Story  

Perjalanan Menuju Perjalanan yang Lain

aquanetart.com

Kamu menunggu kedatangan kedua temanmu di rumah, sambil membaca buku yang beberapa hari lalu kamu beli, namun belum selesai kamu baca. Kedua temanmu datang ketika matahari sudah mulai bergeser ke ufuk barat. Senja kemuning menggurat awan biru yang kian memudar, dan kamu menyaksikannya. Kamu menyaksikan guratan cahaya itu.

Di beranda, kamu bersama kedua kawanmu berbincang banyak hal. Ngobrol kesana kemari, meminum kopi, sambil sesekali menikmati alunan kenangan yang diam-diam menghujam sisi melankolismu. Adzan magrib berkumandang, kamu dan kedua temanmu masuk ke rumah, ke dalam ruang di belakang beranda.

Usai kopi dihabiskan, kalian bertiga sudah siap berangkat menuju tempat yang sebelumnya telah disepakati sebagai “destinasi perjalanan kali ini”. Setelah jaket dipakai dan  celana dirapikan, tiba-tiba satu kawanmu ingin menyusul. Kawan progresif yang rela naik bus sejauh 32 kilometer hanya untuk mendatangimu, mendatangi kalian bertiga. Kamu dan kedua kawanmu pun mengurungkan keberangkatan: menunggu sambil tidur-tiduran.

Dengan rambut acak-acakan dan pemakaian celana pendek yang kurang simetris, kawan baikmu itu sampai di rumah. Baterei ponselnya  drop. Dia tak sempat memberi kabar jika sudah turun di pemberhentian bus. Alhasil, dia harus berjalan kaki sepanjang 1 km dari pemberhentian bus menuju rumahmu. Kamu terkejut, kedua kawanmu juga terkejut. Meski tampak lelah, dia berusaha tetap terlihat gagah.

Kawan baikmu meluruskan kaki, melepas lelah. Kamu dan kedua kawanmu yang lain menemaninya, bercerita banyak kepadanya. Sambil melolos sebatang kretek, kalian berempat berusaha memperkental momentum itu dengan berbagi kisah berasap. Berbagi semangat hidup.

Baca Juga:  Sepintas Sejarah Kebiasaan Sarapan pada Masyarakat Jawa

Jaket telah dipakai, celana usai dirapikan, kalian berempat  memutuskan untuk berangkat. Sambil menenteng tas selempang, kamu masuk mobil paling belakang, memastikan semua persiapan tidak ada yang tertinggal. Perjalanan menuju “destinasi perjalanan kali ini” telah dimulai. Mobil bergegas ke arah selatan.

Kendaraan memang banyak melintas, namun, jalanan terasa sepi. Kamu merasa, rasa dan nyata memang kerap menghadirkan perbedaan. Dari dalam jendela mobil, banyak hal yang bisa kamu lihat di jalanan. Objek-objek itu melintas dengan cepat dan penuh keteraturan. Kamu menikmatinya, merasakan nilai dari setiap objek yang kamu lihat. Setiap objek, menyimpan nilai berupa masa, cerita dan kerap kali endapan kenangan.

Mobil berjalan kian cepat. Bangunan tua dan pepohonan yang rapat,  menyapamu begitu hangat. Kamu membatin, di malam hari,  rumah dan bangunan-bangunan pinggir jalan selalu menyimpan kemuraman yang eksotis. Rumah-rumah itu menyimpan kisah dan sejarah ketercipatannya. Sejarah bahagia hingga sejarah yang muram. Sebuah kemuraman yang melempar ingatanmu pada Istanbul: Memories and The City-nya Orhan Pamuk.

Kamu memejamkan mata, lalu kembali membukanya untuk mempertajam paradigma Pamuk mengenai bangunan-bangunan dan rumah-rumah  yang melintas di depan matamu. Pamuk, dalam buku itu, memang banyak berbicara mengenai kenangan;  tentang suasana, tentang rumah, dan benda-benda mati yang menebar kisah.

