Api di Bukit Menoreh adalah judul kesekian karya SH Mintardja yang saya baca. Dan ini karya paling panjang. Sebelumnya saya sudah menamatkan Nagasasra Sabuk Inten, Mata Air di Bayangan Bukit dan beberapa karya lain. Karya-karya SH Mintardja selalu menyihir. Nyandu.
Tak banyak buku fisik yang saya punya. Hanya beberapa judul saja. Terutama yang pendek. Untuk karya-karya panjang macam Nagasasra Sabuk Inten atau Api di Bukit Menoreh, saya membaca lewat gawai. Bersyukur ada orang yang dengan rela mengumpulkan karya-karya SH Mintardja dan mudah dibaca oleh publik. Sebagai salah satu pembacanya, saya mengucapkan terimakasih setinggi-tingginya.
Pertanyaan sederhana kemudian, apa pesan dan kesan setelah membaca Api di Bukit Menoreh? Saya coba untuk berbagi pengalaman imajinatif subyektif saya yang sederhana di sini.
Baca Juga: Akhir Kisah Api Di Bukit Menoreh Yang Belum Berakhir, Lalu?
Mudahnya Memahami Sejarah
Salah satu keunggulan cerita silat yang dihadirkan oleh SH Mintardja selalu berkelindan dengan sejarah di Jawa. Saya selalu bertanya-tanya, bagaimana penulis melakukan riset sebelum memulai karya-karyanya. Bahkan, saya sempat meyakini bahwa penulis memiliki intuisi, indera keenam, atau apalah namanya. Karena begitu mudahnya menjalin cerita dalam bingkai besar sejarah kerajaan di Jawa.
Dalam Api di Bukit Menoreh misalnya. Kisah dimulai dari sisa-sisa kerajaan Jipang yang mencoba untuk melakukan perlawanan ke Pajang yang dipimpin Mas Karebet, Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwidjaya. Jipang memiliki seorang Patih bernama Matahun. Murid Matahun bernama Tohpati inilah yang melakukan perlawanan, meski akhirnya bisa dikalahkan.
Lalu, Pajang tegak berdiri. Namun, kisah mulai tegang ketika Gede Pamahanan mengajak Sutawijaya untuk keluar Pajang dan menempati Alas Mentaok. Tempat ini merupakan tanah yang dijanjikan oleh Sultan Hadiawidjaya namun tak segera diserahkan. Sehingga Pemanahan tanpa seizin Sultan pergi dan membuka Alas Mentaok yang kemudian dikenal dengan nama Mataram.
Pajang kemudian terus mengalami kemunduran, sedang Mataram terus tumbuh. Di sinilah pergolakan politik terus menerus membara. Pajang yang ketika Mataram berdiri berubah statusnya hanya sebagai kadipaten, di bawah Pangeran Wirabhumi memberontak. Banyak pejabat-pejabat Pajang yang membisiki Wirabumi hingga akhirnya menentang Panembagan Senopati. Perang pun pecah. Tapi, Pajang harus takluk.
Perang terus membara. Pati menentang Mataram, lalu bisa dipadamkan. Madiun menentang Mataram, lalu bisa dipadamkan juga. Lalu disusul Demak melawan Mataram. Di luar Adipati, juga ada Padepokan yang mencoba melawan Mataram, yakni Padepokan Nagaraga yang digambarkan menyembah ular naga.
Meski cerita silat ini, banyak tokoh-tokohnya adalah fiksi, tapi tokoh-tokoh pemimpin kerajaan yang terlibat adalah tokoh dalam sejarah. Mulai Sultan Hadiwidjaya atau Jaka Tingkir, Sutawijaya atau Panembahan Senopati, Pangeran Benawa, Pangeran Wirabhumi, dan lainnya. Penggambaran akan tokoh-tokoh tersebut, memudahkan kita mengenali tokoh sejarah dengan mudah.
Kalimatnya hidup
Bagi saya, cerita silat selalu menyihir. Membaca karangan SH Mintardja ini, kita bak menonton film. Bahkan imajinasi akan lebih liar dibanding menonton film. Ada kepuasan yang tentu berbeda dari ketika menonton film.
