Andai ada yang mengumpulkan kisah atau hal-hal unik yang hanya ada di bulan Ramadhan, saya yakin jumlahnya akan sangat banyak sekali. Dan jika dibukukan, maka jumlah halamannya akan tebal banget. Salah satu penyebabnya karena memang Ramadhan adalah bulan penuh berkah, yang keberkahannya seakan tak terhingga.
Saya pernah menulis lebih dari 20 cerita Ramadhan (bisa baca buku Nostalgia Ramadhan di Kampung) dua tahun lalu. Yang saya tulis adalah Ramadhan di Kampung, bisa saja nanti ada tulisan Ramadhan di kota, atau cerita-cerita lucu saat Ramadhan, atau Ramadhan di mata anak-anak.
Nah, ada satu buku yang ‘enak dibaca dan penting’ tentang Ramadhan di Jawa. Buku itu ditulis Andre Moller sebagai disertasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Antropolog ini asli Swedia dan menempuh studi S3 di UGM yang kemudian menghasilkan karya top ini.
Memang buku ini merupakan hasil ‘pandangan dari luar’. Namun apa yang dihasilkan dari pandangan luar seringkali lebih obyektif. Dan saya menyukai kata yang dipilih Andre dalam menggambarkan orang Jawa di bulan Ramadhan. Yakni kata ‘menikmati’ (hal: 185). Ya, orang Jawa begitu menikmati bulan Ramadhan. Meski secara logika sederhana, tidak makan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari seharusnya menjadi penderitaan bagi orang Islam Jawa. Tapi, nyatanya orang Jawa begitu menikmati bulan puasa.
Saya waktu kecil dan mungkin semua anak-anak merasakan betapa senangnya jika bulan puasa tiba. Bulan puasa menjadi bulan istimewa tidak hanya dari sisi pahalanya, melainkan menjadi ajang bersenang-senang. Anak-anak kecil ramai di langgar (musholla), bergurau, lalu tadarus, dan guyonan lagi. Hanya pada bulan Ramadhan sajalah orangtua membolehkan anak-anaknya tidur di langgar.
Hanya pada bulan Ramadhan masjid-masjid penuh jamaah, pagi selepas subuh banyak orang jalan-jalan, dan hingga menjelang pagi di langgar dan masjid terdengar orang membaca ayat suci Al Quran. Suasana Ramadhan selalu ngangeni baik pagi, siang, sore, hingga malam.
Andre (penulis buku ini) membikin narasi ilmiah tentang Ramadhan di Jawa dengan bahasa yang renyah. Fakta-fakta orang Jawa ‘menikmati’ bulan puasa dimulai dari bulan Ruwah (Sya’ban). Di bulan Ruwah orang Jawa akan membuat slametan. Dan tradisi itu masih terjaga hingga kini. Hampir setiap keluarga akan membuat slametan dengan mengundang tetangga, berdoa, dan membagikan berkat (makanan).
Kegairahan orang Jawa menjalani puasa tampak pada saat puasa, mereka rela bersusah-susah masak aneka menu untuk hidangan berbuka puasa. Di kampung saya, masih ada tradisi pada malam hari, orang-orang berlomba-lomba memberi jajan (makanan kecil) ke langgar atau masjid untuk orang-orang yang tadarusan. Makanya anak-anak akan banyak sekali berada di langgar dan masjid pada malam hari.
Andre juga memotret tradisi takbiran di Jawa (Blora sebagaimana lokasi penelitiannya). Takbiran ini punya makna spiritual yang tinggi dimana orang Jawa menyadari bahwa bulan Ramadhan segera berakhir yang seharusnya disambut dengan duka cita. Tapi pada sisi lain berakhirnya bulan Ramadhan berarti memasuki bulan Syawwal yakni bulan kemenangan yang seharusnya disambut dengan suka cita.
Pembaca yang budiman, buku ini merupakan hasil penelitian di Blora. Namun, sebelum studi di Blora, Andre tinggal di Yogyakarta, tepatnya di sebuah losmen dekat Malioboro. Tapi tak lama kemudian pindah di selatan kraton. Ia mengaku mudah sekali berkenalan dengan orang jawa dan bersahabat baik. Ia sering ikut sholat di masjid dan berbincang dengan pengurus masjid. (hal: 33).
Selamat menikmati Ramadhan!