Kamu membenarkan pernyataan Pamuk bahwa bangunan-bangunan tua selalu menyimpan kemuramannya sendiri, dan sesekali membagi kisahnya melalui huzun yang terpancar saat orang lain menyaksikannya. Seperti saat ini, di dalam mobil ini, kamu seperti sedang berbicara dengan Pamuk, membicarakan rumah-rumah dan bangunan tua yang membagi kisah dan kemuramannya. Menikmati perjalanan itu, kamu sempat tertidur.

Baca Juga:  Merawat Harapan, Menolak Menyerah

Mobil memelankan lajunya, kamu terbangun. Kamu mencari-cari, rumah mana yang bakal dijadikan titik labuh pemberhentian mobil. Kamu menemukannya, kalian semua berhenti di sebuah rumah yang berandanya dipenuhi banyak kayu tua. Lebih tepatnya, akar kayu jati (tunggak) berusia ratusan tahun.

Sesampainya di rumah yang dipenuhi tunggak itu, kamu beserta ketiga temanmu diterima dengan hangat oleh pemilik rumah. Hampir dua jam kalian berbincang. Tentang usia kayu, tentang keluh kesah mereka-mereka yang  bergelut di dunia kayu tua, dan, tidak lupa, juga bercerita tentang perihal politik yang membosankan.

Usai berbincang-bincang, kalian berempat menikmati suguhan berupa tunggak tua berukuran raksasa dengan bentuk yang beragam. Mereka semua berdiri tegak seperti sedang mempersiapkan diri menemui kalian. Ada yang berbentuk menyerupai benda-benda pada umumnya, ada pula yang tidak berbentuk apapun. Namun, kamu meyakini, ke-tidak-berbentuk-an merupakan wujud dari bentuk itu sendiri. Jadi, tidak ada yang tidak berbentuk, semua berbentuk. Dalam perspektif masing-masing.

Kamu menyentuh dan mengagumi akar-akar kayu jati raksasa itu dengan penuh decak keakraban. Kamu meyakini, akar-akar tua itu membawa kisah dan pengalaman sejarah hidup masing-masing. Setelah puluhan hingga ratusan tahun— sejak dari kondisi hidup hingga mati—berada di dalam tanah, akar-akar itu lalu diletakkan di atas permukaan bumi. Betapa mereka semua harus beradaptasi dengan terang cahaya dan panas sinar matahari, batinmu.

Kepadamu, mereka semua bercerita. Kamu meyakini jika tunggak tua itu membawa banyak kisah. Usia mereka sangat tua, lebih tua dari manusia tertua yang saat ini masih hidup. Mereka, tunggak-tunggak itu, barangkali mengenal dan menyaksikan kehidupan tokoh-tokoh besar di zaman dahulu, tokoh-tokoh yang hanya kamu tahu dari cerita-cerita di lembaran buku.

Baca Juga:  PPDB SMP Bojonegoro Tahun 2020 Dimulai, Catat Jadwal dan Prosedurnya

“Dulu, para pejuang kemerdekaan duduk di bawah naungan rindang cabang-cabang ku,” kata salah satu tunggak itu, seolah-olah bercerita kepadamu.

“Aku jauh lebih tua, aku sudah mengenali wajah manusia sebelum zaman kolonial bermula,” tunggak lainnya menimpali.

Mereka semua seperti sedang berbicara kepadamu. Namun hanya sesaat, setelah itu mereka terdiam. Suaranya menghilang terbawa angin.  Tiba-tiba kamu teringat Carlo Collodi, penulis kisah boneka kayu yang dulu sangat kamu sukai itu. Kamu juga teringat Gepetto, seorang tua penyabar itu, tentu kamu sangat mengingatnya. Bahkan, sewaktu kecil dulu, kamu pernah dipanggil Pinokio oleh teman-temanmu, dengan alasan yang kamu sendiri kurang tahu.

Malam kian dalam. Kamu mulai mengantuk. Ketiga temanmu, sepertinya merasakan hal yang sama. Setelah berpamitan, kalian mengarahkan mobil ke utara, kembali pulang. Kembali bersiasat untuk merencanakan sejumlah perjalanan lagi. Sebuah perjalanan menuju perjalanan yang lain.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *