“Dalam hal nalar ilmiah, buku ini berangkat dari tradisi penelitian yang menyelidiki kompleksitas dan watak ekonomi politik pembangunan infrastruktur yang senantiasa menjadi ajang pertentangan. Pelabuhan, bandara, dan jalan raya sebagai bangunan modern pasca-Perang Dunia II, yang telah menyulap kota-kota metropolitan penuh keramaian seperti Los Angeles, New York, dan Tokyo menjadi jantung utama perdagangan dunia dan pembangunan, merupakan hasil dari pertarungan politik yang penuh luka. Sebagaimana penjelasan Steven Erie (2004) yang mengagumkan mengenai kebangkitan Los Angeles, penelusuran Robert Caro (1974) yang otoritatif tentang jatuh-bangunnya Robert Moses dalam memelopori pembangunan infrastruktur New York City, atau pengisahaan Apter dan Sawa (1984) yang penuh kepedihan seputar protes petani di pinggiran Tokyo dalam melawan pembangunan bandara internasional, serta epos pergolakan atas proyek-proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar, semua itu telah mengadu banyak pihak, seperti dinas-dinas di daerah melawan badan-badan pemerintah pusat dan antar-lembaga kedinasan, para politisi (dengan keterbatasan waktu-jangka pendek kekuasaannya) melawan para birokrat kawakan. Epos pergolakan itu juga menggiring konflik mencapai puncaknya, baik secara fisik maupun simbolis, antara pemerintah yang melakukan pencaplokan tanah dengan warga yang marah karena terancam tergusur” (hlm. 16-17).
______________
Proses pengerjaan buku ini memakan waktu sekitar setahun. Saya menerjemahkannya mulai awal 2018, dengan disupervisi oleh Dr. Noer Fauzi Rachman, dan diperiksa langsung bersama-sama dengan penulisnya, Jamie S. Davidson, associate professor di Departmen of Political Science, National University of Singapore.
Mengingat isi buku ini tentang ekonomi politik infrastruktur, khususnya jalan tol, tentu saja saya banyak belajar dadakan terkait teori (seperti new institutional economics); konsep-konsep kunci (liberalisasi proposar, privatisasi parsial, kapitalisme regularif); dan istilah-istilah penting (Bangun Guna Serah [BGS], Entitas Berkebutuhan Khusus [EBK], pembebasan lahan, pengadaan tanah, mekanisme konsinyasi, dsb.). Meski buku ini disusun sebagai karya akademik serius, saya berani menerjemahkannya karena elaborasinya tidak rumit, deskripsinya dan tata bahasanya mudah dipahami, terlebih memang membahas Indonesia.
Dalam proses menerjemahkan, saya sering tertawa kesal misuh-misuh sendiri–kadang ngajak misuh juru atak dan sampulnya, Damar N. Sosodoro–ketika mendapati cerita bagaimana para elite negara ini memburu renten dalam proyek tol, khususnya rezim Keluarga Cendana (gara-gara menerjemahkan buku ini saya penasaran betul dengan Jl. Cendana, dan akhirnya dilewatkan Jl. Cendana oleh Pak Yandrie Ardyan M. Erlangga hahah). Buku ini menunjukkan bagaimana Soeharto membesarkan kapal bisnis Tutut dan Tommy dalam sektor jalan tol. Ketika penentuan tarif tol digenggam oleh diskresi presiden, Soeharto enak saja menaikkan tarif tol pada jalur-jalur yang dioperasikan konglomerat anak-anaknya saja.
Lalu setelah reformasi, horang-horang kaya dan penguasa bisnis cum politisi macam Ical dan JK selalu berhasil mengamankan konglomerasinya, khususnya terkait sektor jalan tol, dengan pijakan kuat posisi politik mereka.
Ada juga cerita bagaimana Mega memaksa pengerjaan konstruksi tol Cipularang dikebut setahun lebih awal dari jadwalnya agar bisa dilewati tamu-tamu peringatan 50 tahun KAA di Bandung, hingga mengakibatkan beberapa kali amblesan setelah terbangun.
Yang mengesalkan lagi, di Jawa Tengah, tol Semarang-Solo dibangun dengan Amdal yang sonder kajian hidrogeologi sehingga belum selesai saja, beberapa tiang jembatan tolnya sudah retak-retak. Tentu saja ada cerita bagaimana warga desa ditipu oleh cukong dan elite dalam proses pembebasan lahan tol di Kab. Semarang: ketika ratusan warga desa rombongan hendak mencairkan uang hasil pembebasan lahan di bank, ternyata rekening mereka kosong! Tol ini juga dibangun dengan bahan bakar ambisi seorang gubernur mantan jenderal konconya SBY. Beberapa ruas Tol Trans Jawa memang dibangun tanpa mementingkan kajian kelayakan bisnis, sehingga tak mengagetkan kalau setelah beroperasi terbukti sepi.
Di Jawa Timur, Risma pernah menentang proyek tol sepanjang 25 km dengan sebagiannya berupa tol layang. Ketika wakil Risma, Bambang DH mundur, posisinya diganti oleh Wisnu, mantan ketua DPRD Kota Surabaya dan putra dari seorang pentolan PDI-P. Bukan kebetulan, perusahaan milik bapaknya Wisnu mengantongi kontrak proyek tol senilai Rp9,2 triliun itu.
Selain klik-klik politik perburuan renten, pembahasan tentang pertanahan mendapat porsi banyak di buku ini. Salah satu gagasannya: meskipun tentara sudah tidak menjadi pasukan terdepan dalam pembebasan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur, rezim pasca-Reformasi menggunakan kekuatan pengadilan secara tidak demokratis. Alih-alih mengikuti prosedur musyawarah sesuai peraturan, pembebasan lahan yang ditolak warga berakhir dengan sistem konsinyasi.
Salah satu kutipan paporit dalam buku ini: “Proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai swasta pun menjamur di seluruh penjuru Asia, dari pembangkit listrik di Indonesia, Malaysia, dan Filipina hingga jalan tol di Hong Kong, Tiongkok selatan, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Dengan kerlipan lampu-lampunya yang menembus cakrawala gulita malam pedesaan, menara-menara pemancar sinyal telekomunikasi adalah simbol mencolok dari gelombang liberalisasi ini.”
*special thanks to Pak Dosen Khidir M. Prawirosusanto yang sudi menjadi pembaca percobaan dan memeriksa terjemahan aing.
**big thanks to Marsen Sinaga for flash proof-reading.