Dalam Api di Bukit Menoreh, banyak sekali tokoh yang dihadirkan. Dan semua tokoh memiliki karakter yang mampu digambarkan dengan baik oleh pengarang. Sehingga, kita sebagai pembaca akan mudah untuk mengikuti alurnya, bahkan mengimajinasikan sosok yang dimaksud. Salah satu cara yang membantu adalah dengan dialog-dialog yang dihadirkan. Sehingga kita makin mengenali tokoh tersebut.
Ketika menggambarkan perang, misal perang Pajang dengan sisa-sisa kekuatan Jipang, perang Pajang -Mataram, Pajang-Madiun, Pajang-Demak, atau pertempuran-pertempuran di berbagai tempat dengan latar Gunung Merapi, Gunung Kendeng, dan lain-lain. Hampir semua tak lepas dari lintasan sejarah kerajaan di Nusantara.
Gambaran Kejujuran, Kesederhanaan, Kelicikan, dan Pengkhianatan
Agung Sedayu, sebagai tokoh utama dalam Api di Bukit Menoreh boleh jadi gambaran (‘sempurna’) manusia yang hendak disuguhkan. Agung Sedayu digambarkan tak silau jabatan. Ia teman akrab Panembahan Senopati, namun dengan jasa besarnya kepada Mataram, ia diangkat sebagai Lurah Prajurit. Tugas besar banyak dibebankan ke pundaknya. Agung naik pangkat menjadi Rangga saat Mataram dipegang oleh Panembahan Hanyakrawati.
Agung Sedayu boleh dibilang mewakili hidup kesederhanaan dan kejujuran, tak silau pangkat jabatan, serta memilih tidak membunuh lawan-lawannya sebisa mungkin. Di sekitar Agung Sedayu, ada sosok-sosok ‘putih’ lain, seperti Sekar Mirah istrinya, Kiai Gringsing yang merupakan gurunya, Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh, Glagah Putih, Rara Wulan, dan lainnya.
Namun, sepanjang cerita, berkelindan kisah-kisah kelicikan, saling jegal dan bunuh. Di bentangan kisah itulah tampak jelas sifat-sifat tamak, rakus dan bengis. Persaingan-persaingan berebut kuasa, menjadi pemicu terbesar adanya tindak kekerasan. Maklum, ini cerita silat, bukan cerita cinta.
Miniatur Negara Indonesia Kini
Sebagai pembaca, kita tentu tak akan bisa lepas dari konteks di mana dan kapan kita membaca sebuah cerita. Seperti ketika membaca Api di Bukit Menoreh, imajinasi kita tentu akan terlempar ke masa Kerajaan Pajang, lalu Mataram. Membayangkan hutan yang rimbun, ada padepokan yang bediri di kaki gunung yang menghidupi diri mereka sendiri, prajurit-prajurit berkuda, pertarungan dengan harimau, serta berbagai ilmu kesaktian atau ajian-ajian yang menggetarkan.
Namun di luar itu, kita juga akan melihat gambaran negeri ini saat ini. Bagaimana pergolakan politik berebut kuasa dilakukan. Kelicikan-kelicikan yang menerobos paugeran (aturan) dilakukan demi tercapainya kepentingan pribadi. Bukankah hal-hal demikian adalah masalah sepanjang masa dan sampai kinipun terjadi?
Bagaimana padepokan-padepokan yang merupakan tempat orang menuntut ilmu kanuragan dan kajiwan juga ternyata banyak melahirkan orang-orang haus darah dan kekuasaan. Padepokan, ibarat Lembaga pendidikan sekolah hingga kampus pada masa sekarang. Lembaga-lembaga itu juga bak padepokan pada masa kerajaan, banyak terjerumus dalam politik memperebutkan kekuasaan. Jika padepokan dalam Api di Bukit Menoreh ada yang ‘nakal’ dan hanya menjadikannya kedok dari gerombolan penyamun dan perampok, maka lembaga-lembaga pendidikan saat ini juga tak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan mengumpulkan kekayaan atau sumber ekonomi. Tentu saja dalam konteks yang bebeda-beda.
Ah, sudahlah, sebaiknya Anda membacanya langsung saja ya!
Bojonegoro, 7 April 2023