Ada saat di mana kita susah untuk diam, dan ada waktu di mana, kita lebih sering tak mudah untuk bicara.
***
Di sebuah gang yang hanya selebar bentangan kedua tangan orang dewasa, dengan gapura yang tampaknya belum lama dicat merah putih itu, selalu ramai oleh warga yang lalu lalang. Di awal saat memasuki gang tersebut, ada sebuah warung dan berjajar took serta sebuah bengkel kecil yang sedikit berantakan. Ada juga sebuah tong sampah berukuran cukup besar yang dipenuhi oleh limbah-limbah dan barang sisa lainnya. Lalat-lalat berpesta di sebuah onggokan sisa makanan yang terbungkus kantong kresek setengah terbuka, yang tergelatak begitu saja tepat di pinggir tong sampah yang sudah penuh dan menggunung itu.
Di depan gang, berjajar, ke kiri dan ke kanan — di sisi maupun di sebrang jalan — ada sebuah pasar ‘setan.’ Atau pasar krempyeng. Warga setempat menyebut demikian lantaran pasar ini buka dari jam 4 pagi sampai jam 9 pagi saja. Sesaat setelah dan sebelum pasar setan itu buka, sangat ajaib dan begitu mencolok perbedaannya.
Sebelum dibuka, jalanan tampak ramai lancar. Mobil, sepeda dan motor bahkan truk pun hilir mudik melintasi jalanan yang memang berada di pusat kota ini. Namun sesaat pasar setan itu berlangsung, maka tiba-tiba jalanan itu penuh sesak dengan para penjual yang membuka lapak dadakan di sisi kiri dan kanan jalan. Bertambah berjejal ketika para pembeli, karyawan kantor, kuli bangunan, dan anak sekolah mulai berangkat. Pemotor pun musti turun jika hendak lewat jalan itu. Dan mobil sudah pasti tak bisa lewat. Meski tak ada tulisan atau larangan tertulis saat hendak melewati pasar itu, hampir seluruh warga memilih untuk lewat jalan lain. Meski harus memutar dua kali lipat jarak tempuhnya.
Gentilut hingga tukang ramal
Segala kebutuhan rumah tangga tersedia di sana. Dari jajanan tradisional seperti getuk, gentilut, lopis, lindri dan teman-temannya, tersedia. Ada juga lapak yang menjual serabi yang dibuat dadakan di sana. Di pasar yang tak punya hari libur itu, ada sepasang suami istri yang selalu datang lebih awal sebelum pendatang lain dengan dagangan sayur mayurnya. Pedagang yang juga pasangan suami tersebut tampaknya cum seorang petani. Mereka membawa hasil panennya dari kebunnya di desa, untuk menjualnya di kota. Mereka mengaku, jika sayur mayur ini ditanam dan dipetik sendiri. Dan kerap kali ia menawarkan sayur mayurnya yang segar kepada pembeli, dengan embel-embel organik. Kangkung organik, pakcoi organik, bayam organik, brambang organik, dan sawi organik.
Bahkan di hari-hari tertentu, ada seorang pedagang yang menjual jasa ramal. Ia menawarkan jasa ramal kepada siapa saja. Caranya meramal, cukup hanya dengan melihat garis tangan pasiennya. Maka ia akan memberikan interpretasi pada pasiennya, entah tentang karir, rezeki, bahkan urusan asmara hingga ‘kuat’ di ranjang. Pedagang satu ini tampilannya nyentrik, di semua jarinya melingkar akik dengan kilauan batu yang berwarna-warni. Selain itu, ia juga selalu membawa tongkat yang ujung pangkalnya ia balut dengan sepotong kain putih, konon, itu mori jenazah seorang yang meninggal pada jumat legi. Entah bagaimana ceritanya ia bisa mendapatkannya. Perawakannya jangkung dengan rambut gimbal dan jenggot yang panjang, dengan pakain lurik dan jarit yang tampaknya tak pernah tersentuh dada setrika.
***
Selain pasar tersebut oleh warga dinamai pasar setan, rupanya efek setelah dan sesudahnya pun juga cukup setan. Bisa dipastikan, sesaat setelah pasar itu buyar, maka sampah dengan segala jenisnya selalu berserakan di jalanan ini. Harus menunggu petugas kebersihan yang kadang datangnya kesiangan itu untuk mendapatinya bersih kembali seperti sedia kala. Beberapa pemulung begitu girang jika melihat arak-arakan sampah. Ia selalu telaten untuk memilah dan memilih apa saja yang masih bisa ia pungut. Jika melihat setumpuk sampah layaknya di tong tadi, para pemulung ini sudah seperti mendapati sebongkah berlian atau emas satu karung. Mereka pasti bergegas menghampiri unggunan sampah itu, membongkar dan mengais-ngais apa pun yang menurut mereka bisa dijual lagi.
Meski pakaiannya terkesan kumal dan compang-camping, dan sepatu yang sudah jebol, di balik itu semua, ada sebuah semangat yang begitu gigih — bertarung habis-habisan — melawan ganas dan beringasnya kehidupan.
***
Rupanya di dalam gang tersebut, ada salah seorang warga yang tadi malam baru saja menggelar sebuah acara syukuran atas kelahiran cucu perdananya. Benar saja, tempat sampah yang terbuat dari tong dengan ukuran cukup besar tadi sudah penuh, bahkan tak muat lagi. Terlihat juga sisa nasi tamu kenduri yang tak habis dimakan lengkap dengan beberapa potongan daging dan kerupuk yang sudah melempem, tumplek-blek dalam satu kantung kresek merah, tergelatak setengah terbuka di pinggir tong sampah.
Seorang paruh baya dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih itu, tampak sedang sibuk mengelap piring-piring dan sendok yang digunakan untuk santap para tamu kenduri tadi malam, di ruang tamunya yang berlantai mortar dengan ukuran tak lebih dari 3 meter persegi. Rambutnya yang mungkin tinggal segenggam itu, acak-acakan tergerai. Sedangkan di beranda, terlihat anak sulungnya sedang menyapu sebuah halaman yang dipenuhi gelas plastik bekas air mineral. Di sebuah bangku kusam dan sedikit berjamur, sang mantu sedang meneteki anaknya yang baru berumur 7 hari – yang baru saja diakikahi. Rumah mungil yang menghadap ke arah mentari terbit ini, tampak begitu asri dengan pohon mangga yang besar dan rindang.
Mentari baru saja bangun dari peraduannya, dia baru naik sepenggalah. Sinar hangatnya menyentuh lembut wajah bayi mungil yang sedang nenen pada ibunya itu, cahanya menerobos celah-celah dedaunan dan ranting pohon mangga yang tumbuh subur di beranda rumah.
“Klutik-klunting” Suara Parsi, ibu separuh baya tadi, yang masih sibuk saat mengelap kemudian menumpuk satu persatu piring yang dicucinya tadi malam itu.
Suara sapu lidi yang panjangnya tinggal 3 jengkal itu juga gemerisik menerpa gelas-gelas plastik dan dedaunan pohon mangga yang gugur berserakan itu. Sesekali tampak Rambu, ayah dari bayi mungil itu, memukul-mukulkan pangkal sapu lidi ke telapak tangannya, agar susunan lidi rapat kembali. Rambu mengumpulkan gelas-gelas tersebut di sudut beranda rumahnya. Pria yang menikahi wanitanya 7 tahun 7 bulan lalu ini kemudian juga menyobeki plastik tipis pada kemasan air mineral penutup gelas. Kemudian menuangkan sisa airnya ke tanah dan melemparkannya ke sebuah kardus.
Di depan Parsi kini sudah tampak beberapa tumpukan piring yang disusun rapi. Setiap tumpukan ada selusin piring.
“Liinn, bangun! Ini piringnya antarkan ke Bu RT” Ucap Parsi kepada Sulin, anak ragilnya, yang masih dibelai mimpi di kamarnya. Letak kamar Sulin hanyalah sesemburan ludah saja dengan ruang tamu di mana Parsi sibuk menata piring tersebut. Tepat di belakang ruang tamu, sisi kiri dari pintu masuk. Parsi masih melanjutkan mengelap piring-piring putih bermotif bunga yang terbuat dari keramik itu. Hanya tinggal 2 piring saja yang tengkurap.
Karena menyadari seruannya tak terjawab, ia mengulangnya lagi.
“Heee…. Sudah hampir selesai ini. Liiinnn…. Bangunn… Bangunnnn Liinnn” kali ini suaranya setengah berteriak. Berharap suaranya bisa melerai belaian mimpi yang masih merengkuh Sulin. Sama saja. Tidak ada jawaban. Parsi lantas merangsek ke kamar Sulin yang hanya berpintu sebuah tirai kusam itu.
“Heii bangun. Bangun Lin” Panggil Parsi sembari menarik selimut yang membungkus tubuhnya.
“Piringnya sudah tak lap, tolong pulangkan ke rumahnya Bu RT. Ibuk mau ke pasar” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan bahu pria berbadan kekar itu. Parsi langsung meninggalkan kamar Sulin yang tak berjenda itu menuju kamar mandi.
***
Menyadari ada yang menarik selimutnya, perlahan ia membuka matanya yang terkatup rapat. Badannya menggigil, karena kipas angin semalaman yang masih menyala. Cepat-cepat ia menekan tombol off kipas angin yang baling-balingnya berwarna coklat kusam karena debu itu. Matanya yang masih memerah perlahan ia kucek. Sebagian ‘ arwahnya’ masih melancong ke mana-mana. Ia juga mengelap sedikit liur yang membasahi pipinya. Meski belum sepenuhnya terbuka, bola matanya kini menggerayangi gawai yang tergelatak di pinggir bantalnya. Saat menekan tombol nyala di gawainya, sebuah kotak dialog yang memberikan notif baterai lemah memenuhi layar kaca gawai yang sedikit retak itu. Ia klik saja OK. Dan angka jam di gawainya menunjukkan 06:42.
“Jancuk, Kok jam 7?” Tiba-tiba matanya terbelalak, tampak seperti melotot, ia terkesiap. Dan seketika melompat dari pembaringannya. Ia menyambar handuk yang ia kaitkan di sebuah paku yang tertancap di salah satu tiang usuk kamarnya yang berdinding triplek itu. Ia menuju kamar mandi. Yang hanya beberapa langkah saja dari kamarnya itu. Baru saja 2 langkah, ia kembali ke kamar, membuka tirai dan melemparkan gawainya di kasur. Sepersekian detik saja, kini ia sampai di depan pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Di dalamnya ada suara air gemericik orang yang sedang mengguyur tubuhnya dengan air yang ia tuangkan dari gayung, rupanya sang ibu belum rampung di kamar mandi.
“Mas, mbak, Buk, Siapa di dalam? Ayo cepet! Gantian” Suara Sulin sambil mengalungkan handuknya di leher.
Rumahnya memang tak seberapa besar. Sang Kakak, kebetulan juga sudah rampung menyapu dan menyahuti karena merasa sang adik memanggil.
“Yang mandi Ibuk”. Sahutnya dari depan rumah sambil me-liling buah hatinya yang telah lama ia nantikan itu. Sulin kembali berlari ke kamar, teringat baterai gawainya lemah, ia mengecasnya. Dan hanya satu hembusan nafas, ia sudah berdiri lagi di depan pintu kamar mandi.
“Ayo buk, cepet!” Kali ini Sulin mengeraskan suaranya. Tapi sang ibu masih tak mendengar. Karena suara air kran yang mengalir deras di bak mandi.
Sekali lagi Sulin memanggil ibunya supaya lebih cepat. Suaraya lebih lantang sembari mengetuk-ngetuk, (baca; menggedor-gedor) pintu kamar mandi berulang-ulang. “Buk, aku telat. Ayoooo”
Parsi akhirnya mendengar suara Sulin yang dari tadi di depan pintu kamar mandi. “Iyaa, Piringnya sudah kamu pulangkan?”
“Piring apa? Ayo dong buk, cepet” Rupanya saat ibunya membangunkannya dan memintanya memulangkan piring ke rumah Bu RT, ia belum sepenuhnya terjaga.
