Penerima PKH Dilarang Merokok, Petugasnya Juga?

Para penerima program bansos yang merokok, harus bertobat. Sebab, secara tegas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bambang Brodjonegoro mengimbau agar penerima manfaat program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan non tunai (BPNT) untuk berhenti merokok.

Alasannya jelas, merokok menghambur-hamburkan uang bantuan dan tidak produktif.

Himbauan dari Pak Bambang tentu bukan tanpa dasar. Dari data yang dia punyai, konsumsi rokok memicu garis kemiskinan kian tebal. Kontribusi uang untuk membeli rokok terhadap pendapatan riil keluarga di perkotaan mencapai 11 persen. Sedangkan untuk di pedesaan mencapai 10 persen dari pendapatan.

Tentu saja, porsi pengeluaran mencapai 10-11 persen dari pendapatan hanya untuk bakar-bakar kertas, adalah perihal tidak produktif. Sebab, kebiasaan itu tidak bakal mengubah label miskin. Justeru bakal mengabadikan kemiskinan karena uang bantuan kerap berkurang hanya untuk diuapkan dan tidak digunakan untuk sesuatu yang berarti.

“Semua keluarga penerima PKH atau BPNT tidak boleh lagi merokok. Ini penting. Kita harus tegas,” kata Pak Bambang.

Pak Bambang tentu benar. Negara membagikan bantuan sosial cuma-cuma pada masyarakat kurang mampu, tujuannya untuk membantu keluarga tersebut agar mampu meningkatkan kesejahteraannya. Seharusnya, bantuan itu digunakan untuk modal usaha.

Baca Juga:  AFI (Kill The Messenger)

Nah, jika uang bantuan malah digunakan untuk membeli rokok, tentu tujuan negara tidak tercapai. Alih-alih mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, justeru menenggelamkan si miskin pada danau kemiskinan yang jauh lebih dalam.

Sikap tegas Pak Bambang patut didukung oleh seluruh masyarakat. Terutama masyarakat yang masih mengedepankan hati nuraninya. Jangan sampai hanya karena ada satu anggota keluarga yang merokok, seluruh anggota keluarga lainnya menerima dampak dengan tidak mendapat jatah dana PKH.

“Lebih baik diganti untuk membeli daging ayam, telur, atau kebutuhan yang menunjang makanan,” himbau Pak Bambang.

Benar kata Pak Bambang, daripada  membeli rokok, mending digunakan  membeli daging ayam atau telur. Itu logis. Dengan mengkonsumsi daging ayam dan telur, masyarakat bisa sehat. Dan jika sudah sehat, tentu mudah melakukan pekerjaan. Sebab, dengan bekerja, diharapkan masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraannya.

Hal berbeda jika uang bantuan digunakan untuk membeli rokok. Selain perilaku boros kontra produktif, mengkonsumsi rokok tidak membikin orang jadi sehat. Justeru berdampak buruk bagi kesehatan anggota keluarga lain yang tidak merokok.

Karena itu, jika ada anggota keluarga penerima manfaat PKH yang masih nekat merokok, mending segera dicoret dari KK saja. Suruh membangun keluarga sendiri. Enak saja, sudah perokok, minta bantuan lagi.

Baca Juga:  Hidup Kembali ke Alam, Pilihan Paling Tepat di Era Semrawut Ini?

Merokok bukan hal positif. Buruk. Boros dan berbahaya. Selain itu, perokok adalah orang yang egois dan apatis. Hanya karena konon ingin memuaskan hasrat psikologis, rela membahayakan kesehatan orang lain. Dasar perokok tidak tahu diri.

Kalau mau jadi perokok, kaya dulu. Jangan miskin. Jangan minta bantuan. Benar kata Pak Bambang, orang miskin yang merokok itu kurang pantas. Banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi daripada utopia kebutuhan psikologis yang tidak logis.

Tapi Pak Bambang harus adil. Tidak hanya penerima bantuan PKH saja yang diharuskan tidak merokok. Para petugas PKH juga harus diwajibkan untuk tidak merokok. Sebab, penerima PKH yang sudah tobat tidak merokok, berpotensi besar kembali merokok hanya karena melihat petugas PKH yang saat mendata sambil merokok.

Merokok itu menular, Pak. Banyak kasus orang sudah berhenti merokok namun kembali merokok hanya karena melihat temannya merokok. Jadi, Pak Bambang jangan hanya melarang penerima PKH saja yang tidak merokok. Tapi petugas PKH juga harus tidak merokok. Itu penting, bapak harus tegas.

Baca Juga:  Apa Itu Publisher Right Indonesia, Ini Kronologi, Analisa Para Pakar dan Organisasi Jurnalis

Petugas PKH yang merokok itu boros dan tidak produktif dan berbahaya. Selain menggunakan gajinya untuk membakar kertas, mereka juga membahayakan kesehatan keluarga dan orang lain. Masak iya, mendata keluarga miskin sambil merokok. Itu tidak etis, Pak. Anda harus tegas.

Petugas PKH yang cerdas harusnya lebih memilih menggunakan gajinya untuk membeli telur dan daging ayam daripada membeli rokok, kan, pak? Bagaimana bisa mendata dengan baik kalau baru mendata sedikit lalu pura-pura pusing dan ngerokok di warung kopi. Enak saja, sudah dikasih pekerjaan, ngerokok lagi.

Jadi, Pak Bambang harus memastikan bahwa tidak hanya penerima PKH saja yang harus berhenti merokok. Petugas PKH juga harus berhenti merokok. Kalau bisa, petugas PKH yang saat bekerja biasanya membawa rokok, harus mengubah kebiasaan. Mereka harus membawa telur dan daging ayam. Biar sehat dan mampu mendata dengan baik. Bagaimana bisa mendata dengan baik, kalau baru tanya-tanya dikit langsung ditinggal ngerokok.

Gimana, adil kan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *