

* *

35 menit lepas dari Kota Bojonegoro, tepatnya sampai di persimpangan Pohwates, kendaraan saya belokkan ke arah kiri, menuju lorong jalan paving yang kanan-kirinya dipenuhi pemandangan asri nan indah, pohon dan sawah.

Saya sampai ke tujuan. Desa Bungur Kecamatan Kanor. Sebuah desa asri yang dengan penuh percaya diri, melabeli diri sebagai desa rasa kota. Setelah membaca tulisan itu, saya yakin jika kelak, banyak kota yang akan melabeli diri sebagai kota rasa desa.

Tempat yang saya tuju adalah salah satu — untuk tak mengatakan satu-satunya—  rumah bergaya joglo khas desa yang ada di dalam “desa rasa kota” ini. Benar jika desa ini memang rasa kota. Itu buktinya.

Rumah itu terlihat unik dan khas masa silam. Plusnya di dalamnya, ada bermacam buku-buku. Dan itulah alasan utama saya berkunjung ke sana. Menjumpai buku.

Sebelum memasuki rumah, mata kita akan dimanjakan keberadaan lesung, yang di atasnya rapi berderet-deret kurungan burung perkutut. Guci tanah berwarna cokelat yang duduk di pojokan dan pintu yang terbuat dari kayu tebal, memicu suasana kian terasa seperti berada di era zaman kerajaan.

Memasuki ruang utama, empat pilar kayu jati berdiri tegak menahan atap. Sementara di sebelah sisi ruangan, berdiri dua benda lawas berupa almari kayu berkaca, yang di dalamnya total berisi buku-buku saja.

Lampu petromax yang tergantung di dekat jendela dan binatu (setrika tempo dulu) yang sengaja ditaruh di atas meja, mempertebal suasana masa silam yang amat jauh, tapi teduh.

Sejumlah lukisan yang ditempel pada dinding, dan keberadaan fosil kerakal (alat pertanian) zaman dulu yang ditaruh di celah dua almari, praktis membikin tempat itu kian mirip museum, alih-alih perpustakaan.

Ada ribuan buku yang ada di tempat itu.  Bahkan, itu belum semuanya. Ada beberapa buku yang tidak ditaruh di etalase depan. Tapi ditaruh di ruang dalam. Ada pula yang masih berada di luar kota, dan belum dibawa pulang.

Baca Juga:  Istiqomah Jadi Kunci Sukses Bisnis Bakso Pak Slamet

Saya menyusuri tumpuk demi tumpuk buku yang ada di sana. Banyak buku yang menarik hati saya. Di tempat itu, ada banyak nama-nama penulis besar yang saya kenal. Banyak pula nama penulis yang pernah saya dengar, tapi belum sekalipun saya mengenalnya.

Penulis-penulis zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, hingga angkatan- angkatan kiwari; buku-buku yang terbit di era sebelum kemerdekaan, era Soekarno, era Soeharto, hingga era masa kini, ada di tempat ini.

HB. Jassin, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Umar Kayam, Rendra, Kuntowidjoyo, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Ahmad Tohari, hingga nama-nama yang asing di mata saya, bukunya ada di tempat ini—- tak hanya satu judul, tapi beberapa. Tak hanya satu versi terbitan, tapi beberapa.

Ratusan hingga hampir ribuan buku-buku itu — novel, kumpulan cerpen, esai, puisi hingga buku-buku biografi — ada dan tertata rapi di tempat ini. Dan hebatnya, hampir semua buku yang ada di sana dalam kondisi terawat dengan amat layak.

Sebagian besar buku di sana, hampir semuanya menarik hati saya. Ingin saya pinjam. Ingin saya baca. Terlebih, saya punya ketelatenan khusus untuk melihat buku-buku. Menikmati aromanya, atau sekadar melihat cepat satu judul buku ke judul lainnya, serupa tupai yang meloncat-loncat di batang pepohonan.

Tapi di saat yang sama, saya punya kelemahan dalam hal memilih. Saya sulit memilih. Saat di depan mata saya banyak buku yang saya suka, justru saya sulit menentukan, mana dulu yang harus saya pinjam, mana dulu yang saya baca.

Semasa kecil, saya pernah berdiri berjam-jam di depan sebuah toko mainan hanya karena bingung memilih mau beli mainan yang mana. Dan pulang begitu saja, tanpa membawa pulang satu mainan pun.

Di tempat ini, saya merasakan perasaan yang sama. Ada banyak buku yang saya suka. Yang ingin saya baca. Tapi, saking banyaknya jumlahnya, saya justru sulit memilih, mana buku yang harus saya pinjam dan baca.

