Kata Pak Iman Budhi Santosa, setiap pengunjung perpustakaan yang membaca buku-buku sebaiknya meninggalkan catatan pembacaan kepada para pustakawan. Tidak perlu panjang-panjang. Pendek sahaja. Gagasan itu pernah disampaikan kepada pustakawan perpustakaan daerah Ngayogyakarta Hadiningrat, dan mendapat respon keberatan. Akan memperbanyak jumlah arsip yang musti diurus, katanya.
Gagasan itu menemu kekuatannya sendiri. Ditolak untuk diterapkan di perpustakaan daerah Ngayogyakarta Hadiningrat, gagasan itu tetap bisa dijadikan kontemplasi bagi siapapun yang melakukan kerja membaca. Baik pekerjaan itu dilakukan sebagai seorang profesional maupun sebagai kesukaan yang telah luber jadi habituasi. Pekerjaan mencatat selalu berkelindan dengan kerja-kerja pembacaan. Begitu para bijak bilang.
Cerita itu disampaikan Pak Iman dalam acara bertajuk Mengenang Any Asmara di Balai Soedjatmoko Solo pada Minggu (5/10/17) lalu. Penyelenggara acara membagikan salah satu kumpulan cerkak karya Any Asmara yang cukup dikenal masyarakat, Panglipur Wuyung. Kumpulan cerkak tersebut diketik ulang oleh Impian Nopitasari, sastrawan muda Jawa yang sedikit banyak karyanya dianggap punya beberapa keselarasan dengan Any Asmara. Kumpulan cerkak dibagikan kepada 30 pengunjung pertama.
Panglipur Wuyung menjadi kumpulan cerkak pertama yang saya baca semasa kuliah. Menjadi kumpulan cerkak kedua yang saya baca sejauh usia saya kini. Yang pertama semasa SMA dulu. Terlaknatlah saya sebagai gadis Jawa!
Terdiri dari 6 cerkak, antara satu cerita dengan cerita lainnya dapat dengan mudah ditarik garis lurus. Bertema asmara, berpola kisah yang relatif sama, serta menggunakan namanya sendiri sebagai tokoh. Cerita pertama, Wit Ranti Ijo Godhonge, menceritakan tentang lelaki yang menjadi pesakitan sebab perjodohan pacarnya dengan lelaki lain yang mapan secara gelar dan ekonomi oleh orangtua keduanya. Cerita berakhir lugu, tepat di hari pernikahan, bukan persona calon mempelai pria yang hadir melainkan sepucuk surat. Sepertinya semua pembaca dapat menebak sebelum melanjutkan membaca paragraf berikutnya. Ya, perjodohan dibatalkan sebab dalam perjalanan mobil jip mempelai lelaki diserang oleh D.I. Ditulis di tahun 60an, tentu kondisi bangsa saat itu memengaruhi proses kreatif Any Asmara. Meski sangat terbatas porsinya.
Peran besar orangtua dalam hal memilihkan jodoh untuk anaknya dijumpai pula dalam cerita Apa Bisa Kelakon. Seorang janda tetap tidak bisa tidak bergantung pada persetujuan orangtuanya ketika datang seorang duda untuk meminangnya. “Senajane dheweke omah-omah ya kudu karo priya sing dicocogi ing wong tuwane, ora banjur mburu senenge dhewe kaya akeh wanita sing mengkono ing jaman saiki, ora mikir wong tuwa, waton mburu karepe dhewe”.
Cerita Srikandiku juga menampilkan kuasa orang tua menjodohkan anaknya. Hal ini terbaca dari narasi singkat yang begini bunyinya, “Ketemune karo aku ora kaya bocah modheren saiki, nganggo pacaran dhisik, ning merga kersane wong tuwa sakloron”. Betapa digdayanya orang tua di jaman itu.
Karena Tjinta
Keteguhann Any menggarap tema asmara sudah bukan jadi rahasia. Mengutip perkataan Pak Iman, karya-karya Any Asmara kira-kira kalau dalam sastra Indonesia disebut sastra pop, sastra yang sekadar untuk bahan bacaan. Di sastra Jawa-pun waktu itu, berlaku pembedaan yang demikian. Buku-buku Any yang tercetak dalam bentuk buku saku memang begitu digandrungi masyarakat pada jamannya. Tapi cukup banyak mendapat sorot negative di kalangan sastrawan Jawa khususnya di daerah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keenam cerkak yang terhimpun dalam Panglipur Wuyung tak lepas dari jerat asmara. Kisah cinta yang paling heroik di antara lainnya ialah cerita Srikandiku. Sepasang suami-istri buah perjodohan orang tua itu lantas berjihad (weh, pakai istilah arab, biar emmm tsah!) melawan penjajah Inggris. Any, sang suami cacat dadanya. Sementara tangan kanan istrinya mulai sikut ke bawah putus oleh tebasan pedang tentara Inggris ketika turut serta suaminya dalam usaha memukul mundur penjajah.
Salah satu kekuatan Any ialah kepiawaiannya dalam menyelipkan nilai-nilai luhur Jawa dalam narasi milik tokoh-tokohnya. Saya merasa cukup senang, sebab yang hadir menyuntik kepekaan saya ialah tokoh-tokoh rekaan Any, bukan Any sendiri sebagai penulis. Maka, nilai-nilai Jawa yang hadir sebagai kalimat-kalimat sederhana itu dengan mudah menelusup ke batin saya. Kehadirannya seperti sejuk pepohonan yang menjadi peneduh bagi para pejalan. Bukan mewujud sebagai kata-kata mutiara yang terkesan mendikte dan menggurui pembacanya. Begitu kesan sederhana saya.
Pemilihan tajuk acara Mengenang Any Asmara kiranya perlu ditambahi embel-embel jadi Mengenang Karya-karya Any Amara. Sebab, kata Pak Iman (lagi dan lagi…), kekeliruan kebanyakan dari kita ialah keceplosan mikul dhuwur sosok penulisnya. Menokohkan para penulis. Lantas sekadarnya sahaja menghidupi, mengapresiasi karya-karyanya. Dengan cara yang begitu-begitu melulu, kita mewariskan hal yang kurang pener menurut istilah orang Jawa. Kita melanggengkan pembelajaran bahwa setiap dari kita musti menjadi tokoh. Padahal dalam kehidupan, itu musykil terjadi. Bagaimana dengan yang lain-lain yang tidak berhasil jadi tokoh. Yang lebih banyak jumlahnya itu. Tsah!