“Dasarrr…” Ibunya muncul dari balik pintu kamar mandi, dengan rambut yang masih basah dan titik-titik air nampak berleleran jatuh dari mukanya. “Tadi ibu minta kamu balikkan piring ke rumah Bu RT”. Sang Ibu berjalan keluar dari kamar mandi dengan memondong sebuah bak yang penuh dengan cucian.
Masih dengan sehelai handuk yang dililitkan di tubuhnya, Parsi menuju ke tempat menjemur cucian yang berada di teras. Jemuran atau sampiran yang talinya terbuat kabel bekas telfon yang masing-masing ujungnya dikaitkan antara kayu reng atap rumah itu masih begitu kokoh, meski sepintas tampak tak layak. Kabel telfon yang dibawa pulang mendiang sang suami beberapa belas tahun lalu dari tempat kerjanya itu awalnya masih terpasang dengan kencang, namun kini sudah menggelayut kendor. Kulit kabel yang mulanya berwarna hitam membungkus rapat tembaga itu, sebagian juga sudah tampak terkelupas dimakan zaman.
Sang ibu kini meletakkan ember cucian berisi penuh dengan beberapa potong pakaian itu di lantai mortar.
“Ada apa to buk tadi, Sulin kok teriak-teriak” Tanya Rambu pada ibunya, sambil mencecap kopinya yang mulai dingin.
“Embuh, anak itu kok. Mesti nubyak-nubyak” Jawabnya sambil mengibaskan pakaian yang habis ia peras. “Diutus mbalekno piring ya gak ndang budal”
“Eh. Mbu, Ibuk tolong ambilkan hanger di lemari tengah. Kalau disampirkan semua, bakal tak muat” Pinta Ibu kepada Rambu.
Rambu lekas menuju sebuah lemari yang cukup besar yang berada di ruang tengah, mengambilkan beberapa hanger yang menggantung kosong lantas memberikannya pada ibu.
“Lhang sarapan kunu, rawonnya tadi malam masih, sudah ibuk hangatkan. Istrimu ajak sarapan sana” Kata ibu sambil menerima hanger yang dilurukan Rambu.
“Jek aras-aras en buk. Nanti saja”
“Nduk, nanti kalau mendung, kumbahane angkat ya” sang ibu masuk ke dalam rumah.
“Nggeh”
“Lhang sarapan, ibuk mau jual beras dari buwohan tetangga kemarin.” Secara bersamaan, saat Parsi masuk ke dalam rumah dengan menenteng ember cucian, Sulin keluar dari kamarnya. Rambutnya basah, namun disisir rapi. Giginya saling berdecak, karena menggigil. Ia membuka lemari yang sama dibuka oleh sang kakak tadi. Lemari tersebut lumayan besar, dipakai untuk menyimpan pakain Sulin dan Parsi, mempunyai 3 daun pintu. Yang sebelah kiri dan tengah adalah tempat menyimpan pakaian Parsi, sedangkan pakain Sulin disimpan di balik pintu sebelah kanan. Engsel pintu berderit saat Sulin hendak mengambil jas almamaternya.
“Mau keman Lin, tumben jam segini kok mandi?” Tanya sang ibu “Ini hari minggu.”
“Aku ada acara buk, kenapa ga dibangunkan tadi?”
“Lha tidurmu terlalu khusyuk Lin Liinnn”
Sulin tergopoh-gopoh sambil mengenakan almamaternya, ia segera menuju sepeda motornya yang sejak tadi malam ia kunci di luar rumah, disamping motor Rambu. Ia melewati sang kakak yang sedang duduk dan menikmati sebatang sigaret lengkap dengan secangkir kopi susu itu.
“Hendak ke mana to Lin, minggu kok kuliah?” Tanya Rambu melihat Sulin yang begitu rapi dengan almamater dan ransel tergantung di punggungnya.
“Ada acara aku mas, telat ini” Jawabnya singkat.
“Lha acara apa to Lin, minggu gini kok, lagian tumben pakai almamater”
“Ada seminar mas, aku jadi pematerinya”
“Amboiii,,, Lha seminar apa?”
“Seminar Organisasinya teman-teman”
“Lha apa temanya, kok kamu pematerinya?”
“Keadilan yang bermartabat. Sudah mas, aku telat. Assalamualaikum”
Sulin pun berangkat, menyalakan motor, sedikit menggebernya lantas tancap gas.
“Oke sip. Waalaikumsalam”
Sang Kakak, Rambu, adalah seorang sarjana. Selain menjadi kakak kandung dari Sulin, ia juga kakak tingkatnya. Karena tepat 11 tahun yang lalu, ia juga kuliah di kampus yang sama. Almamater yang sama. Kini ia bekerja di sebuah perusahaan swasta, menjadi staf HRD. Setiap minggu ia libur.
“Dek, ayo sarapan dulu”. Anaknya ajak masuk, sudah terik.” Belum sampai Rambu beringsut, Parsi keluar rumah. Dengan mebawa satu karung beras buwohan berkapasitas 20 kg, yang bertuliskan bulog itu, digendongannya.
“Sulin tadi mau kemana to Mbu?” Kok minggu-minggu kuliah, pakai jas”.
“Mau ceramah tentang keadilan buk” Kelakar Rambu.
“Adil? Mau ceramah adil?” Sang ibu berhenti di depan pintu. “Wong dia sama dirinya sendiri gak adil kok mau nyeramahi tentang keadilan”
“Maksudnya buk?”
“Lha ya, bangun tidur jam 7. Langsung mandi. Shubuhnya lenyap. Piring ya masih tergeletak”
“Whahahaha…” kali ini kelakarnya makin hingar. Bahunya terguncang-guncang, sesekali perut tambunnya itu seperti hendak jatuh.
“Tak antar ya buk?” Basa-basinya sambil mengambil bayi mungilnya dari gendongan ibunya. “Ayo sarapan dulu dek”. Pasangan yang baru resmi jadi Ibu dan Ayah ini pun beringsut dari beranda rumah.
Seperti sudah tahu kalau tawaran Rambu adalah abang-abang lambe semata “Gak usah, wong depan gang aja gitu kok, itung-itung sama olahraga. Kamu olahraga dikit-dikit. Lihat perutmu, persis kayak almarhum bapakmu dulu” Parsi yang masih terlihat trengginas itu lantas melanjutkan perjalanannya dengan menggendong sekarung beras ke pasar.
***
Di ujung gang, tepat di tikungan, terdapat sebuah pertigaan yang menghubungkan ke jalan raya antar kota, terlihat seorang pemulung dengan sepatu yang sudah koyak, pakaian sedikit camping dan karung yang dicangking di punggungnya, mulai beraksi. Dengan berlajan setengah berlari, ia menghampiri tiap tumpukan sampah di depan rumah warga setempat. Matanya jeli menyapu jalanan. Sampai akhirnya, ia mendapati gelas plastik air mineral yang diwadahi kardus oleh Rambu tadi di depan rumah.
Pemulung itu tampak begitu bahagia, suara sepatu butnya yang sedikit basah itu berdecit-decit. Dan decitan sepatu itu terdengar oleh Rambu. Rambu lekas ke depan. Sambil berlari kecil.
“Pak, jangan diambil ya. Masih dipakai” Ucapnya pada pemulung yang sudah memegang sebuah gelas plastik yang hendak ia masukkan dalam karungnya.
Pemulung itu menjawab dengan cepat dan sedikit terkesiap, tiba-tiba ada seorang bertubuh besar dengan perut yang tambun itu berdiri di depannya, “Iya pak.” Ia pun lanjut menyusuri gang-gang di komplek perumahan kota itu. Langkahnya tetap gesit dan akas.
Rambu pun segera mengangkat dua kardus berisi gelas plastik mineral itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Setiap kita bangun pagi, kita selalu menjadi pribadi yang baru sekaligus berbeda dari diri kita sebelum maupun yang akan datang. Maka tak heran, ada sebuah anekdot dari Marshall McLuhan tentang orang yang lupa jati diri (baca: tak tahu diri,) yang dikutip Fatima Mernissi dalam Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry 1991,
“…dan siapa kamu?”
“Saya – saya kurang tahu, tuan, hanya sekarang – setidaknya saya tahu siapa diri saya ketika tadi bangun pagi, tetapi saya pikir, saya mestinya sudah berubah beberapa kali sejak itu”
Larut malam, 13/2/2022
a.m