Baca Juga:  Kearifan Lokal Vs Covid-19

Tapi sesungguhnya, saya merasa lebih seperti masuk ke dalam sebuah museum. Sebab selain banyak buku-buku lawas yang usianya lebih tua dari saya, tempat itu dipenuhi benda-benda vintage.

“Rencananya, (tempat ini) ingin saya kasih nama Omah Buku atau Omah Jati,” ucap Nanang Fahrudin, pemilik perpustakaan pribadi tersebut.

Ya, tempat yang menurut saya lebih mirip museum itu, oleh Nanang Fahrudin akan diberi nama Omah Buku. Atau rumah buku. Atau tempat di mana buku, bisa tinggal dengan nyaman dan tenteram.

Mas Nanang — begitu saya memanggil Nanang Fahrudin — adalah jurnalis yang menyukai buku-buku. Saya kenal banyak jurnalis, tapi tak banyak yang suka buku. Saya juga kenal banyak pecinta buku, tapi tak banyak yang produktif menulis. Mas Nanang produktif menulis sekaligus menyukai buku-buku.

Tiap kali menemui Mas Nanang, saya selalu merasa menjadi tokoh “aku” dalam

La Casa de Papel karya penulis Mexico, Carlos Maria Dominguez. Kadang dia menjelma jadi Dalgado yang bisa bercerita banyak tentang penulis.

Kadang juga menjelma sosok misterius Carlos Brauer yang membangun rumah ber-batubatakan buku-buku. Sementara saya, si “aku” yang rajin mendengar cerita-cerita tentang heroisme penulis dan buku-buku darinya.

Mas Nanang, mungkin amat cocok sebagai sosok The Man Who Loved Book Too Much karya Alllison Hoover Bartlett. Tapi dia bukan tokoh John Gilkey dalam buku tersebut. Mas Nanang lebih pada sosok bibliofil, bukan bibliocrime.

“Aku kepengen ngundang pendongeng dan ngajak anak-anak kecil berkunjung ke sini.” Ucapanya.

Omah Buku memang belum banyak dikunjungi. Untuk membuka tempat itu, Mas Nanang bercerita pada saya bahwa dia ingin mengundang anak-anak tetangga di dekat rumahnya, dengan menghadirkan dongeng.

Dan, ya, mengundang anak-anak hanya dengan buku, tentu jauh berbeda dengan mengundang anak-anak dengan dongeng. Dongeng, saya kira, mampu mempercepat transformasi pesan dari dalam buku.

* *

Hidup di Bojonegoro, bukan perihal mudah. Terutama bagi mereka yang minat utama hidupnya hanya buku dan menulis seperti Mas Nanang dan saya. Dan dia, secara tak langsung, sering menyadarkan saya akan hal itu.

Baca Juga:  Kenapa di HJB Ke-341 Tidak Ada Pameran Buku?

Mas Nanang, tentu satu di antara beberapa sosok yang membuat saya masih betah tinggal di Bojonegoro — di saat kota di luar sana menawari kemewahan psikologis bagi para pecinta dan pembahas buku.

Di Bojonegoro, tak banyak orang yang tiap kali ketemu, masih selalu mau membahas buku-buku. Sebab kita tahu, Bojonegoro adalah kota yang mempertajam kemampuan manusia untuk jadi ahli rasan-rasan orang lain.

“Awakmu wes moco iki,” katanya sambil memberikan buku berjudul Putu Wijaya: Sang Teroris Mental, ” Gowo ae nek ape diwoco.” tuturnya.

Begitulah. Pada akhirnya, tak hanya buku Putu Wijaya yang saya bawa. Tapi Podium Detik (AS. Laksana) dan Menyusuri Lorong-lorong Dunia (Sigit Susanto). Buku-buku itu, memang buku yang penulisnya cukup akrab dengan saya.

Goro-goro (Putu Wijaya), Murjangkung (AS Laksana) dan Kesetrum Cinta (Sigit Susanto), adalah buku-buku yang kebetulan saya baca terlebih dahulu, sebelum saya ke Omah Buku. Sehingga, saya cukup akrab dengan nama-nama penulis buku itu.

Di Omah Buku, buku-buku seperti menyusun dirinya sendiri. Catatan membungkus dirinya sendiri. Dan waktu memasukkan dirinya ke dalam toples, untuk kemudian dihidangkan pada para pengunjung.

Mas Nanang sangat tepat memberi nama tempat itu dengan nama Omah Buku. Hanya, dia lupa satu hal penting. Dia lupa bahwa dirinya adalah Omah Buku itu sendiri, tanpa atau dengan sebuah rumah (omah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *